Menuju konten utama
Edusains

Matinya Kepakaran di Tangan Trump

Lewat kebijakan pemotongan dana, Trump berpotensi melanggengkan tren kemunduran sains, sebagaimana disebut oleh Tom Nichols: matinya kepakaran.

Matinya Kepakaran di Tangan Trump
Ilustrasi anggaran penelitian ilmiah AS. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ilmu pengetahuan adalah tulang punggung kemajuan sebuah bangsa. Dari kebijakan kesehatan hingga inovasi teknologi, kepakaran ilmiah memandu langkah-langkah besar yang membentuk masa depan. Namun, di Amerika Serikat, fondasi ini terguncang sejak pemerintahan Donald Trump mengambil arah yang berlawanan dengan konsensus ilmiah.

Retorika yang meragukan sains serta kebijakan pemotongan anggaran penelitian telah menjadi ciri khas pemerintahannya. Tak pelak, hal-hal itu memunculkan kekhawatiran tentang nasib ekosistem akademik di Negeri Abang Sam.

Pemerintahan Trump memutuskan untuk memangkas anggaran. Dunia riset seolah dikejutkan dengan kenyataan pahit: inovasi dan pengembangan ilmu pengetahuan kini dipertaruhkan.

Pemangkasan dana untuk berbagai lembaga penelitian dan kampus telah menghentikan proyek-proyek penting. Kebijakan itu menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di lembaga prestisius seperti Johns Hopkins. Ia juga mengancam kebebasan akademik di kampus-kampus terkemuka, termasuk Harvard dan Columbia.

Dana yang dulu menjadi sumber hidup bagi eksperimen-eksperimen inovatif kini terancam pupus. Akibatnya, tidak hanya kemajuan bidang kesehatan yang terhambat, tetapi juga potensi untuk mengatasi tantangan global seperti penyakit menular dan perubahan iklim.

Pemangkasan Anggaran Riset

Salah satu pilar penting dalam ekosistem riset Amerika Serikat adalah pendanaan federal. Namun, pemerintahan Trump melakukan pemotongan signifikan pada anggaran tersebut, yang secara langsung berdampak pada berbagai institusi.

National Institutes of Health (NIH) menjadi salah satu target utama. Menurut laporan AP News, pada 2023, NIH memperoleh 92 miliar dolar AS, yang dialokasikan untuk 412 ribu penelitian.

Sementara itu, menurut laporan keuangan 2024, hampir 40 dolar AS miliar dana hibah NIH telah didistribusikan ke seluruh negara bagian, mencakup proyek penelitian individu, pemrograman kelembagaan di pusat penelitian dan pelatihan, serta dukungan karir bagi para ilmuwan.

Lalu, Trump datang dan membuatnya kocar-kacir. Ia mengusulkan pembatasan indirect costs hibah NIH hanya sebesar 15 persen. Padahal, biaya tidak langsung itu—sebelumnya bisa mencapai lebih dari 50 persen untuk berbagai institusi—dibutuhkan untuk biaya operasional esensial, seperti pemeliharaan fasilitas, utilitas, dan administrasi.

Para ilmuwan dengan lantang memperingatkan bahwa pemotongan tersebut akan memaksa lembaga penelitian menghentikan atau mengurangi secara drastis studi yang berpotensi menyelamatkan nyawa. Di sisi lain, pihak pemerintah AS mengklaim pemotongan itu bakal menghemat anggaran pemerintah sekitar 4 miliar dolar AS per tahun.

Para analis bahkan memprediksi, pembatasan biaya tidak langsung dapat menyebabkan hilangnya 58.000 pekerjaan di seluruh Amerika Serikat.

Kontroversi Trump tak hanya soal anggaran. Ia juga membekukan proses peninjauan proposal hibah di NIH. Hal itu berpotensi memunculkan ketidakpastian yang melumpuhkan, terutama bagi para peneliti yang bergantung pada dana tersebut.

Ilustrasi anggaran penelitian ilmiah AS

Ilustrasi anggaran penelitian ilmiah AS. FOTO/iStockphoto

Dampak dari pemotongan itu sangat terasa. Lebih dari 780 proposal hibah NIH dihentikan pada bulan pertama pemberlakuannya. Hal itu memengaruhi institusi di berbagai negara bagian, meski dengan latar belakang politik yang berbeda.

Tak hanya satu atau dua bidang penelitian yang jadi korban. Dampaknya merembet ke berbagai isu kesehatan kritis, termasuk penelitian HIV/AIDS, keraguan terhadap vaksin, kurangnya vaksinasi pada bayi, dan penyakit Alzheimer. Sebagai contoh nyata, hibah NIH sebesar 73 juta dolar AS untuk jaringan penelitian HIV/AIDS di Florida State University dibatalkan.

Penelitian penting lainnya, seperti upaya peningkatan tingkat vaksinasi flu di kalangan anak-anak kulit hitam dan studi tentang disparitas kesehatan mental di antara remaja transgender, juga terkena dampaknya.

Lebih lanjut, pemerintahan Trump juga menghentikan pendanaan untuk penelitian yang dianggap terkait dengan diversity, equity, and inclusion programs (DEI) atau “ideologi gender”. Kebijakan itu jelas berpotensi mempersempit ruang lingkup penelitian yang didukung oleh dana federal.

Pemotongan dan pembatasan pendanaan tidak hanya terbatas pada NIH. Badan-badan federal lain yang berperan penting dalam penelitian ilmiah, seperti National Science Foundation (NSF) dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), juga mengalami dampak serupa.

NOAA menghadapi risiko pemotongan anggaran yang drastis. Hal itu akan berpotensi melumpuhkan kemampuannya melakukan penelitian iklim dan memberikan prakiraan cuaca yang akurat.

Pemotongan dana ini bersifat masif, menargetkan berbagai bidang penelitian dan institusi tanpa memandang afiliasi politik wilayahnya. Hal itu mengindikasikan adanya agenda yang lebih luas di balik langkah-langkah ini, bukan sekadar upaya efisiensi fiskal.

Selain itu, penundaan peninjauan hibah, serta penghentian mendadak proyek-proyek yang sedang berjalan, berpotensi menciptakan ketidakstabilan yang signifikan dalam komunitas penelitian.

SeYeon Chung, profesor madya di Louisiana State University (LSU), sedang menghadapi ancaman terhadap penelitiannya tentang pengembangan organ akibat pembekuan dana dari NIH. Pemotongan dana ini tidak hanya menunda proyek penelitian, tetapi juga berpotensi menghambat penemuan dan pengembangan perawatan baru. Dalam jangka panjang, pasien dan keluarganya juga berpotensi terdampak.

Ketidakpastian tersebut dapat secara serius menghalangi para ilmuwan muda untuk mengejar karier penelitiannya. Kualitas studi ilmiah pun bakal merosot seiring waktu.

Tak Hanya Soal Dana, NIH Digerogoti dari Dalam

Kontroversi kebijakan Trump di bidang keilmuan tak berhenti di persoalan dana. Sebelumnya, penunjukan Dr. Jay Bhattacharya sebagai direktur NIH juga menuai kontroversi.

Di era pandemi COVID-19, Dr. Bhattacharya sempat memantik polemik. Sebagai ekonom kesehatan dan profesor Stanford, ia dikenal anti-lockdown. Keterlibatannya dalam Deklarasi Great Barrington, yang menganjurkan strategi “kekebalan kelompok, juga tak luput dari kritikan.

Seturut laporan New York Times, Dr. Bhattacharya menyerukan agar orang sehat dibiarkan beraktivitas seperti biasa, seperti bekerja, sekolah, dan bepergian. Kebijakannya saat itu selaras dengan oposisi vokal Trump terhadap lockdown, meskipun kala itu ada lonjakan kasus baru di AS.

Pandangan para petinggi AS kala itu mendapat kritik tajam dari ahli kesehatan masyarakat. Begitu pula para ilmuwan. Para cendekiawan menentang pendekatan Trump yang kontroversial dan menganggap strategi tersebut tidak akan dapat mengendalikan pandemi.

Baru-baru ini, dalam sidang konfirmasinya, Dr. Bhattacharya berjanji untuk memprioritaskan penelitian penyakit kronis, meningkatkan transparansi, dan membangun kembali kepercayaan publik terhadap sains. Namun, skeptisisme tetap ada, terutama terkait pandangannya tentang vaksin, autisme, dan afiliasinya dengan agenda pemerintahan Trump, termasuk pemotongan anggaran NIH.

Para kritikus khawatir kebijakan yang diusung Dr. Bhattacharya nantinya bisa menggeser fokus NIH, dari penelitian penyakit menular ke pendekatan kesehatan alternatif. Meskipun ia mengklaim dirinya bakal memastikan ilmuwan memperoleh dukungan yang cukup, rincian strateginya dalam menghadapi pemotongan dana masih belum jelas.

Selain itu, pemerintahan Trump memiliki rekam jejak yang kontroversial, terutama kebijakan yang menekan penelitian. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang independensi ilmiah NIH di bawah kepemimpinan Dr. Bhattacharya.

Janji Trump pada pemilu lalu, yang didukung Robert F. Kennedy Jr. untuk program “Membuat Amerika Sehat Kembali”, makin menguatkan dugaan bahwa arah penelitian NIH dapat dipengaruhi oleh kepentingan politik. Pendanaannya berpotensi bakal dialihkan ke bidang yang lebih selaras dengan ideologi pemerintahan yang ia pegang.

Pembatasan Ruang Gerak Kampus Internasional

Pemotongan dana untuk riset dan pendidikan tinggi bukan hanya keputusan fiskal, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang terhadap masa depan ilmu pengetahuan dan daya saing global.

Gelombang protes pro-Palestina di kampus-kampus Amerika Serikat memicu kontroversi dan berimbas pada pendanaan universitas. Harvard menjadi sorotan setelah menolak tuntutan pemerintahan Trump untuk mengubah kebijakan terkait protes dan program keragaman.

Menurut laporan Aljazeera, dana federal senilai lebih dari 2,2 miliar dolar AS dibekukan. Hal ini disinyalir bakal mengancam penelitian penting di bidang kesehatan dan teknologi.

Pemerintahan Trump menuduh Harvard gagal menangani antisemitisme di kampus. Namun, mereka melawan dengan menggelar aksi-aksi demonstrasi. Mereka menegaskan, komitmen kampus terhadap inovasi dan keilmuan bukanlah komoditas yang bisa dipolitisasi, apalagi disingkirkan hanya demi kepentingan sempit.

Di tengah arus kebijakan yang dirasa mengancam keberlanjutan riset, muncul pula gelombang perlawanan dari komunitas akademis, seperti yang dilakukan Presiden Harvard, Alan Garber.

“Tidak ada pemerintah–terlepas dari partai mana yang berkuasa–yang harus mendikte apa yang dapat diajarkan universitas swasta, siapa yang dapat mereka terima dan pekerjakan, dan bidang studi dan penelitian mana yang dapat mereka kejar,” tegas Garber, dikutip dari The Harvard Crimson.

Selain pemotongan dana penelitian, ancaman pencabutan status bebas pajak serta pembatasan mahasiswa internasional juga makin menekan Harvard.

Universitas lain juga menghadapi dampak serupa, mulai dari Columbia University, Brown University, Princeton University, hingga Cornell University. Universitas Columbia bahkan sempat menyetujui beberapa tuntutan pemerintahan demi menghindari pemotongan dana.

Pengaturan pendanaan federal, yang kemudian dijadikan sebagai alat untuk memengaruhi kebijakan universitas, menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan berekspresi di lingkungan akademis.

Selain itu, kebijakan mengenai penyaringan mahasiswa internasional–yang disesuaikan dengan “nilai-nilai Amerika”–dapat merusak keragaman akademik dan menghambat kolaborasi penelitian global. Langkah ini berisiko menurunkan reputasi universitas di AS serta mengurangi daya tariknya, terutama bagi para ilmuwan dan mahasiswa berbakat dari seluruh dunia.

Dampak pemotongan dana federal tidak hanya terasa di lingkungan akademis, tetapi juga menusuk kalangan menengah. Universitas Johns Hopkins mengatakan bakal melakukan PHK terhadap lebih dari 2.200 staf akibat kekurangan anggaran 800 juta dolar AS dari USAID.

Kebijakan Trump terkait pemotongan dana ini menghantam berbagai program kesehatan global, termasuk kesehatan ibu dan anak, pencegahan penyakit, dan akses air bersih.

“Dalam banyak hal, pendanaan USAID telah menyediakan mekanisme bagi kami untuk memperhatikan apa yang terjadi di seluruh dunia dalam kaitannya dengan penyakit,” beber Dr. Judd Walson, dokter penyakit menular Johns Hopkins, kepada NBC News.

Pada akhirnya, pemotongan dana untuk riset dan pendidikan tinggi bukan hanya soal anggaran, tetapi juga menyangkut posisi Amerika Serikat sebagai pemimpin dalam penelitian dan teknologi.

Jika tren ini terus berlanjut, risiko penurunan daya saing dan hilangnya ilmuwan berbakat dapat menjadi tantangan besar bagi masa depan pendidikan dan penelitian global.

Baca juga artikel terkait KEBIJAKAN TRUMP atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Edusains
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin