Menuju konten utama
Horizon

Merawat Sejarah Kemlayan lewat Sri Laras Dharmo Soeko

Kisah tentang kelompok gamelan Kemlayan Sri Laras Dharmo Soeko di Surakarta yang mencoba menghidupkan kembali kampung seniman.

Merawat Sejarah Kemlayan lewat Sri Laras Dharmo Soeko
Anggota kelompok gamelan Sri Laras Dharmo Soeko sedang mempersiapkan diri sebelum mulai berlatih. Foto/Adisti Daniella

tirto.id - Lantunan musik gamelan sayup-sayup terdengar di tengah ramainya pusat perdagangan kawasan Kemlayan, Solo. Suara itu berasal dari kelompok gamelan Kemlayan Sri Laras Dharmo Soeko yang tengah berlatih. Menuju usianya yang kedua tahun, mereka mencoba mengembalikan ingatan masa lalu akan identitas Kampung Kemlayan sebagai kampung seniman, khususnya seni karawitan dan gamelan.

Kampung Kemlayan terletak di titik strategis Kota Surakarta, yakni di sebelah barat Keraton Kesunanan dan sebelah selatan Pura Mangkunegaran. Kampung ini dulunya menjadi tempat tinggal para abdi dalem yang berkecimpung di dunia kesenian tradisional karawitan Jawa.

Menurut Heri Priyatmoko dalam studinya yang berjudul "Gamelan di Kemlayan: Studi Sejarah Kampung Abdi Dalem Niyaga di Surakarta", terdapat dua versi yang menceritakan tentang sejarah atau riwayat Kampung Kemlayan. Kendati demikian, dua versi tersebut sama-sama merujuk pada satu makam bernama Mbah Berak.

Versi pertama menyebut, pada era Pakubuwono IV, kampung tersebut masih berupa kuburan besar dengan salah satu kuburan yang sulit dipindahkan, yakni kuburan Mbah Berak. Diceritakan bahwa Pakubuwono IV sering berziarah ke makam Mbah Berak. Suatu hari, saat mempelajari gending, ia lupa menjalankan salat lima waktu. Sejak itu, Pakubuwono IV memerintahkan abdi dalem untuk membangun sanggar pamujan serta sumur untuk wudu di dekatnya. Ia kemudian menamai kampung tersebut dengan Kampung Kamulyan.

Setelah dibuka untuk kawasan permukiman, Kampung Kamulyan hanya ditempati oleh para abdi dalem karawitan atau pangrawit dari Keraton Kesunanan yang dikenal dengan nama "Mlaya". Mereka kemudian melakukan regenerasi dan setia di bidang kesenian. Mereka juga berhasil menjaga loyalitasnya kepada keraton. Oleh karena itu, seiring waktu, kampung ini berubah namanya menjadi Kemlayan.

Sedangkan versi kedua menyebut kampung itu dulu adalah sebuah kuburan sebar. Selain itu, juga merujuk pada seorang abdi dalem niyaga Keraton Surakarta yang bernama Mlayasemendi yang memiliki keturunan dan bergelut di bidang kesenian hingga tempat itu dikenal dengan nama Kemlayan.

Dari dua versi cerita tersebut, Heri Priyatmoko menggabungkannya hingga dapat membuka tafsir baru, yakni bahwa Pakubuwono IV memberikan tempat hunian untuk Mlayasemendi sebagai hadiah karena ia telah mengabdi kepada keraton, khususnya di bidang seni karawitan.

Kemudian Mlayasemendi mengajak rekan-rekannya yang bergelut di bidang serupa untuk bermukim di Kampung Kemlayan. Ajakan ini diharapkan mampu memunculkan semangat kolektif dalam mengembangkan karawitan di kawasan tersebut untuk mendukung kelancaran usaha pengembangan kesenian tradisional.

Pemberian tempat atau ruang khusus untuk para seniman keraton menunjukkan kedudukannya di dalam kekuasaan Jawa. Para pegiat seni, khususnya karawitan, selalu dibutuhkan oleh penguasa Keraton Kesunanan karena sebagai pewaris Kerajaan Mataram Islam, ia mempunyai kepentingan politik kultural untuk melanjutkan tradisi kesenian dan politik syiar Islam. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari tradisi membunyikan gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Guntur Sari dalam upacara Sekaten.

Taria gambyong

Para penari yang sedang berlatih tarian Gambyong. Foto/Adisti Daniella

Menghidupkan Kembali Kampung Seniman

Untuk menghidupkan kembali Kemlayan sebagai kampung seniman, Mulyati selaku pegiat seni sekaligus Ketua Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Kemlayan menginisiasi membentuk kelompok gamelan Sri Laras Dharmo Soeko. Nama ini diambil dari nama kelompok tari yang ada di Kemlayan pada tahun 1924.

Kelompok ini berangkat dari nol. Mulanya mereka belum memiliki alat gamelan sendiri, dan karena kebanyakan dari anggotanya masih awam akan musik gamelan, mereka harus mulai belajar dari materi paling dasar.

Awalnya mereka menggunakan gamelan milik Projolukitan. Namun karena beberapa hal, alat-alat tersebut kurang mendukung. Sampai akhirnya Mulyati mendapat tawaran dari salah satu komandan mess AURI di Sasono Jumantoro untuk menggunakan alat gamelan yang ada di sana. Sejak saat itu, kelompok gamelan Sri Laras Dharmo Soeko rutin berlatih tiap hari Kamis malam di Sasono Jumantoro, Kemlayan.

Di awal pembentukannya, terdapat dua kelompok gamelan, yakni kelompok anak-anak dan dewasa. Seiring waktu, kelompok gamelan anak-anak terpaksa berhenti karena kondisi atau suasana hati anak-anak yang tidak menentu.

"Ya, sudah kami putuskan [yang] dewasa saja, kan mereka bisa agak disiplin. Kalau anak-anak moody-an," ujarnya.

"Yang datang beda orang lagi sama yang sebelumnya, jadi yang ngajari nggak bertambah materinya karena harus mengulangi materi lagi," lanjutnya.

Saya berkesempatan melihat langsung kelompok gamelan tersebut berlatih pada Selasa (11/6/25). Jadwal latihan kali ini terpaksa diubah karena pada hari Kamis mereka berhalangan untuk menghadiri suatu acara.

Pertama, mereka berlatih memainkan gending untuk mengiringi tarian Gambyong Pareanom. Mulyati menyebut, mereka membutuhkan waktu beberapa minggu untuk gending Gambyong ini, sedangkan untuk lagu-lagu lain hanya memerlukan dua sampai tiga kali pertemuan.

Harmonisasi dari bonang, saron, kendang, serta gerak gemulai para penari membuat saya terkesan. Para penari yang tergabung dalam kelompok gamelan ini merupakan mahasiswa ISI Surakarta. Menurut Mulyati, anggotanya tak hanya warga asli Kemlayan, tapi juga dari luar daerah.

Sri Laras Dharmo Soeko menabuh gendhin

Kelompok gamelan Sri Laras Dharmo Soeko menabuh gendhin untuk iringan tari Gambyong 2. Foto/Adisti Daniella

"Di sini sebetulnya banyak orang luar [Kemlayan] yang mau ikut. Tapi karena kegiatan ini didanai kelurahan, jadi kalau terlalu banyak mengambil orang luar, kan nggak enak sama kelurahan. Kan ini untuk kegiatan warga sini," ujarnya, Selasa (11/6/25).

Kelompok gamelan ini sudah sering tampil di berbagai acara lokal seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan (Musrengbangkel), acara yang diadakan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK), hingga acara Malam Satu Suro yang mereka hadiri tahun lalu dan tahun ini rencananya akan ikut lagi.

Namun Mulyati mengaku ia dan kelompoknya masih belum berani untuk tampil di tingkat yang lebih tinggi dan jangkauan yang lebih luas.

"Butuh proses yang panjang dan nggak sekali jadi. Nanti semoga, didoakan saja bisa keluar [daerah], [sekarang] kami belum berani," katanya.

Mulyati juga mengungkapkan, bahwa ia telah berencana mengikutsertakan kelompok gamelan ini di festival yayasan seni S. Ngaliman Condropangrawit pada Agustus mendatang. Tokoh yang kebetulan mertua Mulyati itu adalah empu tari dan pangrawit tradisi Keraton Surakarta.

Tak hanya itu, Mulyati juga kerap mengajak rekan-rekannya untuk menghadiri berbagai event kebudayaan serta kesenian. Menurutnya, hal itu dilakukan untuk memacu dan memberi semangat agar mereka semakin giat dalam berlatih.

"Kami memacu para anggota untuk latihan lebih giat, memberi semangat. Dulu membawa anak-anak ini ke Gunung Kidul, karena saya punya komunitas lesung di sana. Saya juga pernah bawa ke acara ulang tahun Taman Budaya Jawa Tengah," ujarnya.

Dua tahun berjalan, banyak suka duka telah terlewati kelompok gamelan Sri Laras Dharmo Soeko. Agenda latihan rutin mereka menjadi ajang untuk saling melempar tawa dan berbagi cerita. Meskipun awalnya terasa sulit, dengan dukungan satu sama lain, mereka dapat bertahan sampai saat ini.

Baca juga artikel terkait KAMPUNG KOTA atau tulisan lainnya dari Adisti Daniella Maheswari

tirto.id - News
Kontributor: Adisti Daniella Maheswari
Penulis: Adisti Daniella Maheswari
Editor: Irfan Teguh Pribadi