Menuju konten utama

Collective Lab Garap Pentas Silang Media 'Robohnya Surau Kami'

Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis terbit pertama kali pada 1955. 70 tahun kemudian, Collective Lab mengadaptasinya melalui pertunjukan seni silang media.

Collective Lab Garap Pentas Silang Media 'Robohnya Surau Kami'
Proses latihan Sound and Visual Performance berbasis Objek: Robohnya Surau Kami (A.A. Navis) oleh Collective Lab di IFI Bandung, Jalan Purnawarman No. 32, Kota Bandung, Minggu (6/7/2025). Foto/ Istimewa

tirto.id - Kelompok Collective Lab asal Bandung akan menggelar Pertunjukan Visual dan Bunyi (Sound and Visual Performance) berbasis Objek: Robohnya Surau Kami (A.A. Navis) di IFI Bandung, Jalan Purnawarman No. 32, Kota Bandung pada Kamis-Jumat, 10-11 Juli 2025.

Mengadaptasi cerita pendek legendaris karya Ali Akbar Navis (1924-2003), pertunjukan ini berupaya memaksimalkan dialog antara manusia dan non manusia, melalui percobaan-percobaan bunyi dan visual, serta mengoptimalkan penggunaan media digital yang performatif.

"Singkatnya, kami berupaya menggunakan objek, benda, dan hal-hal non-antroposentris di dalam seni pertunjukan," ungkap Akbar Yumni, dramaturg Sound and Visual Performance berbasis Objek: Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), kepada reporter tirto.id, Senin (7/7).

Cerpen Robohnya Surau Kami sendiri pertama kali terbit pada 1955 di majalah Kisah. Salah satu cerpen favorit almarhum Gus Dur ini bercerita tentang Haji Saleh, kakek penjaga surau yang taat beribadah, tetapi mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Penyebabnya, Haji Saleh merasa disindir oleh Ajo Sidi, seorang pembual yang menyebut hidup Haji Saleh jauh dari rido Allah lantaran hanya fokus beribadah, tetapi absen melaksanakan ibadah-ibadah sosial.

"Dialog Haji Saleh dan Tuhan ini juga menjadi penanda penting dalam cerita pendek Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis. Selain menggambarkan dunia setelah kematian (akhirat), yang bukan realisme, ada juga figur-figur semacam Tuhan dan malaikat yang non representasional," kata Akbar.

Tegangan antara yang realisme dan surealisme, antara yang vertikal dan horizontal, antara yang ketuhanan dan kemanusiaan itulah yang mendasari adaptasi cerpen Robohnya Surau Kami ke dalam pertunjukan visual dan bunyi. Pende kata, gagasan utama adaptasi Sound and Visual Performance berbasis Objek: Robohnya Surau Kami (A.A. Navis) adalah tegangan dua dunia.

"Dualisme ini dihadirkan sebagai kontras antara tubuh dan objek, antroposentris dan non antroposentris, antara yang representasional dengan yang sensori, di dalam seni pertunjukan. Dua figur beda entitas ini menjalin dialog, semacam interteks yang biasa digunakan dalam prinsip silang media," sambung Akbar.

Collective Laboratory & Berevolusinya Jack Si Robot

Collective Lab merupakan laboratorium seni berbasis kolektif yang diisi seniman dengan beragam latar belakang, semacam komunitas yang terus tumbuh dan terbuka terhadap beragam seniman dan disiplin. Dalam garapan Pertunjukan Sound and Visual Performance berbasis Objek: Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), Collective Lab melibatkan Deden Jalaludin Bulqini (sutradara; seniman visual), Vicky Mono (kolaborator; musikus, vokalis band cadas Deadsquad), Akbar Yumni (dramaturg; anggota Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta 2023-2026), Moh. Wail (aktor), dan Punjung W (animator).

"Aktor-aktor" dalam karya Bulqini tidak hanya manusia sebagaimana aktor pada pertunjukan konvensional, tetapi juga robot dan entitas non antroposentris lainnya. Sementara pertunjukan demi pertunjukan terus berlangsung dan berkembang, hal yang sama berlaku pada Jack, robot yang pertama kali dirancang oleh Bulqini pada 2015. Seiring berkembangnya pertunjukan, Jack pun terus mengalami evolusi hingga sekarang, disesuaikan dengan ruang, tafsir, sekaligus tema garapan pertunjukan Bulqini dan seniman-seniman lainnya.

"Melalui beberapa pertunjukan dengan tema yang silih berganti berdasarkan spasialitas ruang dan festival, kolektif ini juga silih berganti melibatkan beragam seniman lintas disiplin, untuk merespon keberadaan Jack itu sendiri. Secara tidak langsung, berbagai 'Jack Project' ini menjadi ajang bertemu dan berdialognya para seniman lintas disiplin," ungkap Bulqini.

Disinggung tentang keputusannya bertungkus lumus dengan Jack selama satu dasawarsa, Bulqini memberi jawaban gamblang. "Saya bosan menyutradarai manusia."

Baca juga artikel terkait PERTUNJUKAN TEATER atau tulisan lainnya

tirto.id - Sosial Budaya
Reporter: Zulkifli Songyanan
Editor: Zulkifli Songyanan