tirto.id - Heru Prasetya kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang ISI Surakarta). Masa mudanya banyak dihabiskan di atas panggung teater dan kegiatan kesenian lainnya. Hal itu membuatnya ingin membangun sebuah jembatan agar karya dari seniman bisa hadir di tengah masyarakat umum.
Tahun 1995, ia bersama rekan-rekannya membangun jembatan itu dengan nama Mataya Production. Nama tersebut diberikan oleh Bambang Besur, salah satu temannya. Seperti arti namanya, Mataya menjadi gerakan sunyi di tengah keramaian Kota Solo. Ide-ide baru yang sederhana coba diwujudkan oleh mereka.
Mataya Production kemudian menunjukkan wajahnya dengan menggelar tiga festival skala nasional dan internasional, yakni Festival Temu Koreografer Wanita, Festival Penata Tari, dan Solo Dance Festival. Ketiga festival tersebut terus berjalan selama beberapa tahun hingga memasuki awal 2000-an. Namun setelah itu Heru kembali merasakan gejolak dalam hatinya.
Sejumlah kegiatan seni yang mempertemukan para seniman dari berbagai tempat dalam tiga festival itu membuat Heru mempertanyakan posisi masyarakat, termasuk remaja Solo, dalam dunia seni. Pertanyaan itu ia rasakan kian valid setelah Heru membaca sebuah kutipan dari W.S Rendra dalam “Sajak Sebatang Lisong”.
bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan.”
Heru lalu berani mengambil langkah baru dengan visi, misi, dan semangat lebih mendekatkan seni kepada masyarakat.
Mengulang dari Nol
Jembatan yang telah ia bangun kemudian diperbaiki agar bisa benar-benar menghubungkan seni dengan masyarakat Solo. Di sebuah pos kecil di sudut pintu masuk Taman Sriwedari yang kala itu tengah terpuruk, Heru menemukan harapan baru.
Ia tinggalkan ingar bingar festival tingkat nasional dan internasional untuk kembali kepada masyarakat, mengenalkan seni yang sesungguhnya. Heru rela meninggalkan kenyamanan memproduksi kegiatan kesenian yang ia dapatkan dulu untuk bisa merasakan langsung manfaat dan kedekatan seni dengan masyarakat.
Lika-liku perizinan, tantangan dalam bertemu dengan berbagai kalangan masyarakat serta instansi ia nikmati demi terciptanya kegiatan kesenian yang dapat membawa rasa baru bagi masyarakat awam.

"Proses ternyata menyenangkan. Saya bisa berdialog dengan pedagang, birokrasi, bertemu dengan orang dari lintas disiplin. Saya anggap itu tantangan yang menyenangkan," katanya.
"Saya merasakan suatu spirit baru, pengalaman baru. Saya belajar kembali," imbuhnya.
Pentas tari, musik jazz, wayang, dan musik etnik di Taman Sriwedari kala itu lahir dari gotong-royong dan keterlibatan banyak pihak. Heru teringat akan rasa haru saat melihat banyaknya masyarakat yang awalnya sekadar jalan melewati Sriwedari, justru mendapat pengalaman menonton pertunjukkan tari untuk pertama kali.
Ia kembali tersadar bahwa hal sederhana seperti itu jauh lebih memiliki manfaat bagi orang banyak, dan semangat seperti itu harus hadir di ruang-ruang publik.
Bersama Mataya Arts and Heritage yang semula bernama Mataya Production, Heru menawarkan semangat dan nilai baru. Ia mencoba menggabungkan seni dengan pusaka budaya. Kegiatan kesenian dibawa ke ruang publik yang memiliki narasi sejarah yang penting bagi Kota Solo.
Mataya Arts and Heritage yang merupakan organisasi budaya bersifat nirlaba, ingin memaknai kembali nilai-nilai historis kemanusiaan dengan nilai-nilai baru pada warisan budaya nonbendawi dan bendawi sebagai bagian pertumbuhan masyarakat kota dalam perspektif kekinian.
Beberapa kegiatan kesenian yang dilakukan Mataya Arts and Heritage di awal bangkitnya adalah pameran batik di Kampung Kauman, Jazz in Museum, pameran di taman-taman kota, serta festival seni pasar tradisi.
Mereka juga ingin menghidupkan spirit masyarakat kota untuk mencintai warisan budaya dalam bentuk penyelenggaraan peristiwa kesenian dan kebudayaan, serta membangun kesadaran bersama masyarakat untuk peduli dan merawat warisan budaya demi generasi mendatang.
Seni dan Ruang Publik di Solo
Di antara tumpukan tas anyaman, payung tradisional dengan lukisan estetik, dan ornamen etnik yang ada di kantor Mataya di Jalan Timuran, Solo, Heru melakukan kilas balik tentang apa saja yang telah ia dan Mataya lakukan selama puluhan tahun.
Ia mulai perjalanannya dengan mengingat lagi magisnya Festival Seni Pasar Tradisi. Festival ini digelar di tengah pasar-pasar ikonik di Kota Solo seperti Pasar Gede, Pasar Legi, Pasar Kembang, dan Pasar Klewer. Bukan dengan dekorasi megah, panggung festival pasar tradisi adalah suasana pasar itu sendiri; pedagang yang berlalu lalang, para pembeli, penonton festival disatukan oleh kerinduan akan dekatnya seni di kehidupan sehari-hari masyarakat.
Bersama Yayasan Solo Batik Carnival dan Pemerintah Kota Surakarta, Mataya Arts and Heritage turut membantu terselenggaranya Solo Batik Carnival—parade yang menampilkan kostum batik yang kreatif dan inovatif.
Kemudian pada tahun 2014, Mataya Arts and Heritage menggelar Festival Payung. Dua tahun melakukan riset, Heru menemukan bahwa kehidupan desa pengrajin payung di Indonesia sedang dalam kondisi yang tidak begitu baik. Saat itu, Heru mengungkap belum ada yang mengangkat isu payung tradisional, sehingga ia bersama Mataya dengan percaya diri mengenalkan payung tradisi kepada masyarakat.
Festival lain yang baru dirintis adalah Festival Tas Nusantara. Tema ini dipilih karena berangkat dari keresahan yang sama dengan payung tradisi, yaitu bagaimana mengenalkan dan mengajak masyarakat untuk melestarikan tas-tas tradisional Indonesia agar tidak hilang terkikis zaman.

Kemudian Solo Menari yang sudah berjalan tiga tahun terakhir juga mencoba menunjukkan bahwa gerakan-gerakan pada kesenian tari mengambil inspirasi dari lingkungan sekitar. Seperti yang diangkat oleh Mataya di Solo Menari 2 tahun terakhir, mereka mengambil tema fauna dengan narasi kesejarahan kebun binatang di Solo. Tahun ini, mereka mengambil tema daun menari. Di tahun pertama terselenggaranya Festival Solo Menari, Mataya membawakan tari Bedhoyo untuk bisa dinikmati masyarakat luas.
Semua festival tersebut diselenggarakan di titik-titik strategis Kota Solo seperti Jalan Slamet Riyadi, Balaikota, Taman Balekambang, dan Koridor Ngarsopuro.
Koridor Ngarsopuro selama lima tahun terakhir juga telah menjadi rumah bagi para seniman kerajinan Kota Solo. Ia adalah Solo Art Market yang terinspirasi dari pameran seni di Eropa dan Thailand yang digelar di ruang publik dengan latar arsitektur kota.
Ngarsopuro dirasa tepat karena berada dekat dengan Pasar Triwindu, salah satu pasar bersejarah di Solo yang menjual berbagai barang antik. Melalui Solo Art Market, Heru menginginkan pengunjung tak hanya membeli hasil karya seniman, namun juga merasakan suasana dan pengalaman yang tak terlupakan dengan melihat langsung proses seniman bekerja.
Tak hanya di Koridor Ngarsopuro, Mataya juga membawa para seniman tersebut ke Kampung Kauman dalam pameran Kaoem Craft yang juga rutin digelar.
Kolaborasi Membuat Ide Tak Pernah Mati
Tak dapat terelakkan bahwa puluhan tahun bergulat di bidang seni, terkadang ide baru sulit muncul. Namun hal itu dapat teratasi dengan berkolaborasi, berdiskusi lintas bidang. Menurut Heru, kerja-kerja produksi pergelaran seni tidak bisa berjalan sendiri dan harus melibatkan banyak bidang, sehingga akan muncul banyak ide hingga dapat diwujudkan.
"Menguatkan apa-apa yang saya pikirkan. Saya lebih suka melibatkan banyak orang dari lintas disiplin. Di sini (Mataya) orang yang sekolah seni malah jarang. Jadi dalam satu kegiatan bisa melibatkan lintas bidang," ungkap Heru saat ditemui Tirto, Jumat (15/8/25).
Heru juga menyebutkan dua hal penting yang menjadi kunci konsistensi Mataya Arts and Heritage selama ini, yakni pelestarian dan kreatifitas. Pelestarian dapat dilakukan hanya dengan diskusi atau sarasehan, namun untuk menghidupkan kreativitas diperlukan sumbangan pemikiran dari bidang lain seperti arsitek hingga penata busana.
Muara dari kegiatan seni yang diinisiasi Mataya Arts and Heritage adalah pemberdayaan para pelaku seni terkhusus di bidang ekonomi. Tak hanya dipamerkan, Heru berharap karya-karya tersebut dapat diperjualbelikan agak berdampak pada ekonomi para seniman.
"Kalau nggak ada dampak, ya berat. Nggak akan berjalan. Para seniman bisa berjalan karena ada dampak ekonomi kreatif biar mereka bisa hidup, bertahan, berkarya lebih bagus," terangnya.
Terakhir Heru berharap agar semakin banyak kegiatan kesenian bisa hadir di ruang publik di Solo. Ia juga menginginkan peran aktif anak-anak muda yang mengeksplorasi dan berkolaborasi mengangkat pesona ruang publik seperti kampung kota. Karena menurutnya dengan upaya tersebut, anak muda akan memiliki rasa bangga akan kampungnya sendiri yang kaya akan potensi dan narasi sejarah yang melekat.
Penulis: Adisti Daniella Maheswari
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































