tirto.id - Perkembangan teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) hari ini, semakin menembus batas kemampuan manusia. Beragam aktivitas yang biasanya sukar dikerjakan, kini bisa dengan mudah dan cepat diselesaikan menggunakan AI; dari sekadar menyunting gambar, hingga menghasilkan konten video. Tak ayal, di Indonesia sendiri perkembangan AI disambut dengan animo masyarakat yang tinggi.
Survei teranyar Jakpat yang dikeluarkan awal Mei 2025 lalu, dengan tajuk "Understanding AI Usage Today", setidaknya menggambarkan antusiasme itu. Sebanyak 93 persen responden survei mengaku mengetahui teknologi AI, dengan sisa 7 persen tidak tahu-menahu. Survei ini menjaring jawaban dari 1.423 responden sepanjang 10-14 April 2025. Sasaran survei adalah populasi Indonesia yang didominasi oleh kelompok Gen Z, dengan penyebaran lewat aplikasi mobile Jakpat.
Survei Jakpat turut menemukan, 7 dari 10 orang rutin menggunakan AI atau setara dari 71 persen responden yang terbiasa memanfaatkan AI. Pemanfaatan AI yang paling banyak adalah untuk kegiatan bekerja atau belajar serta penggunaan sehari-hari. Namun, ada sebanyak 22 persen responden mengaku tidak menggunakan AI sama sekali.
Animo tersebut juga tercermin pada laporan WriterBuddy yang menyebut, dari Indonesia sendiri, ada sekitar 1,4 miliar kunjungan ke situs perangkat AI, antara September 2022-Agustus 2023. Jumlahnya hanya sedikit di bawah India, sebanyak 2,1 miliar kunjungan.
Indonesia secara total menyumbang 5,6 persen total traffic kunjungan ke 50 situs perangkat AI pada periode tersebut, yang berjumlah total 24 miliar kunjungan.
Dari 20 negara, Indonesia berada di posisi ketiga dengan jumlah kunjungan paling banyak ke situs-situs perangkat AI populer. Di Asia Tenggara, Indonesia berada di puncak dengan mengungguli Filipina, Kamboja dan Vietnam.
Sayangnya, di tengah pesatnya minat masyarakat Indonesia terhadap teknologi AI, terselip borok yang justru terus menjalar. Di tangan orang-orang yang berniat jahat, pemanfaatan AI di Indonesia malah berbuah modus kriminal. Para penjahat siber tersebut mengubah AI menjadi mesin penyamun yang mampu membobol data pribadi, memalsukan identitas, hingga menipu publik lewat manipulasi suara atau wajah publik figur.
Di Indonesia, potensi penyalahgunaan AI ini bukan sekadar prediksi kosong. Kejahatan berbasis AI telah hadir dalam berbagai modus kejahatan digital yang tak lagi bisa dianggap remeh. Beberapa modus penggunaan AI untuk tindak kejahatan yang marak digunakan seperti manipulasi video deepfake, telepon suara palsu, surel dan tautan phishing, hingga rekayasa sosial lain, yang memanfaatkan teknologi AI generatif.
Direktur Regulasi dan Etika dari Indonesia AI Society (IAIS), Henke Yunkins, memandang teknologi deepfake video atau suara sintesis (deepfake voice) memang menjadi modus yang marak hari ini. Menggunakan perangkat AI, pelaku mengedit video resmi agar terlihat seolah pejabat/publik figur tengah mempromosikan program fiktif yang meminta korban mentransfer sejumlah uang.
Sementara suara sintesis adalah modus pelaku kejahatan memalsukan suara figur tertentu untuk menelepon korban dengan menyatakan narasi palsu adanya situasi “darurat”, supaya korban melakukan transfer dana atau data pribadi kepada pelaku.
Menurut Henke, modus-modus kejahatan ini sebetulnya merupakan cara lama yang pada dasarnya adalah rekayasa sosial atau social engineering. Namun, semakin canggih hari ini karena dipertajam dan dikembangkan mengandalkan kemampuan dari perangkat AI.
“Karena kualitasnya tinggi, korban sulit membedakan antara asli dan palsu,” kata Henke kepada wartawan Tirto, Selasa (10/6/2025).
Kembali ke survei Jakpat, sebetulnya tindak kejahatan berbasis AI merupakan salah satu dari hal-hal yang dikhawatirkan masyarakat Indonesia atas perkembangan AI hari ini. Perhatian masyarakat terkait kriminalitas berbasis AI seperti penipuan hingga manipulasi konten deepfake, berada di posisi kedua setelah kekhawatiran terhadap adiksi teknologi AI.
Sebanyak 49 persen responden juga mengaku khawatir kesulitan membedakan konten AI dan konten buatan manusia. Selain itu, 48 persen masyarakat khawatir perkembangan AI hari ini juga akan menambah risiko keamanan privasi.
Potensi kerentanan masyarakat terhadap penyalahgunaan AI semakin diperbesar dengan tingkat literasi digital yang masih rendah. Terlebih, paparan konten AI di media sosial juga semakin masif dalam berbagai jenis. Masyarakat awam yang tidak dibekali kemampuan membedakan konten AI dan manusia, sangat berpotensi terjebak dalam persoalan ini.
Menurut survei Jakpat, berdasarkan kategori jenisnya, 7 dari 10 orang biasanya melihat video animasi AI di media sosial. Beberapa responden juga kerap melihat transformasi gaya visual dan konten pengganti wajah atau deepfake di media sosial yang menggunakan AI.
Potensi ini makin berbahaya ketika bersanding dengan kelengahan sistem hukum. Apalagi, banyak orang yang belum terbiasa memverifikasi informasi yang mereka terima. Dalam lanskap ini, AI dapat menjadi senjata psikologis yang mengacak-acak persepsi publik dan memanipulasi opini.
Indonesia juga belum memiliki etika yang spesifik dalam penggunaan AI, baik di sektor publik maupun swasta. Beberapa institusi memang mulai menerapkan prinsip kehati-hatian, tapi belum ada standar etik yang mengikat atau diawasi secara sistematis. Akibatnya, celah penyalahgunaan tetap terbuka, mulai dari pembuatan konten fiktif hingga manipulasi konten untuk kepentingan politis dan keuntungan pribadi.
Padahal, menurut Senjaya (2024) dalam artikel ilmiah berjudul "Cyber Crime And Criminal Law In The Era Of Artificial Intelligence", penyalahgunaan AI dalam kejahatan dunia maya sudah menimbulkan tantangan serius bagi penegakan hukum. AI digunakan oleh penjahat untuk melakukan serangan yang lebih canggih, seperti penipuan online, pencurian identitas, dan penyebaran informasi palsu. Teknologi ini memungkinkan pelaku menyembunyikan jejak mereka dan mengotomatiskan serangan dengan tingkat efisiensi yang tinggi.
“Akibatnya, sistem hukum yang ada perlu beradaptasi untuk menghadapi ancaman ini secara efektif. Salah satu tantangan utama dalam penegakan hukum adalah kurangnya peraturan yang secara khusus mengatur penggunaan AI dalam konteks kejahatan dunia maya,” tulis Senjaya.
Sementara itu, mengacu laporan global bertajuk Tren Kejahatan Siber 2025 oleh SoSafe, serangan berbasis AI turut menyasar organisasi bisnis global dengan niatan menggenjot eskalasi fraud atau penipuan, membuatnya lebih meyakinkan, terukur, dan sulit dideteksi. Didapati, sebanyak 87 persen organisasi global menghadapi serangan siber bertenaga AI pada tahun lalu.
Selain itu, serangan berbasis AI juga tak lagi hanya mengandalkan phishing. Para pelaku kriminal menggunakan perpaduan antara panggilan suara palsu, pesan video yang dibuat AI, dan taktik rekayasa sosial lewat berbagai platform komunikasi.
Laporan tersebut juga menemukan 95 persen profesional keamanan siber mengamati adanya peningkatan serangan berbasis AI multisaluran selama dua tahun terakhir ini. Masalahnya, 55 persen dari organisasi bisnis yang disurvei SoSafe belum sepenuhnya menerapkan kontrol untuk memitigasi risiko yang terkait penggunaan AI.
Dengan maraknya ancaman kejahatan berbasis AI di dalam negeri dan aras global, sudah seharusnya Indonesia tidak menjadi penonton yang terlambat bertindak. Masa depan AI di Indonesia harus dibangun dengan kesadaran akan potensi bahayanya. Jika terlewat, hanya menghitung waktu sampai tindak kejahatan di Indonesia akan jauh lebih canggih melampaui regulasi hukum yang sudah ketinggalan zaman.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty