tirto.id - Donald J. Trump dipastikan bakal kembali melenggang sebagai pemenang dalam Pemilihan Umum Amerika Serikat (Pemilu AS) 2024. Mengutip NBC News, sampai Kamis (6/11/2024) pukul 2.48 siang waktu setempat, Trump telah mengamankan 291 dari 270 suara elektoral yang dibutuhkan untuk meraih mayoritas. Sementara lawannya, Kamala Harris hanya dapat mengamankan 226 suara elektoral.
Calon Presiden (Capres) dari Partai Republik itu langsung dihujani ucapan selamat dari berbagai pemimpin negara karena telah berhasil menang dalam kontestasi politik AS. Presiden Cina, Xi Jinping misalnya, yang berharap dapat menjalin hubungan mesra dengan AS. Apalagi, terjalinnya hubungan baik antara Cina dan AS menjadi salah satu harapan masyarakat internasional.
“Ada harapan kedua pihak akan menegaskan prinsip saling menghormati, koeksistensi damai dan kerja sama yang sama-sama menguntungkan, memperkuat komunikasi dan dialog, menata perbedaan dengan seharusnya, meningkatkan kerja sama saling menguntungkan, dan menemukan cara agar Cina dan AS bisa berjalan bersama,” kata Xi, mengutip South China Morning Post, Kamis (7/11/2024).
Sama halnya dengan Xi, Presiden Prabowo Subianto dalam unggahan di akun X resminya, juga berharap agar kemitraan antara Indonesia AS dapat terjalin lebih erat. Hal ini disampaikan seiring dengan ucapan selamat kepada Trump yang berhasil kembali menjadi pemimpin AS.
“Kemitraan strategis kita memiliki potensi besar untuk saling menguntungkan, dan saya berharap dapat bekerja sama erat dengan Anda dan pemerintahan Anda untuk lebih meningkatkan kemitraan ini dan demi perdamaian dan stabilitas dunia," katanya dalam akun X @prabowo, Rabu (6/11/2024).
Meski mendapatkan ucapan tulus dari pimpinan berbagai negara, para ahli sepakat memasang tanda bahaya untuk kemenangan Trump, utamanya terhadap sektor perdagangan dan pasar keuangan global termasuk Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai, terpilihnya Trump sebagai Presiden AS akan kembali memunculkan perang dagang, khususnya antara AS dengan Cina. Ini sebagai imbas dari kebijakan proteksionis terhadap AS yang selalu digaungkan Trump, termasuk dalam hal ini melalui penerapan tarif impor tinggi untuk melindungi industri manufaktur dalam negeri.
Dalam rencana kebijakannya, Trump akan mengenakan tarif 60 persen terhadap produk-produk buatan Cina dan 20 persen untuk produk dari negara-negara lainnya. Dia megatakan, tarif impor tinggi dimaksudkan agar AS dapat kembali berjaya dan memegang peranan penting dalam ekosistem ekonomi dunia.
"Kita akan menerapkan tarif pada negara lain. Negara-negara lain akhirnya setelah 75 tahun, akan membayar kita untuk semua yang telah kita lakukan untuk dunia. Dan tarifnya akan sangat besar dalam beberapa kasus," jelas Trump, menukil VOA Indonesia.
Pengenaan tarif lebih tinggi kepada produk asal Cina praktis akan membuat negara tersebut mengalihkan pasar ekspornya ke negara-negara lain yang memiliki basis pasar domestik jumbo. Indonesia jelas masuk ke dalam kriteria negara tujuan ekspor Cina.
Saat itu terjadi, Indonesia akan kebanjiran produk-produk impor dari Cina. Apalagi, jika pengamanan industri dalam negeri tak cukup kuat, produk impor ilegal yang saat ini sudah marak akan menjadi semakin banyak.
"Kalau pengawasan terhadap borders-nya lemah, itu akan lebih mudah dimasuki oleh barang ilegal, yang selama ini justru mengalami peningkatan sejak pandemi. Dan tentu saja ini akan memperparah sektor padat karya ini," kata Faisal, saat dihubungi Tirto, Kamis (7/11/2024).
Kemudian, dengan pengenaan tarif impor kepada seluruh negara termasuk Indonesia sebesar 20 persen, akan membuat ekspor Indonesia ke AS semakin tertekan. Apalagi, tekstil dan produk tekstil serta alas kaki menjadi beberapa komoditas yang paling banyak menyasar pasar AS.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia periode Januari-September 2024 mencapai 192,85 miliar dolar AS atau naik 0,32 persen dibanding periode yang sama tahun 2023.
Dari total ekspor tersebut, nilai ekspor kumulatif untuk sektor nonmigas mencapai 181,15 miliar dolar AS atau naik 0,39 persen. Adapun negara tujuan ekspor terbesar pada September 2024 antara lain, Cina dengan nilai 5,35 miliar dolar AS, Amerika Serikat 2,22 miliar dolar AS dan Jepang 1,55 miliar dolar AS, dengan kontribusi ketiganya mencapai 43,57 persen.
"Yang perlu diperhatikan juga adalah daripada ekspor kita ke AS karena ada kecenderungan juga ada peningkatan tarif. Mungkin memang tidak selalu segera, yang menjadi fokusnya adalah Cina, tapi ada kemungkinan untuk mengarah ke sana, walaupun dengan tingkat tarif yang lebih rendah. Dan ini akan semakin membahayakan industri tekstil, produk tekstil, alas kaki yang saat ini banyak bergantung pada pasar AS," sambung Faisal.
Dengan tarif impor tinggi dan juga perang dagang antara AS dan Cina praktis akan memunculkan ketidakstabilan terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia. Sebab, penerapan tarif impor tinggi itu akan memicu retaliasi (tindakan balasan) dari negara-negara mitra dagang AS, tentunya dimulai dari Cina yang mendapat tarif impor paling besar.
"Dalam kondisi seperti itu tentu saja juga akan berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan perdagangan dunia. kalau perdagangan dunia pertumbuhannya kemudian melambat, ini akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi global secara keseluruhan ini juga akan lebih lambat. Padahal selama ini setelah pandemi juga ekonomi dunia sudah dihantam oleh krisis dan sekarang juga recovery-nya belum selesai, masih ada scaring effect," jelas Faisal.
Perlu diketahui, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2024 dan 2025 akan tumbuh di kisaran 3,2 persen yang didorong oleh ketegangan politik, fragmentasi perdagangan, tren suku bunga tinggi dalam jangka panjang, hingga adanya bencana iklim. Sedangkan untuk AS, IMF mempertahankan proyeksinya yang di kisaran 2,8 persen untuk tahun ini, lebih rendah dari realisasi pertumbuhan ekonomi tahun 2023 yang sebesar 2,6 persen.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menjelaskan, terbatasnya pertumbuhan ekonomi AS tersebut disebabkan karena Joe Biden sebagai Presiden AS saat ini bahkan tak bisa menggenjot daya beli masyarakat dan membuatnya semakin menguat. Di mana pada kuartal III 2024, Departemen Perdagangan AS melaporkan, ekonomi AS hanya tumbuh di level 2,8 persen, melambat dari kuartal sebelumnya 3 persen.
Dengan rencana kebijakan ‘American First’ milik Trump, Huda sangsi ekonomi negara adidaya berikut daya beli masyarakatnya akan melonjak. Bahkan sebaliknya, dengan melihat kebijakan yang pernah dirilisnya pada periode pertama kepemimpinannya, yakni pada 2017-2020, salah satunya berupa pemotongan tarif pajak perusahaan hingga 21 persen -meski ini hanya sementara, dinilai akan berdampak pada lonjakan inflasi AS.
“Yang pada akhirnya membuat suku bunga The Fed (Fed Fund Rate) terjadi kenaikan, meskipun tidak naik secara drastis untuk menanggulangi inflasi yang meningkat. Pada akhirnya kenaikan suku bunga The Fed akan membuat aliran uang masuk ke US cukup besar,” kata Huda kepada Tirto, Kamis (7/11/2024).
Jika hal-hal ini terjadi, artinya rupiah akan tertekan, dan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) bisa naik kembali. Harga saham dalam negeri bisa melemah karena sentimen negatif kenaikan suku bunga acuan dalam negeri, investasi akan terhambat.
“Bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi sulit untuk tumbuh secara optimal karena faktor ekonomi global yang memanas dan saling blokade perdagangan. Sama seperti periode pertama Trump, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya di angka 5 persen secara rata-rata,” tutur Huda.
“Dampak buruknya bisa terulang. Bukan ‘bisa’ lagi sih, tapi pasti terulang,” tambahnya.
Berbagai dampak buruk terhadap perdagangan dan pasar uang ini juga telah diwaspadai BI. Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengungkapkan, kemenangan Trump akan membuat mata uang dolar semakin menguat, pun dengan suku bunga AS yang juga akan tetap bertahan tinggi. Pada saat yang sama, perang dagang antara AS dan Cina juga berpotensi untuk terus berlanjut.
“Sementara kita lihat, monitoring hari ini perkembangan Pemilu di AS yang perhitungan sementaranya Trump unggul dan prediksi-prediksi dari pasar dan kami juga melihat kemungkinan-kemungkinan akan menyebabkan mata uang dolar akan kuat, suku bunga AS akan tetap tinggi dan tentu saja perang dagang berlanjut,” kata dia dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (6/11/2024).
Dinamika ini praktis akan berdampak ke seluruh negara, khususnya negara-negara berkembang (emerging market), termasuk Indonesia. Dalam hal ini, tekanan terhadap nilai tukar akan terjadi. Pun dengan arus modal asing yang masuk dan keluar dari negara berkembang, sehingga mempengaruhi pula dinamika ketidakpastian di pasar keuangan.
Pada saat yang sama, menangnya Trump juga akan berpotensi memantik ketegangan geopolitik dunia yang sampai saat ini masih terus meningkat imbas konflik timur tengah yang terus berlanjut. Hal ini jelas akan membuat keberlanjutan tren penurunan suku bunga acuan oleh bank-bank sentral di dunia tersendat.
“Ini yang kemudian kita harus merespons secara hati-hati, Bank Indonesia untuk itu terus menyampaikan komitmen kami menjaga stabilitas dan turut dukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, bersinergi erat dengan pemerintah dan KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan),” imbuh dia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, turut mengamini bakal munculnya lagi perang dagang pasca kemenangan Trump. Namun di balik itu, dia melihat bahwa rencana tarif tinggi terhadap produk impor negara-negara di seluruh dunia ke AS, khususnya Cina akan memunculkan peluang baik bagi negara kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dalam hal ini untuk menarik investasi dari pihak yang mengalihkan basis produksinya ke luar Cina.
“Seperti investasi dari sektor-sektor seperti tekstil, elektronik, dan manufaktur. Komponen ini memiliki potensi besar untuk berkembang dan seharusnya dapat diambil dengan peningkatan aliran investasi dan pengalihan produksi ke negara-negara kawasan, termasuk ke Indonesia," kata dia kepada Tirto, Kamis (7/11/2024).
Oleh karena itu, penting bagi negara-negara ASEAN bekerja sama memperkuat infrastruktur, logistik, dan integrasi rantai pasok untuk menciptakan hub manufaktur global. Dus, ini akan mampu menampung pergeseran rantai pasok dari Cina. Sementara khusus untuk Indonesia, kesempatan hanya akan muncul apabila daya saing industri dalam negeri dapat ditingkatkan.
“Perbaikan iklim investasi dan peraturan yang berpihak kepada pelaku usaha untuk relokasi atau ekspansi pabrik atau pusat produksi ke Indonesia. Sehingga ini akan membuat sektor manufaktur Indonesia mengambil peran lebih besar dalam rantai pasok global,” sambung Shinta.
Berbeda dengan Shinta, Ekonom Celios, Nailul Huda, melihat akan lebih baik jika pemerintah terlebih dulu melindungi konsumsi domestik. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan menahan harga barang diatur oleh pemerintah tidak meningkat.
“Ketika kondisi global tidak memungkinkan untuk ditingkatkan, penguatan ekonomi dalam negeri menjadi strategi utama. Kemudian, perlu mencari pangsa pasar ekspor alternatif selain traditional market. Pangsa pasar ekspor negara timur tengah bisa menjadi opsi bagi produk ekspor kita,” saran Huda.
Kepada awak media, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, mengakui kemenangan Trump yang berpotensi memperketat hubungan dagangnya dengan Cina akan berdampak pula pada Indonesia. Meski begitu, dia masih enggan membeberkan apa saja dampak yang dapat menghantam Indonesia dengan kemenangan Trump di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 ini.
Namun, dia optimis ada satu peluang yang dapat diraup Indonesia, yakni investasi di sektor energi baru dan terbarukan (EBT). Hal ini terlihat dari minat Exxonmobil Corporate untuk berinvestasi dalam pengembangan Carbon Capture Storage (CCS) di tanah air. Tidak hanya itu, sektor EBT pun kini menjadi hal yang layak untuk dikembangkan, seiring dengan keharusan oleh semua negara di dunia untuk mencapai target emisi nol bersih (net zero emission) paling lambat pada 2060.
“Nah dari US saya bertemu dengan Exxon. Mereka mau investasi yang berhubungan dengan carbon capture, clean energi karena itu sudah keharusan. Justru kita harus lebih positif untuk membuka diri menerima investasi di clean energi,” kata dia, di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Kamis (7/11/2024).
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fahreza Rizky