tirto.id - “Udah gue invite, cek aja di e-mail!” tukas Arie Wibowo, seorang desainer kantoran di Jakarta Selatan, saat mengundang untuk kolaborasi membuat poster acara komunitas.
Saat itu tahun 2016, saya masih gaptek dengan tampilan perangkat web yang ia kenalkan: canva.com. Saat Arie sedang dikejar pekerjaan desain kantornya, ia akan membagikan layanan Canva dan sudah membuat templat standar untuk dibagikan kepada anggota komunitas lain.
Membuat poster, presentasi, dan desain apa pun menjadi lebih mudah dengan Canva, cukup menggeser, klik, dan tempatkan tata letaknya. Setelah itu kita bisa unduh hasilnya atau dibagikan ke pengguna lain.
Bandingkan saat kita melakukan desain serupa dengan perangkat lunak desktop seperti Adobe Photoshop, Adobe Illustrator, maupun Power Point, bisa berjam-jam, bahkan seharian.
“Semua orang sekarang bisa menjadi desainer berkat Canva. Tim sosmed, tim e-commerce, sampai kadang orang-orang marcomm sekarang udah bisa menghasilkan desain sendiri tanpa bantuan desainer grafis,” ujar Arie yang kini bertanggung jawab sebagai Creative Director di SESA, sebuah toko daring yang menawarkan produk-produk kesehatan.
Arie cukup akrab dengan Canva karena fitur dan tampilannya yang unik. Hal yang menjadi andalan salah satu pendirinya, Melanie Perkins, ketika memulai perjalanannya mengembangkan platform perusahaan yang berbasis di Australia tersebut.
“Tidak seperti perangkat lunak desain desktop tradisional, Canva berbasis web dan menyatukan semua alat di satu tempat,” tuturnya sebagaimana dikutip halaman resmi perusahaan saat peluncuran perdananya pada 2013.
Canva didirikan Melanie Perkins bersama Cliff Obrecht dan Cameron Adams. Selama satu dekade, layanan ini menjadi platform desain grafis online terbesar di dunia, dengan 135 juta pengguna aktif yang tersebar di lebih dari 190 negara.
Aplikasi ini menawarkan berbagai fitur desain, termasuk templat, elemen grafis, dan alat pengeditan yang mudah dioperasikan.
Lahir dari Kesulitan Penggunaan Perangkat Lunak
Canva kini bernilai $40 miliar, menjadikannya startup paling bernilai yang didirikan dan dipimpin oleh perempuan di dunia.
Melanie Perkins mendapatkan idenya di kampus saat bertemu Cliff Orbecht yang kemudian menjadi suaminya. Dilahirkan pada 13 Mei 1987 di Perth, Australia Barat, Perkins kecil sudah menunjukkan minat yang besar dalam dunia desain dan teknologi.
Ia sering kali menghabiskan waktu luangnya untuk menggambar dan merancang beberapa poster hingga menyusun tata letak majalah. Selain itu, ia juga menyukai dunia wirausaha. Ketika usianya 14 tahun, ia sering membuat syal dan menjualnya ke toko dan pasar lokal di Perth.
“Saya tidak pernah melupakan kebebasan dan kegembiraan karena bisa membangun bisnis. Itulah salah satu kekuatan pendorong saya meluncurkan apa yang kemudian berkembang menjadi Canva,” ujarnya dalam sebuah wawancara di Entrepreneur.
Ketertarikannya terhadap desain grafis berkembang ketika masuk ke bangku sekolah menengah. Ia mulai belajar menggunakan perangkat lunak desain seperti Adobe Photoshop dan Illustrator, dan dengan cepat Melanie menguasai keduanya.
Keahliannya dalam desain grafis semakin terasah saat membuat proyek-proyek desain untuk teman-temannya.
Setelah lulus dari sekolah menengah, Melanie melanjutkan pendidikannya di University of Western Australia mengambil jurusan komunikasi dan desain visual.
Pada 2006 saat berusia 19 tahun, sembari belajar di kampus, ia kerap mendapatkan pekerjaan sampingan untuk mengajar desain kepada siswa lain. Dari sinilah muncul keluhan dari para siswa tentang bagaimana mahal dan rumitnya penggunaan perangkat lunak besutan Adobe dan Microsoft.
Pada kesempatan lain, Melanie dan Obrecht sering kali menghasilkan uang lewat penjualan tato semprot dan cenderamata di pameran atau acara komunitas kampus. Mereka lantas mulai memikirkan cara agar penggunaan desain di masa depan dapat diselesaikan dengan ringkas, sederhana, dan mudah diakses.
Setahun kemudian, keduanya mendirikan Fusion Books, sebuah aplikasi yang memudahkan sekolah dan siswa mendesain buku tahunannya secara mandiri. Aplikasi ini menggunakan alat drag-and-drop yang mudah digunakan para siswa.
Melanie menyulap ruang tamu ibunya menjadi kantor untuk kegiatan operasional harian. Fusion Books inilah yang kelak menjadi embrio dari Canva. Langkah ini mendapat sambutan hangat dari berbagai sekolah dan mulai menjadikan Melanie sebagai pengusaha wanita muda paling sukses di Australia.
Namun, ia merasa Fusion Books masih belum cukup. Ia ingin membuat platform desain grafis yang lebih umum, yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Mulai dari pembuatan kartu nama, logo, undangan, poster, presentasi, resume, dan desain lainnya yang rumit, dijadikan menjadi satu wadah dan dapat digunakan siapa saja tanpa harus memiliki keahlian desain grafis.
Ditolak 100 Investor
Canva kini memiliki 4000 karyawan yang menyebar di beberapa kantor perwakilan di Australia, Filipina, China, dan Amerika Serikat. Mereka menghasilkan keuntungan setiap tahun sejak 2017 dan baru-baru ini meluncurkan Artificial Intelligence (AI) untuk menantang Google, Microsoft, dan Adobe.
Bagi Melanie, tantangan awal saat mendirikan Canva adalah mendapatkan pendanaan dari investor. Ia dan Obrecht sempat ditolak oleh lebih dari 100 investor sebelum akhirnya mendapatkan pendanaan dari beberapa investor terkemuka.
Tantangan lain yang dihadapinya adalah meyakinkan orang-orang bahwa Canva adalah platform desain grafis yang benar-benar dapat digunakan oleh siapa saja. Melanie menyadari banyak orang memiliki anggapan bahwa desain grafis adalah hal yang sulit dan rumit.
Warsa 2010, ia bertemu dengan Bill Tai, seorang investor Silicon Valley, dalam sebuah konferensi teknologi di Perth. Pertemuan tersebut membawanya terbang ke San Francisco, AS, untuk mempresentasikan idenya.
Banyak investor awalnya tidak yakin dengan potensi Canva atau mungkin merasa bahwa pasar desain grafis sudah cukup jenuh. Beberapa investor juga menganggap idenya terlalu berani atau belum teruji.
Tetapi, ia tidak menyerah. Melanie terus mengasah presentasinya, memperkuat proposisi nilai Canva, dan berbicara dengan lebih banyak investor. Salah satu kunci kesuksesannya adalah kemampuannya untuk mengatasi penolakan dengan tekad yang lebih kuat dan menggunakan masukan-masukan dari penolakan tersebut untuk memperbaiki pitch-nya.
“Banyaknya penolakan di tahap awal berarti saya harus berusaha lebih keras dan menyempurnakan strategi saya,” kata Melanie dalam sebuah pidato yang dipandu Blackbird Ventures.
Baru pada 2012, presentasinya mulai menarik hati sejumlah investor untuk mewujudkan Canva dalam tahap awal pengembangan. Investasi sebesar $3 juta kemudian terkumpul dari Matrix Partners, InterWest Partners, 500 Startups, Bill Tai, Lars Rasmussen, dan Ken Goldman (CFO Yahoo).
Modal tersebut digunakan untuk membentuk dan mengembangkan tim yang dibantu penasihat teknologi Lars Rasmussen, salah satu pendiri Google Maps. Tak lama kemudian Cameron Adams yang pernah merancang user interface Google juga bergabung mengembangkan teknologi Canva.
Setelah diluncurkan ke publik pada 2013, Canva sukses menggaet lebih dari 750 ribu pengguna pada akhir tahun.
Pada 2014, Guy Kawasaki, mantan chief evangelist di Apple, bergabung dengan Canva sebagai Chief Evangelist. Kawasaki membantu Canva berekspansi secara global seiring dengan pertumbuhan perusahaan yang signifikan. Lebih dari 100.000 desain baru dibuat setiap minggunya oleh lebih dari 330.000 pengguna pada tahun yang sama.
Berkembang Pesat di Tengah Pandemi
Yang membedakan Canva dengan platform desain grafis lainnya ialah aksesnya yang gratis, selain ada juga paket premium untuk tambahan font dan elemen lain yang lebih luas. Bandingkan dengan perangkat lunak seperti Adobe Photoshop misalnya, pengguna harus merogoh kocek berlangganan sebesar Rp3,5 juta lebih untuk durasi satu tahun atau sekitar Rp314 ribu per bulan.
Kelebihan lain, Canva menyediakan ribuan templat dan elemen desain yang dapat digunakan untuk kolaborasi antara pengguna dalam satu proyek, sehingga memudahkan tim untuk bekerja sama dalam membuat desain.
Dengan fitur-fitur tersebut, Canva menjadi salah satu platform desain grafis daring yang paling populer dan banyak digunakan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang.
Pada 2018, investasi Canva mencapai $40 juta dengan nilai jual $1 miliar, termasuk pendanaan dari Sequoia Capital dan Blackbird Ventures, menjadikannya sebagai perusahaan unicorn pertama di Australia.
Di tahun yang sama, mereka melakukan akuisisi pertamanya terhadap Zeetings demi membangun produk presentasi terbaik. Bersamaan dengan itu, pencapaian sejarah juga ditorehkan dengan jumlah desain yang mencapai satu miliar desain di platformnya.
Memasuki pandemi Covid-19 sekitar tahun 2019-2020, Canva mengakuisisi Pexels dan Pixabay, sehingga pengguna lebih mudah dalam mengembangkan konten desain mereka untuk mendapatkan gambar gratis.
Nilai investasi pun terkumpul $60 juta pada tahun 2020 menjadikan valuasi Canva setara $6 miliar. Melanie Perkins menjadi miliarder termuda di Australia dengan kekayaan bersih sekitar 1,3 miliar dolar AS.
Pada 2021, saat orang-orang masih siaga bekerja di rumah karena pandemi, Canva sukses mengumpulkan investasi $200 juta dengan valuasi senilai $40 miliar. Melanie pun menjanjikan dana 30 persen perusahaan (setara $12 miliar) untuk memerangi kemiskinan ekstrem.
Tahun ini, Canva dinobatkan sebagai perusahaan paling berpengaruh oleh majalah Time karena kontribusinya dalam memberdayakan dunia desain.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi