tirto.id - Serial laporan kami sebelumnya membahas mengenai bagaimana kapal-kapal perang dan bersejarah raib di perairan Asia Tenggara. Kami juga mengupas tongkang-tongkang bercakar yang bermain pada bisnis ini, yang digerakkan oleh perusahaan salvage, dari Penang hingga Jakarta, dari Batam hingga Surabaya, dari Bangka hingga Buton.
Pertanyaan selanjutnya: setelah potongan-potongan logam dari bangkai kapal itu diangkut ke dumping area, disalurkan ke mana besi dan baja tersebut? Laporan ini mengupas kiprah secara khusus PT Jatim Perkasa di Surabaya, yang punya lokasi pengepulan besi dengan menyewa lahan pemerintah daerah di Pelabuhan Brondong, Lamongan, sejak pertengahan 2014 hingga Agustus 2017.
Seperti tertulis pada artikel-artikel yang sudah kami rilis, kapal-kapal perang, yang kini sudah raib, dibikin dengan biaya mahal dengan kualitas baja terbaik pada masanya. Namun, pencarian ke mana besi ini bermuara masih jadi teka-teki yang belum kami pecahkan sampai sekarang.
Perkara yang sudah pasti: bagian dari meriam, lambung kapal, geladak atau haluan kapal, mungkin saja kini sudah disulap dan menyelip di beton rumah anda, paku kusen, atap rangka, atau bahkan jadi per dari tempat tidur anda saat membaca artikel ini.
Atau, mengingat berharganya kualitas baja dari bangkai kapal perang, mungkin saja besi baja yang sudah diolah ini dipendam ribuan kilometer di bawah tanah, atau diterbangkan ratusan mil ke luar angkasa.
Susanto, yang bekerja sebagai pemotong besi untuk PT Jatim Perkasa, mengatakan tugasnya adalah mencacah potongan baja berukuran besar dari bangkai kapal yang diangkut oleh tongkang bercakar Pioner 88. Alhasil, besi dan logam bisa dimuat dalam truk. “Minimal 1,2 meter kali 1 meter atau muat di truk,” katanya.
Untuk mengirim besi dan baja, PT Jatim Perkasa memiliki empat truk tronton berkapasitas 20 ton. Dan truk ini selalu beroperasi setiap hari. Hanya pada momen tertentu pengiriman material tidak dilakukan. “Biasanya besi ditimbun saat harga jual turun. Turun harga ini biasanya pada awal tahun dan musim hujan,” kata Susanto. “Saking banyaknya, timbunan besi mirip gunung.”
Ia menghitung jika ditotal, mungkin puluhan ribu ton kapal sudah dicacah di Brondong, lalu disebar ke pabrik baja. Asumsi ribuan ton berdasarkan hitung-hitungannya berikut ini:
Satu truk bisa muat 20 ton. Per hari pengiriman rutin berkisar 4-6 truk. Kadang sehari juga bisa kirim 12 truk. Namun, truk yang dimiliki PT Jatim cuma empat buah. “Anggap saja 20 ton kali empat truk. Hasil 80 ton itu kali 800 hari mereka beroperasi. Ini durasi minimum, loh. Total sudah 64 ribu ton mereka ambil,” paparnya. “Ini angka minimal karena pengiriman sehari empat truk itu cukup jarang, biasanya lebih dari itu.”
Haji Muslihan, tokoh lokal yang dipercaya PT Jatim Perkasa mengontrol pekerja asal Brondong, mengungkap pernyataan senada. Ketika ditanya seberapa banyak besi diangkut dari Pelabuhan Brondong, ia menjawab: “yang jelas banyak.”
“Setiap hari bisa kirim 4 truk. Satu truk bisa memuat sekitar 25-40 ton. Dan ini rutin selama tiga tahun,” katanya kepada reporter Tirto, 14 November 2017.
Klaim mereka mengenai empat truk yang dimiliki PT Jatim Perkasa bisa dibenarkan. Dalam video pencitraan drone yang dirilis oleh Dinas Perhubungan Jawa Timur pada Mei 2017, terlihat ada empat truk hijau milik PT Jatim Perkasa teronggok tak beroperasi di dalam dumping area, sesaat sebelum mereka pergi.
Baja dari Bangkai Kapal Disalurkan oleh PT Waringin Steel
Saat mendistribusikan besi dan baja dari dumping area di Pelabuhan Brondong, PT Jatim Perkasa memakai PT Waringin Steel. Dari dokumen akta perusahaan, 33 persen saham maskapai ini dimiliki oleh Lin Qiqiang, pemilik PT Jatim Perkasa. Saham 67 persen lainnya dipegang oleh William Tunggadi.
William, umurnya baru 32 tahun, adalah pengusaha muda dari Makassar. Bisnisnya bergerak melayani kebutuhan bahan bakar minyak nonsubsidi bagi perusahaan pelayaran dan industri di Sulawesi Selatan.
Relasi William dan Lin Qiqiang dilandasi ikatan keluarga lewat pernikahan. William adalah adik kandung Merina Liem. Nama Merina muncul sebagai direktur PT Jatim Perkasa Lines. Merina menikah dengan Kwan Sze, kakak Cecily Sze, istri Lin Qiqiang.
Kami mengkonfirmasi kepada William soal kepemilikannya di PT Waringin Steel. Ia membenarkannya. “Heuh, kenapa memangnya?” katanya, kemarin, 24 Januari.
“Saya enggak mau kasih tahu, mau anda apa?”
Ia menjawab perusahaan ini memang bergerak di bidang distribusi jual-beli besi. “Waringin Steel ada banyak, pabrik ada, distributor besi juga ada,” ucapnya.
Ketika ditanya dari mana besi itu didapatkan, ia membenarkan bahwa besi itu dari PT Jatim Perkasa. Namun, soal apakah besi ini berasal dari kapal perang, William menjawab “tidak.” Kepada kami, William irit berkomentar.
“Saya enggak perlu memberi tahu. Sekarang gini, apa hak anda bertanya sehingga saya harus menjawabnya? Tirto.id bukan pihak yang berwenang dan apa urusannya dengan saya? Saya enggak mau jawab. Pokoknya saya enggak mau dikonfirmasi,” ujar William.
Pertanyaannya: ke mana puluhan ribu ton besi, baja, dan logam yang didistribusikan oleh PT Waringin Steel?
Enam Perusahaan Peleburan Besi Baja yang Diduga Dipasok dari Brondong
Kami berhasil menemui Alif, bukan nama sebenarnya, yang bekerja di PT Jatim Perkasa sebagai sopir truk. Pria asal Kalimantan ini bekerja di PT Jatim Perkasa selama tiga tahun penuh, diajak oleh seorang pengusaha Cina.
Ia tahu ke mana saja material bangkai kapal di Lamongan ini berlabuh. Pada pertengahan November 2017, ia mau menemani kami berkeliling dari Sidoarjo, Mojokerto, Gresik, dan Surabaya selama seharian, mengunjungi pabrik-pabrik yang rutin ia sambangi tiap hari saat PT Jatim Perkasa masih beroperasi di Brondong.
Alif bercerita bahwa material logam berharga seperti kuningan, tembaga, timah, perak, dan lain-lain didistribusikan dan dijual secara langsung oleh PT Waringin Steel. “Tidak dilepas ke pabrik kalau logam yang mahal,” katanya.
Alif menyebut logam-logam ini biasa dibawa ke Pergudangan Suri Mulia Permai, Margomulyo. Kata dia, di dalam gudang, ada dua kontainer besar. Barang logam berharga disimpan di dalam kontainer tersebut. Para pembeli yang biasa datang ke Margomulyo adalah pengusaha loak dari Madura.
Dan orang yang berperan menjajakan logam berharga ini adalah Haji Mashudi.
Di Gresik, Haji Mashudi cukup populer sebagai pengusaha besi bekas. Mashudi ditugasi PT Jatim Perkasa mencari koordinat bangkai kapal yang bisa diambil di Laut Jawa. Balas jasanya, ia diberi keuntungan dari penjualan logam berharga. Ia membenarkan informasi ini.
“Allhamdulillah, hasilnya lumayan. Kerja sama saya dengan PT Jatim dengan hanya mengumpulkan titik koordinat, saya kebagian menjual kuningan dan tembaga,” ucapnya, 11 Januari 2018. Mashudi enggan merinci keuntungan dan berapa banyak logam berharga yang didapatnya sebagai makelar.
Alif bercerita, ia ditugasi mengantar lebih dari 25 ton timah putih ke Margomulyo. Timah ini berbentuk seperti batu bata. Satu bata seberat 40 kilogram. Timah memang material esensial pada konstruksi kapal. Timah dipakai sebagai pemberat agar kapal tetap stabil.
Suatu ketika, ia juga diminta mengantar propeller alias baling-baling kapal. Biasanya, baling-baling kapal terbuat dari kuningan. Dan bagi kapal berukuran raksasa seperti kapal perang Belanda HNLMS De Ruyter atau HNLMS Java, yang karam di dekat Pulau Bawean, berat satu baling-baling ini bisa mencapai 5-10 ton.
Logam berharga yang dibawa Alif dari Brondong biasa disimpan di gudang, dan biasanya pembeli memilih langsung.
- PT Bahagia Steel
Nama yang kali pertama kami datangi adalah PT Bahagia Steel di Wringinanom, Gresik. Ahmad Sueb, petugas keamanan paling senior di perusahaan ini, membenarkan PT Bahagia Steel pernah menerima pasokan dari PT Waringin Steel. “Tapi jumlahnya tidak banyak,” katanya.
Alif sudah mengingatkan kami sejak awal. “Ke sini enggak seberapa banyak. Cuma mengirim lima kali, enggak lebih dari 400 ton. Setelah itu sudah setop,” kata dia.
Ia menyebut dari lima perusahaan, PT Bahagia Steel adalah konsumen paling sedikit mendapatkan pasokan besi dari Brondong. Ada tiga perusahaan yang mendapatkan suplai besar, yakni PT Bromo Panuluh Steel, PT Hanil Jaya Steel, dan PT Hasil Karya.
Lokasi tiga perusahaan ini terpencar: PT Bromo Panuluh Steel di Wringinanom, Gresik, PT Hasil Karya berlokasi di Krian, Mojokerto, dan PT Hanil Jaya Steel di Sidoarjo. Alif menyebut tiga perusahaan ini sekali pesan bisa “500-600 ton.”
“Tapi enggak terlalu sering. Biasanya ganti-gantian,” katanya.
- PT Bromo Panuluh Steel, PT Hanil Jaya Steel, dan PT Hasil Karya
Tak terdengar raungan mesin pencacahan besi dan baja. “Sudah satu bulan lebih enggak jalan. Berhenti sejak September 2017,” kata seorang satpam, Edi Winoyo. Kata dia, ratusan karyawan di pabrik ini dipecat sepihak oleh perusahaan. “Sepertinya bangkrut, tapi katanya mau aktif lagi, enggak tahu kapan.”
Setelah dari Gresik, kami mendatangi PT Hanil Jaya Steel dan PT Hasil Karya. Saat datang ke pabrik Hasil Karya, sebuah truk berlabel PT Hanil Jaya Steel keluar dari pabrik. Ketika dikejar dan dikonfirmasi, si sopir, Supono, mengaku dua perusahaan ini memiliki bos yang sama. “Memang sama, kenapa? Saya mau kirim barang dari sini ke sana,” katanya.
Staf PT Hasil Karya enggan dikonfirmasi saat ditanya relasi dengan PT Waringin Steel.
Dari Krian, kami bergeser ke Sidoarjo. PT Hanil Jaya Steel dikenal sebagai perusahaan yang memiliki smelter baja berkapasitas besar di Jawa Timur. Di sini kami hanya bisa menembus hingga pos satpam. “Silakan membuat surat izin dulu. Kalau disetujui, baru datang kembali ke sini,” ucap seorang satpam.
Sulit menganggap Alif membohongi kami mengenai besi yang dijual ke dua perusahaan ini. Sebab petugas keamanan di PT Hanil Jaya Steel dan PT Hasil Karya bersikap akrab dengan Alif dan gestur mereka terlihat seakan sudah kenal lama.
Mereka saling tegur sapa dan berbincang mengenai aktivitas apa yang dilakukan setelah lama tak bersua. Samar-samar nama 'Waringin' disebut dalam obrolan mereka. “Wah, Bapak sudah enggak di Waringin lagi? tanya seorang satpam. “Kenapa Waringin enggak kirim barang lagi?” tanya lainnya.
Beberapa pekan kemudian, kami mengajukan pertanyaan mengenai relasi PT Hanil Jaya Steel dan PT Waringin Steel. Direktur PT Hanil Jaya Steel, Sri Sundari, membantah perusahaanya pernah mengambil scrap metal dari PT Waringin Steel. “Kami sudah lama sejak 2016, peleburan baja sudah enggak operasional, jadi kami enggak datangkan lagi scrap,” ujarnya, kemarin, 24 Januari 2018.
“Tahun 2016 masih ada peleburan, tapi jumlahnya enggak banyak. Kami enggak ada kontrak dalam kuantitas besar,” katanya.
“Anak buah saya bilang enggak pernah sebut ada kontrak dengan PT Waringin Steel,” ujar Sundari.
Terkait relasi dengan PT Hasil Karya, Sundari juga menampik. “Oh, enggak ada, hanya relasi jual-beli antar-perusahaan saja.”
- PT Gramitrama Jaya Steel
Perusahaan ini dimiliki oleh Yongki Witjahya. Saat berkunjung ke sana pertengahan November 2017, Imam Sudrajat, orang dekat Yongki, membenarkan perusahaannya mendapatkan bahan baku dari PT Waringin Steel. “Memang ada,” kata dia. Hanya jawaban pendek, selebihnya ia tak mau banyak bicara.
- PT Jatim Abadi Perkasa Steel
Kami bertemu Yono yang pernah bekerja di PT Waringin Steel sebagai sopir. Beda dari Alif (yang mengantar kami mendatangi satu per satu pabrik baja dan besi), tugas Mariyono lebih sering mengantar barang di sekitar Surabaya. Setelah PT Waringin Steel tutup, Yono pindah bekeja di pabrik tripleks, lokasinya di dekat dari tempat kerja lamanya.
Selain lima pabrik yang disebut Alif, Yono menyebut satu nama perusahaan peleburan besi dan baja: PT Jatim Abadi Perkasa Steel.
Informasi dari Yono itu kami verifikasi satu bulan kemudian kepada seorang staf di PT Jatim Perkasa. Kata dia, Lin Qiqiang memang memiliki tiga perusahaan yang dikontrol langsung: PT Jatim Perkasa Lines, PT Jatim Perkasa Salvage, dan PT Jatim Abadi Perkasa Steel.
“Kalau sekarang dia sering di Mojokerto,” ucap staf tersebut.
Kami sulit melacak akta kepemilikan PT Jatim Abadi Perkasa Steel. Pada November 2017, kami mencoba mencari profil perusahaan ini ke Kemenkumhan tetapi belum ditemukan. Dari daftar Berita Negara, diketahui perusahaan ini sedang bermasalah dan akta perusahaan “dalam proses”—artinya, informasi terbaru perihal akta maskapai baja ini masih dalam proses perubahan. Lin Qiqiang sendiri tak menggubris upaya klarifikasi dari kami.
'Hanya Main di Lokal'
Alif berkata bahwa besi baja dari Brondong diperlakukan sama seperti besi loak dari sumber lain. Besi baja ini dilebur jadi satu, dijadikan bahan baku produk lain: paku, besi beton, besi balok, pipa besi, per kasur, sampai spare part mobil. Keenam pabrik di atas memang berkecimpung memproduksi barang olahan ini.
Meski begitu, pekerja-pekerja PT Jatim Perkasa yang kami wawancara mengklaim “tak semua scrap metal” dilebur dan diolah jadi besi baja baru.
Agus, pengawas proyek di PT Bromo Panuluh Steel, mengatakan bahwa pada 2014-2015 memang banyak material datang dari kapal. Hanya saja ia tak bisa membedakan apakah ini dari bangkai kapal perang atau bukan. Kata dia, sebagian scrap metal ini dipadatkan menjadi satu lalu dikirim ke perusahaan lain.
“Untuk detail itu, barang diekspor atau dijual lokalan, aku kurang paham,” katanya.
Soal pemadatan besi baja ini juga diucapkan Bambang, pegawai PT Gramitrama Jaya Steel. Namun, terkait dugaan baja dikirim ke Cina, ia menyangsikannya. Ia yakin bahwa besi-besi ini tidak diekspor ke luar negeri. “Kami mainnya lokalan, enggak mungkin ke luar negeri,” ucapnya.
Kasus di Malaysia dan Pernyataan dari Fujian Jiada
Berbeda di Indonesia yang masih samar ke mana besi-besi ini dijual setelah dilebur di pabrik baja, di Malaysia, bangkai kapal yang dikeruk dari dasar laut seluruhnya dikirim ke Cina.
Itu terungkap dalam investigasi yang dilakukan The Star. Besi-besi ini tidak dilebur, tetapi dipadatkan terlebih dulu menjadi seperti kubus.
“Sudah sejak 2-3 tahun terakhir Cina tidak mau lagi besi dan baja dilebur di Malaysia. Mereka inginnya di-compact dan langsung diekspor ke Cina," ujar pelaku bisnis ini kepada The Star.
Pengiriman ke Cina dilakukan secara samar karena besi baja dari kapal dicampur dengan material scrap dari sumber lain. Selain itu, agar tak curiga, pengiriman memakai kapal kargo berbendera non-Tiongkok.
“Operasi mereka susah dideteksi,” kata Eddie Chua, wartawan investigasi The Star kepada Tirto.
Sementara Fujian Jiada, salah satu perusahaan perdagangan kapal yang diduga kuat membekingi sindikat tongkang penjarah kapal karam di perairan Asia Tenggara, menjelaskan serpihan besi ini dijual secara lokal. “Hanya di Indonesia saja,” ujar Lin Xu Liang, sekretaris Fujian Jiada kepada HK01, media online berbasis di Hong Kong.
Ketika disodorkan pertanyaan apakah logam dari kapal karam bersejarah dijual dengan harga biasa atau lebih tinggi mengingat statusnya sebagai low-background steel, Xu menjawab dengan gugup. “Tidak,” ia bilang kemudian. “Baja itu sudah terendam dalam air untuk waktu yang lama. Kami hanya menjual scrap logam dengan harga normal.”
Sesudahnya Xu mematikan telepon secara mendadak.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam