Menuju konten utama

Kisah Tragis Mat Sam, Penemu Intan yang Dirampok Pemerintah

Intan yang ditemukan Mat Sam dan kawan-kawannya sesama pendulang akhirnya "diamankan" pemerintah, sementara mereka tak mendapat kompensasi yang layak.

Kisah Tragis Mat Sam, Penemu Intan yang Dirampok Pemerintah
seorang warga memperlihatkan hasil mendulang emas di bendungan sungai di desa taliabo, kecamatan sausu, kabupaten parigi moutong, sulawesi tengah, rabu (21/10). sudah sebulan terakhir ratusan warga di daerah itu telah memadati sungai sausu untuk mencari emas untuk menambah penghasilan. antara foto/fiqman sunandar/foc/15.

tirto.id - Di antara rimbun hutan Kalimantan Selatan yang jauh dari hiruk kota, terdapat sebuah kampung kecil bernama Cempaka. Di sana hidup para penambang emas, salah satunya Mat Sam sebagai ketua regu. Mereka hidup sederhana, menggantungkan hayat pada kubangan lumpur dan batu demi mendulang serpihan bijih emas.

Namun pada 26 Agustus 1965, hidup Mat Sam sekonyong-konyong berubah. Di Sungai Tiung (dulu wilayah Kabupaten Banjar dengan ibu kota Martapura, kini masuk Kota Banjarbaru) tempat regunya biasa mendulang, ada temuan yang tak biasa. Hari itu yang Mat Sam dan 43 temannya temukan bukan emas, melainkan bongkahan intan hampir seukuran telur burung merpati. Beratnya 166,75 karat, salah satu yang terbesar dalam sejarah Indonesia.

Di ceruk tanah basah yang digalinya, sebuah benda mengilat berwarna biru kemerahan, begitu bersih dan mencolok mata. Surat Kabar Pikiran Rakjat pada 31 Agustus 1965 melaporkan bahwa intan ini hanya sedikit lebih kecil ketimbang berlian legendaris "Koh-i-Noor" dari India yang menghiasi mahkota Kerajaan Inggris. Harganya, saat itu, ditaksir mencapai Rp3,5 miliar.

Tak butuh waktu lama kasak-kusuk Mat Sam penemu intan akhirnya terendus publik. Kisahnya diliput media dan mengundang perhatian pemerintah. Dia yang semula hanya bayang-bayang di balik jenggala Kalimantan Selatan, mendadak berbinar disorot media massa.

Presiden Sukarno turut andil dalam penamaan batu mulia tersebut. Sang Proklamator menamainya "Intan Trisakti", sebagaimana catatan Tajuddin Noor Ganie dalam Tragedi Intan Trisakti (2011). Sukarno memilih nama itu lantaran sejalan dengan makna Trisakti dalam pidatonya: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Kehebohan itu ironisnya tak membuat hidup Mat Sam berubah menjadi bergelimang harta. Dia justru dirundung kesialan yang datang perlahan menggerogoti hidupnya.

Misteri Raibnya Intan Trisakti

Pemerintah Kabupaten Banjarbaru yang tergoda dengan kilauan intan itu bermaksud hendak memilikinya. Mereka mengambil alih intan yang ditemukan Mat Sam dengan kedok hendak digunakan membangun Kalimantan Selatan. Alasannya, teknologi penggalian intan akan dikembangkan lebih mumpuni.

Harian Angkatan Bersendjata edisi 11 September 1967 melaporkan, intan tersebut disimpan oleh Pemkab Banjar lantas dibawa ke Jakarta demi alasan keamanan. Proses pemindahan tangannya pun disebut "bertentangan dengan keinginan penemu/pemilik."

Namun setelah itu, jejaknya hilang tanpa bekas. Ada yang percaya intan tersebut dijual diam-diam ke luar negeri, tetapi pihak lain curiga Intan Trisakti masih disimpan dalam brankas rahasia milik Pemkab Banjar.

Keberadaannya diselimuti kabut misteri. Mengutip Kompas edisi Senin (29/10/2012), seorang pedagang di pasar permata Cahaya Bumi Selamat di Kota Martapura (sekira 5 kilometer dari Cempaka), mengaku Intan Trisakti disimpan di salah satu museum di Belanda.

Selepas itu, nyaris belum pernah ditemukan lagi intan yang bisa mengungguli kemasyhuran Intan Trisakti. Temuan yang lebih besar pernah terjadi tetapi kegemparannya belum bisa menyamai.

Sebut saja Intan Putri Malu yang sebesar 200 karat. Intan ini ditemukan di Antaruku, Kecamatan Pengaron pada tahun 2008. Atau intan lain yang sama-sama ditemukan di Cempaka, lokasi Intan Trisakti berhulu, yakni Galuh Cempaka 5 seberat 106 karat yang ditemukan pada 1859, serta Galuh Pumpung dengan besaran 98 karat di 1990.

Temuan selain itu rata-rata berukuran kecil dan tak bernilai sefantastis Intan Trisakti. Jani (40), pendulang emas, mengklaim dirinya menemukan intan mentah yang berbentuk transparan mirip kaca seukuran biji kedelai. Batu mulia itu hanya dibungkus kertas rokok yang disimpan di dalam saku celananya sewaktu dirinya menunjukkan kepada Kompas.

"Besarnya sekitar 1 karat atau 200 miligram. Kalau dijual, harganya sekitar Rp4 juta," tuturnya.

Kawasan pendulangan emas dan intan Cempaka, khususnya Sungai Tiung, telah dicanangkan sebagai daerah wisata sejak dekade 1990-an. Karenanya, banyak wisatawan lokal maupun asing berbondong-bondong ingin mengunjungi, baik sekadar penasaran atau turut mendulang bersama warga.

Tak ada yang tahu persis titimangsa pendulangan emas dan intan di Cempaka bermula. Informasi getok tular setempat meyakini pendulangan sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda.

Dalam buku Borneo 1843 (2010) yang ditulis Hermanu dan diterbitkan Bentara Budaya Yogyakarta, seorang penjelajah bernama Dr. Carl A.L.M. Schwaner yang telah meneliti bantaran Sungai Barito dan Kahayan di Kalimantan Selatan serta Kalimantan Tengah pada 1843-1847 menyebut aktivitas mendulang emas di wilayah ini telah berlangsung berabad-abad lamanya.

Schwaner yang mencatut litografi karya CW Mieling S. Hage lewat volume 1 Borneo: Beschruving van Het Stroomgebied van den Barito (1853) telah menganalisis sebuah lukisan yang menggambarkan pendulangan intan di Sungai Martapura. Untuk mendulang, warga lokal menggunakan linggangan, alat berbentuk kerucut mirip caping yang terbalik.

Janji Kompensasi Layak yang Tak Dipenuhi

Baik Mat Sam maupun rekan-rekannya yang berpartisipasi dalam penemuan Intan Trisakti tak benar-benar mendapat hak kompensasi yang layak.

"Pemerintah Orde Lama kemudian memberikan uang balas jasa yang sepadan menurut versi pemerintah Orde Lama ketika itu sebesar Rp3,5 miliar uang lama (sebelum sanering 1965) atau Rp3,5 juta uang baru (setelah sanering 1965)," tulis Tajuddin Noor Ganie dalam bukunya.

Padahal kata "sepadan" yang diklaim Orde Sukarno patut dipertanyakan ulang. Pasalnya, dari uang balas jasa tersebut, Rp960.000 di antaranya wajib disetorkan ke bank guna membayar ongkos naik haji atas nama mereka, istri/suami, dan pihak lain yang diajak dengan keseluruhan 86 orang.

Dengan kata lain, kompensasi yang diberikan kepada Mat Sam dkk. tidak sepenuhnya murni uang, melainkan menjelma hibah "haji gratis".

Sementara itu sisa uang yang tak masuk bank sebanyak Rp2.540.000 dibagi rata sesuai porsinya masing-masing. Namun jumlah ini tak menjadi berarti ketika sanering atau redenominasi (penghilangan tiga angka nol di belakang) yang diberlakukan pemerintah.

Maka itu, Mat Sam dan kawan sekerjanya menuntut tambahan uang atas balas jasanya kepada pemerintah.

Habis manis sepah dibuang. Temuan yang sempat membuat Mat Sam beserta rekan-rekannya riang gembira ternyata tak mendapat kompensasi sesuai harapan. Dua tahun berlalu sejak intan tersebut ditemukan, tuntutan tambahan uang kepada pemerintah raib bersama gulana. Justru kehidupan Mat Sam kian sulit setelah dia menemukan intan permata tersebut.

Laporan Kompas edisi 11 September 1967 menyuguhkan pemandangan yang menyayat hati. Kondisi finansial para penemu intan senantiasa dalam kemiskinan. Harapan keluar dari jerat ekonomi yang melilit pupus bersama haknya yang dirampok. Mereka tak mencicipi hasil jerih payahnya dengan layak.

"Saya tidak menyesal menemukan intan itu," kata Mat Sam dalam wawancara terakhirnya pada 1980-an.

"Tapi saya menyesal hidup di negeri yang tak pernah memberi kesempatan bagi rakyat kecil untuk menikmati rezeki dari tanahnya sendiri," tutupnya.

Merasa mendapat balasan dan perlakuan tak adil, Mat Sam dan empat rekannya sempat hendak membawa kasus ini ke meja hijau. Mereka bersama kuasa hukum meminta pemerintah meninjau ulang catatan-catatan atas hak yang mestinya mereka dapat.

Namun, pemerintahan kadung berganti rezim, dari Sukarno ke Soeharto. Saat Presidium Kabinet Ampera yang dipimpin Jenderal Soeharto dituntut, mereka bergeming. Tak ada respons sama sekali.

Sejak dibawa oleh Pemerintah Kabupaten Banjarbaru yang berdalih hendak diserahkan ke pemerintahan pusat di Jakarta, riwayat intan itu seakan hilang ditelan waktu.

Haji Madsalam alias Mat Sam mengembuskan napas terakhir pada 1993, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh di hati masyarakat Cempaka.

"Di Bumiku nang sugih kaya. Basambunyian batu mulia. Wadah basimpan di dalam bumi. Jadi idaman saluruh nagari..."

Begitu kiranya kondisi kekayaan alam Kalimantan yang tersemat dalam lirik lagu berbahasa Banjar, "Galuh Cempaka", gubahan seniman M. Thamrin.

Baca juga artikel terkait INTAN atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - News
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi