tirto.id - Sejarawan Anthony Reid wafat pada Minggu, 8 Juni 2025. Chatib Basri, anggota Dewan Ekonomi Nasional mengabarkan hal itu di akun X pribadinya, "Kawan dan Guru saya, sejarawan Anthony Reid telah pergi. Ia tidak hanya membaca Asia Tenggara, tapi mendengarkannya."
Disusul unggahan Nezar Patria, Wamen Komunikasi dan Informatika, di akun Instagram-nya, "Turut berduka mendalam. Selamat jalan Anthony Reid, yang kerap disapa Tony Reid. Karya-karya raksasa tentang sejarah Aceh, Indonesia, dan Asia Tenggara akan tetap hidup dan mencerahkan dari generasi ke generasi. Istirahat damai dalam keabadian."
Juga kesan terenyuh nostalgia sejarawan muda, FX Domini BB Hera, yang berselesa hampir dua dekade silam menyongsong Anthony Reid saat melawat bersama istri terkasih, Helen Reid, di Bandara Juanda Surabaya. "...belum lama di kendaraan ia sudah bertanya bahwa di manakah Gereja Katolik terdekat yang bisa mereka masuki tuk ikut misa... Wow, religius sekali... Karya-karyamu abadi, Pak Tony," tulisnya.
Karya-karya Anthony Reid melintasi zaman. Sosoknya begitu beken di Asia Tenggara, khususnya bidang sejarah. Ukiran penanya menggema terutama lewat Age of Commerce, yang dua jilidnya telah diterjemahkan dengan judul Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680.
Benih-benih pengetahuan ia ditebar. Dibawa angin yang melarungkan namanya lewat laut lepas. Untuk bekal pijakan generasi sejarawan selanjutnya, tulisannya akan terus hidup dan hanyut. Tak hanya berlabuh di Asia Tenggara, tetapi napas panjangnya akan terus mendunia.
Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer, "menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Indonesia sebagai Pintu
Semasa hidup, Tony--demikian panggilan akrabnya, adalah sejarawan yang mengabdi untuk Asia Tenggara. Publik lebih akrab dengan memoarnya sebagai indonesianis.
Anthony Reid lahir di Selandia Baru pada 19 Juni 1939. Setelah perjumpaannya dengan Helen (Gray) Reid di Cambridge dan menikah pada 1963, Tony melakoni kerja-kerja sebagai akademisi.
Dia mengajar di Universitas Malaya, Australian National University (ANU), University of California Los Angeles (UCLA), dan National University of Singapore. Saat di Kuala Lumpur, pasangan ini memutuskan mengadopsi dua anak, Kate dan Daniel, lalu menetap di ibu kota Australia, Canberra, pada 1970.
Perkenalannya dengan studi Asia Tenggara berawal pada warsa 1952. Waktu itu, Tony remaja ikut serta ayahnya yang tengah melakoni dinas kenegaraan sebagai diplomat di Jakarta. Dan negara muda usia itu berhasil memikat Tony.
Ketertarikannya terhadap Asia Tenggara bertambah tatkala dia mendapatkan gelar doktoral di Cambridge University, lewat karyanya yang menyoroti persaingan kekuasaan di utara Sumatra pada akhir abad ke-19. Disertasinya itu kemudian diterbitkan sebagai buku The Blood of the People (1974), yang turut memuat konflik revolusi penyebab putusnya pertalian tradisi lokal di sana.
Namun, perjumpaan perdananya dengan Sumatra sebetulnya tak berpangkal pada peristiwa itu. Tony lebih dulu menerbitkan buku The Contest for North Sumatra: Atjeh, the Netherlands and Britain, 1858-1898 (1969). Karya itu mulanya diterbitkan oleh Oxford University Press yang bekerja sama dengan University of Malaya Press. Pada 2004, karya ini baru diterjemahkan ke dalam ke bahasa Indonesia.
Kariernya sebagai indonesianis menyeretnya hanyut bersama angin Asia Tenggara. Dia tak mau karyanya berhenti pada pusara institusi. Tony ingin agar warisan pengetahuannya dapat dibaca secara luas.
Kendati Fernand Braudel adalah sejarawan pertama yang memperkenalkan studi metode sejarah total lewat dunia Mediteranian, nuansa Anthony Reid dalam penggambaran Asia Tenggara benar-benar segar nan baru. Bagi Tony, di antara Asia Tenggara dengan Laut Mediterania, sedikit persamaan yang dapat benar-benar fundamental pada kedua wilayah ini.
Adalah struktur geografi berupa kawasan pulau-pulau yang sama-sama terpisah dari lautan, sebagaimana di India, Asia Timur, dan Pasifik. Namun lebih dari itu, kedua wilayah ini benar-benar menyajikan sejarah dan kebudayaan yang berlainan.
Anthony Reid—dalam menggambarkan Asia Tenggara—lebih condong menekankan aspek sejarah wilayah ini dengan asas persatuan (unitarisme). Dia memperlihatkan perbedaan dari setiap masyarakat di tiap daerah, tetapi yang menghubungkan pertalian di antara satu sama lain adalah nilai persatuan yang sangat menonjol.
Buku yang ditulisnya saat masa cuti pada 1978 untuk melakoni kerja-kerja kearsipan di Belanda, Inggris, dan Prancis itu sukses menjadi rujukan penting dalam kajian sejarah Asia Tenggara. Dua dekade setelahnya, dirinya yang merasa "berjarak" dengan Asia Tenggara menceletuk pada Konvensi Internasional Sarjana Asia (ICAS) di Leiden, 1998, "tempat untuk mengkaji Asia adalah Asia."
Selain menerbitkan buku, Anthony Reid juga berpartisipasi dalam penyuntingan buku. Misalnya Perceptions of the Past in Southeast Asia (Singapura, 1979) bersama David Marr, alu Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia (Queensland University Press, 1983), kemudian kolaborasinya dengan Akira Oki, The Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs of 1942-1945 (Ohio University Center, 1986), dan masih banyak lagi.
Penghargaan untuk dirinya pun terus berdatangan. Pada tahun 2002, waktu dia menjadi Direktur AsiaResearch Institue (ARI) di National University of Singapore, Tony mendapat penghargaan Fukuoka Asian Cultural Prize. Tanda jasa itu adalah memorabilia atas kerja sama dan pengertiannya dalam merangkai Asia.
"Saya merasa beruntung sekali dan merasa sangat terhormat. Saya sangat berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia karena membuka pintu yang luas kepada seluruh dunia. Ini merupakan salah satu peristiwa yang terpenting dalam perjalanan karier saya," ujarnya.
Sejarah Total: Indonesia, Asia Tenggara, dan Dunia
Sejarawan Prancis, Lucien Febvre, saat mengkritik pendekatan Toynbee yang dianggap "terlalu disederhanakan", memberikan tamsil lewat anekdot.
"Seorang raja pada menit terakhir sebelum maut datang menjemput, meminta wazir istana menceritakan keseluruhan sejarah dari dahulu sampai sekarang. 'Baginda,' kata wazir yang bijaksana itu, 'manusia-manusia itu lahir, mencintai, dan meninggal.'"
Asvi Warman Adam, yang berkesempatan mengisi pengantar buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara (1999: xiii) menyitir anekdot ini sebagai kalimat pembukanya untuk (turut) membiaskan metode sejarah total Anthony Reid.
Sejarah bukan hanya milik kalangan dalam pagar istana. Sejarah milik semua orang, publik yang menggeluti persoalan politik, militer, atau dengan kata lain berdimensi multidisipliner. Metode inilah yang berhasil dirajut Anthony Reid.
Pergumulan Tony dengan sejarah total dan kajian Asia Tenggara adalah termasuk yang pertama mengenai Asia Tenggara. Karenanya maklum, karya-karyanya sukses menjadi motor pendorong kajian akademik lain dalam studi wilayah ini.
Tony melontarkan ide revolusioner tentang Asia Tenggara, bahwa penyematan mereka yang miskin, rural, dan inward-looking yang dihadapi oleh para kolonialis Eropa abad ke-19 merupakan konstruksi dari defisit budaya yang inheren. Kolonial yang datang ke Indonesia, Asia Tenggara, dan mungkin dunia akan selalu memandang rendah daerah jajahan mereka. Sementara di lain sisi, kekayaan sumber daya alam, manusia, dan budayanya dikeruk habis.
Gagasan itu yang sekiranya memiliki keterhubungan dengan tolok ukur landasan Indonesia-sentrisme ala revolusi Sartono Kartodirdjo. Landasan itu dipilih guna mencucuk hidung neerlando-sentrisme sewaktu merumuskan proyek Sejarah Nasional Indonesia (1975: xii). Sebab bagi bangsa yang merdeka dari penjajah, perlu pendekatan yang bertolok dari sudut pandang mereka sendiri, dan menghilangkan bias kolonial.
Oleh karenanya, rerata sejarah total yang merujuk pada kebesaran bangsanya acap terbit pada masa pasca-perang, khususnya PD II. Negara-negara yang membutuhkan legitimasi atas kebesaran negaranya memilih jalur diplomatik semacam ini guna mengukuhkan diri sebagai "bangsa digdaya" di dunia.
Karya-karya Anthony Reid akan senantiasa menegaskan warisan intelektual yang teramat berharga. Bukan hanya di Asia Tenggara, tetapi juga dunia. Dia serupa nyala obor yang menyibak cakrawala.
Namun Tony bukanlah "nabi ilahiah" yang menuntun zaman menuju iman terang benderang. Dia lebih cocok disebut peziarah yang senantiasa bercokol dengan manusia dan budaya. Melukis potongan-potongan peta intelektual, bukan dengan teori baru, tetapi kepekaan yang menuntunnya pada momen-momen sakral.
Dia melihat Aceh bukan sebagai "taman suci surgawi", melainkan ruang hidup manusiawi dengan segala cahaya, gelap, harum, busuk, bersih, bahkan kotor. Prinsip yang mungkin sedikit banyak timpang dengan mayoritas sejarawan yang datang dari Barat. Ketika rekan sejawat lainnya datang sebab mengendus garam imperial, goresan tinta misionaris, atau upaya mesianitas dengan kedok "pemberadaban".
Lewat Anthony Reid, kita akan disuguhkan orientalisme yang boleh jadi berkata jujur. Pelabuhan dan lumbung rempah bergelimang darah sama-sama jadi alat penyokong politik, tempat bagi cendekiawan muslim mengkodifikasi mushaf, tetapi juga tak jarang menjual ayat dan kitab suci demi kepentingan pribadi.
Ada korupsi, skandal, dan intrik dari balik kelambu istana. Menyiratkan bahwa sejarah total yang sekalipun dilihat dari perspektif Asia Tenggara tak benar-benar lepas dari kenistaan. Sejarah bukan bertujuan melihat cela, melainkan dramaturgi yang penuh kejujuran, dan Tony adalah pengembara yang berhasil mengumpulkan naskah kaya data.
"Kegiatan ilmiah kaum orientalislah yang memulai tugas heroik untuk mengangkat dan membuat kita kembali dapat membaca peninggalan-peninggalan tertulis dari bangsa-bangsa Asia Tenggara itu sendiri," tulis Anthony Reid sebagai pesan terhadap cara pandang mekanisme sejarah (1992: hlm. xxx).
Bersemayamlah dalam keabadian, Anthony Reid. Karya-karyamu hanyut bersama angin dan laut, berkelana ke seluruh penjuru.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi