Menuju konten utama

Karnaval Sound Horeg yang Dicibir sekaligus Dinanti di Jatim

Fenomena sound horeg tidak bisa sekadar dipahami sebagai persoalan teknis hiburan suara ekstrem belaka.

Karnaval Sound Horeg yang Dicibir sekaligus Dinanti di Jatim
Header Karnaval Sound Horeg. tirto.id/Fuad

tirto.id - Kemeriahan menaungi Desa Puhrubuh, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, pada Minggu (31/8/2025). Sedari tengah hari hingga malam, ratusan orang tua, muda-mudi, hingga anak-anak tumpah ruah di rute yang dilalui Puhrubuh Culture Carnival. Deretan penjaja makanan dan minuman terlihat sibuk melayani pembeli, menandakan hadirnya denyut ekonomi di tempat tersebut.

Semua orang larut dalam antusiasme menantikan truk-truk sound horeg melintas dan menggetarkan sekelilingnya. Di belakangnya, turut komunitas muda-mudi (biasanya dari RT atau RW setempat) dalam barisan nan rapi menari memeriahkan suasana.

Agak jauh dari keramaian warga dan dentuman suara sound system itu, hadir pula Qosim beserta istri dan anak perempuannya. Warga Desa Sukoanyar, Kecamatan Mojo, itu tak berani terlalu dekat karena anaknya masih balita. Mereka berdua sadar suara sound horeg yang menggelegar itu bisa memengaruhi pendengaran anaknya.

Oleh karena itulah, mereka memilih menikmati keramaian itu dari kejauhan.

“Kasihan si nduk [anak perempuan] kalau terlalu dekat. Jadi, kami menyisih melihat dari jauh saja. Katanya orang-orang nanti [kesehatan] dadanya atau kupingnya terpengaruh,” kata Qosim saat ditemui Tirto di lokasi.

Qosim bercerita bahwa sebelum punya anak, dia dan istrinya cukup sering mengikuti acara-acara sound horeg di selingkupan Kediri. Namun, semenjak punya anak, mereka hanya menonton acara sound horeg yang dekat dengan rumahnya.

Baginya, menyaksikan semacam ini adalah cara paling sederhana untuk mencari hiburan sekaligus melepas penat dari rutinitas sehari-hari.

“Tidak setiap ada acara juga kami datangi karena ada pekerjaan juga. Sayang banget kalau harus meninggalkan kerjaan buat nonton sound doang,” kata istri Qosim menimpali.

Acara seperti ini amat lazim di Jawa Timur. Masyarakat umum dan netizen pun telah akrab menyebutnya karnaval sound horeg.

Karnaval Sound Horeg di Kediri

Karnaval Sound Horeg di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. (Tirto.id/Fadrik Aziz Firdausi)

Acara karnaval dengan gelaran musik bervolume tinggi dan bass yang kuat hingga menggetarkan sekeliling seperti di Desa Puhrubuh itu belakangan menjadi sorotan publik. Bagi warga pedesaan seperti Qosim, kehadirannya dinikmati sebagai bentuk hiburan rakyat yang murah dan mudah dijangkau. Namun di sisi lain, sebagian kalangan justru memandang sound horeg dengan sinisme—dicibir tak berfaedah dan sarat dampak negatif dari aspek kesehatan, lingkungan, maupun sosial.

Lantas, bagaimana persepsi masyarakat Jawa Timur tentang karnaval sound horeg yang makin marak dalam beberapa tahun belakangan?

Hampir Separuh Responden Familier dengan Sound Horeg

Jawa Timur kiwari memang lekat dengan sound horeg. Di provinsi ini pulalah acara-acara sound horeg muncul, bertumbuh, hingga menjadi tren hiburan seperti sekarang.

Tirto bekerja sama dengan platform survei Jakpat untuk menggambarkan persepsi masyarakat Jawa Timur sendiri terhadap fenomena sound horeg ini. Jajak pendapat tersebut dilakukan terhadap 1.250 responden warga Jawa Timur pada 29 Agustus hingga 2 September 2025.

Hasil survei menunjukkan bahwa sound horeg cukup populer di mata masyarakat Jawa Timur secara umum. Sebanyak 49,92 persen responden menyatakan pernah mengikuti langsung acara karnaval sound horeg atau acara cek sound, sedangkan 46,08 persen lainnya mengaku belum pernah hadir tapi sudah tahu tentang fenomena ini. Hanya 4 persen responden yang benar-benar asing dengan istilah sound horeg dan acaranya.

Dari kelompok yang pernah mengikutinya, mayoritas (79,17 persen) mengaku hanya mengikuti acara tersebut 1–2 kali dalam tiga bulan terakhir. Sebagian lainnya mengikuti 2–4 kali (12,5 persen) dan hanya 4,97 persen yang datang lebih dari 6 kali dalam kurun waktu tiga bulan.

Meskipun demikian, tidak semua yang hadir merupakan penggemar aktif. Hanya 14,58 persen responden yang secara rutin mencari informasi mengenai jadwal dan lokasi acara sound horeg. Sisanya terdiri dari mereka yang sesekali mencari informasi (42,47 persen), serta yang hadir karena ajakan atau ikut-ikutan (42,95 persen).

Lalu, dari mana mereka mendapatkan informasi soal acara sound horeg?

Media sosial menjadi kanal utama dalam penyebaran informasi terkait acara-acara sound horeg. Qosim, misalnya, mengaku sering mengetahui jadwal dan lokasi karnaval sound horeg dari Facebook, selain dari informasi yang diperoleh secara lisan dari kabar-kabar tetangga atau kerabat.

Hal serupa disampaikan oleh Samsul, seorang kuli bangunan paruh baya, yang ditemui Tirto di karnaval sound horeg Desa Puhrubuh. Samsul bahkan bergabung dalam grup Facebook komunitas sound horeg yang rutin membagikan informasi seputar kegiatan terkait sound horeg dibagikan.

“Saya dapat informasi dari Facebook. Di Facebook itu, malah lengkap informasinya, mulai dari tempat, waktu, sampai susunan acara. Saya ikut grup Info Karnaval Kediri. Infonya lengkap semua dari sana,” ujar Samsul, Minggu (31/8/2025).

Hasil survei Tirto dan Jakpat sendiri menunjukkan 78,11 persen responden memperoleh informasi mengenai acara sound horeg melalui media sosial. Sumber informasi lain adalah teman atau keluarga (44,10 persen), media massa (28,97 persen), serta komunitas atau organisasi (20,39 persen).

Berdasarkan penelusuran Tirto, memang terdapat sejumlah grup komunitas di Facebook yang aktif membagikan informasi mengenai sound horeg. Salah satunya adalah grup bernama “Info Karnaval Kediri Blitar Malang” yang disebutkan oleh Samsul. Grup tersebut cukup rutin memperbarui informasi terkait kegiatan sound horeg dan memiliki jumlah anggota yang cukup besar mencapai 41.200 orang.

Karnaval Sound Horeg di Kediri

Salah satu bentuk poster informasi waktu dan tempat karnaval sound horeg di Kabupaten Kediri. Poster informasi seperti ini lazim beredar di grup-grup Facebook komunitas penikmat soun horeg.

Dampak Negatif dan Keluhan Warga

Meskipun cukup populer hingga ke aras nasional, fenomena sound horeg di Jawa Timur juga memantik kontroversi. Survei Tirto dan Jakpat menunjukkan bahwa sebagian besar responden (81,5 persen) menilai kegiatan sound horeg ini dapat mengganggu lingkungan.

Beberapa alasan yang sering dikemukakan antara lain: mengganggu kenyamanan orang sakit dan anak-anak (73,82 persen), merusak fasilitas rumah seperti kaca atau genteng (72,19 persen), berisiko terhadap kesehatan pendengaran (67,59 persen), menyebabkan polusi suara (49,90 persen), serta meninggalkan sampah dan kondisi lingkungan yang kotor (46,83 persen).

Jawaban responden mengindikasikan bahwa aspek kesehatan menjadi perhatian utama terkait dampak sound horeg. Berdasarkan standar World Health Organization (WHO), ambang batas aman paparan suara berada pada kisaran 60–80 desibel (dB). Masalahnya, tingkat kekerasan suara yang dihasilkan sound horeg kerap kali melebihi batas tersebut.

Seturut pantauan Tirto di dua acara karnaval sound horeg, beberapa sound horeg menghasilkan kekerasan suara mencapai lebih dari 100 dB (diukur dengan aplikasi Decibel X). Suara sound horeg paling keras ketika musik dimainkan yang dipantau Tirto adalah 115,7 dB, sementara yang paling rendah adalah 95,8 dB.

Karnaval Sound Horeg di Kediri

Pengukuran tingkat kekerasan suara dengan aplikasi Decibel X ketika truk sound horeg melintas. (Tirto.id/Fadrik Aziz Firdausi)

Belum lama ini, publik dikejutkan oleh Anik Mutmainnah (39 tahun), perempuan asal Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, yang meninggal dunia saat menonton karnaval sound horeg pada Sabtu (2/8/2025) malam di desanya.

Di Lumajang bahkan ada catatan peningkatan jumlah pasien konsultasi ke spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Hal ini diutarakan oleh Dokter Spesialis THT di RSUD dr. Haryoto Lumajang, Aliyah Hidayati.

"Jumlah pasien gangguan telinga meningkat akibat suara keras dari sound horeg. Setelah kami telusuri [mereka] dari acara sound," ujar Aliyah dikutip Detik.com, Kamis (7/8/2025).

Lebih lanjut berdasar data RSUD dr. Haryoto, dari Januari sampai Juli 2025 ada 2.480 pasien THT yang mereka tangani. Meski tidak semua karena dampak sound horeg, format hiburan musik tersebut sangat kuat terindikasi sebagai faktor.

Dokter yang juga pakar global health security dari Griffith University, dr. Dicky Budiman, menjelaskan bahwa paparan suara dengan intensitas sangat tinggi dapat berdampak yang sangat serius terhadap kesehatan. Paparan pada tingkat 130 desibel atau lebih dapat menimbulkan kerusakan hanya dalam hitungan detik atau menit.

“Selain itu, dampak suara ekstrem terhadap tubuh manusia itu bisa berupa kerusakan organ pendengaran tentu yang terutama dan pertama, yaitu disebut dengan trauma akustik. Ini yang menyebabkan perforasi gendang telinga atau pecah gendang telinga dan kerusakan sel rambut di koklea atau organ pendengaran yang berujung pada gangguan pendengaran permanen atau tinnitus,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (5/8/2025).

Lebih lanjut, dr. Dicky menyebut bahwa paparan suara dengan intensitas tinggi secara mendadak juga dapat memicu respons kejut (shock) yang ekstrem, seperti pingsan, serangan panik, hingga henti jantung mendadak (sudden cardiac arrest), khususnya pada orang dengan gangguan irama jantung atau kecemasan berat.

“Pada kelompok rentan, risikonya juga ada dan khusus. Misalnya, pada anak lansia atau ibu hamil atau penderita penyakit jantung, potensi gangguan kecemasan atau bahkan epilepsi, termasuk juga gangguan kejiwaan. Ini orang-orang yang sangat rentan terhadap paparan suara ekstrem ini,” sambungnya.

Menariknya, temuan survei Tirto dan Jakpat mengungkapkan bahwa meskipun banyak yang merasa terganggu oleh sound horeg, hanya 35,38 persen responden yang pernah mengajukan protes. Dari jumlah tersebut, 29,86 persen menyatakan protesnya tidak ditanggapi dan hanya 5,52 persen yang memperoleh tanggapan.

Sebanyak 39,6 persen dari mereka yang melayangkan protes juga mengaku mengalami intimidasi atau dikucilkan oleh lingkungan sekitar.

Sebelumnya, 50 pondok pesantren di Pasuruan mengeluarkan fatwa haram terhadap kreasi kesenian lokal tersebut. Alasan mereka, suara dari sound horeg dianggap mengganggu masyarakat dan menyebabkan kerusakan sejumlah fasilitas umum.

Karnaval Sound Horeg di Kediri

Suasana sebuah mushola yang dilewati karnaval soun horeg di Kabupaten Kediri. Sebelum hajatan karnaval dan cek sound horeg dilangsungkan, panitia biasanya berkeliling rumah-rumah di sepanjang rute karnaval untuk memplester kaca rumah-rumah penduduk. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan yang mungkin timbul akibat getaran keras sound horeg. (Tirto.id/Fadrik Aziz Firdausi)

Berkenaan dengan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur juga telah mengharamkan penggunaan sound horeg yang dapat membahayakan kesehatan, merusak fasilitas umum, atau barang milik orang lain. MUI Jatim juga mengharamkan penggunaan sound horeg yang diiringi oleh aktivitas mengumbar aurat dan kemungkaran-kemungkaran lain.

MUI Jatim membolehkan penggunaan sound horeg bila dengan intensitas suara yang wajar dan untuk kegiatan-kegiatan positif seperti, sholawatan dan pengajian. Namun, bila penggunaannya melebihi batas wajar sehingga memberikan dampak kerugian terhadap pihak lain, maka penggunanya harus memberikan ganti rugi.

“Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar yang mengakibatkan dampak kerugian terhadap pihak lain, wajib dilakukan penggantian,” tulis MUI dalam Fatwa No. 1 tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg.

Hiburan dan Ekspresi Seni Akar Rumput

Di tengah kontroversi dan fatwa haram yang menyertainya, sebagian masyarakat tetap menganggap sound horeg sebagai bagian dari hiburan rakyat yang memiliki nilai sosial tersendiri. Sukadi, warga Desa Keniten, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri mengatakan bahwa dia tidak selalu mengikuti karnaval soun horeg. Namun, apabila acara tersebut digelar di dekat rumahnya, dia menjadikannya sebagai ajang berkumpul bersama keluarga, termasuk dua cucunya yang masih balita.

Sementara itu, Nanda, pemuda asal Desa Sukoanyar, memiliki pandangan berbeda. Baginya dan rekan-rekan sebayanya, sound horeg bukan sekadar hiburan, melainkan juga wadah ekspresi seni dan kreativitas. Kepada Tirto, dia mengatakan bahwa dirinya akan berpartisipasi dalam karnaval sound horeg di desanya.

Nanda mengaku bahwa dirinya dan kelompok pemuda desanya tengah mengumpulkan dana secara swadaya sejak awal tahun ini untuk bisa berpartisipasi dalam karnaval.

“Selama setahun kami urunan, sejak awal 2025 sudah persiapan. Satu orang urunannya Rp450 ribu. Itu cuma buat menyewa sound aja, belum buat kostum, dan langsung dibayar kontan. Biasanya biaya untuk nyewa sound [paling murah] sekitar Rp15,5 juta,” ujar Nanda.

Nanda menyebut sejumlah pemuda di wilayahnya memang sangat antusias pada karnaval sound horeg. Mereka bahkan rutin berkumpul untuk latihan di hari-hari tertentu untuk mempersiapkan karnaval ini. Meski demikian, dia tak menampik ada sebagian masyarakat di desanya yang tak menyukai sound horeg.

“Ada yang gak suka, tapi gak sampai ribut. Acara setahun sekali gak apa-apa. Kalau pagi, anak-anak TK ada juga yang ikut karnaval ada ibu-ibu juga. Anak muda sore sampai malam,” ujarnya.

Sebagai informasi, hasil survei yang dilakukan Tirto dan Jakpat mengungkapkan bahwa mereka yang menikmati sound horeg disebabkan oleh sejumlah faktor, yaitu melihat sound horeg sebagai bentuk hiburan murah (55,86 persen), seru karena ramai (50,45 persen), dan dianggap sebagai ekspresi seni (46,85 persen).

Apa Kata Sosiolog tentang Fenomena Sound Horeg di Jawa Timur?

Dosen Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Arief Sudrajat, menilai bahwa fenomena sound horeg tidak bisa sekadar dipahami sebagai persoalan teknis hiburan bersuara ekstrem belaka. Menurutnya, sound horeg merupakan bagian dari budaya populer subaltern—ekspresi dari kelompok masyarakat yang tersisih dari sistem budaya dominan.

“Dalam terminologi sosiologi, kelompok subaltern adalah mereka yang tidak memiliki suara dalam sistem budaya dominan—mereka yang hidup di pinggiran secara ekonomi, sosial, maupun simbolik. Di Indonesia, kelompok ini adalah pemuda desa, pekerja informal, atau masyarakat urban marginal,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (9/9/2025).

Dalam konteks tersebut, sound horeg bukan hanya sekadar perangkat audio atau hiburan semata, melainkan alat ekspresi politik eksistensial. Bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap panggung, ruang hiburan, atau pengakuan sosial, suara menjadi satu-satunya cara untuk menyatakan keberadaan.

“Kegemaran terhadap sound horeg merefleksikan politik akustik, siapa yang berhak menciptakan suara, dan siapa yang berhak mendiamkan. Dalam masyarakat yang terklasifikasi secara sosial, suara menjadi instrumen kuasa. Dalam ruang-ruang publik yang dikontrol oleh norma kelas menengah [senyap, rapi, teratur], suara keras dari sound horeg menjadi bentuk perlawanan,” ujarnya.

Penolakan terhadap sound horeg, menurut Arief, muncul dari logika moral kelas menengah yang mendasarkan kenyamanan sebagai norma tertinggi. Suara keras dianggap tidak sopan, mengganggu, dan melanggar ketertiban. Ini mencerminkan apa yang dia sebut sebagai moralitas akustik, yakni asumsi bahwa ketenangan harus lebih diutamakan dibanding ekspresi publik.

“Namun, bagi masyarakat bawah, moralitas ini kerap terasa asing. Dalam logika mereka, suara keras dalam konteks hajatan, pesta, atau syukuran adalah hal yang wajar dan sah,” ujarnya.

Karnaval Sound Horeg di Kediri

Karnaval Sound Horeg di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. (Tirto.id/Fadrik Aziz Firdausi)

Ketimpangan Akses Hiburan

Lebih jauh, Arief juga menyoroti aspek ketimpangan struktural yang melatarbelakangi eksistensi sound horeg. Di perkotaan, kelas menengah memiliki akses ke berbagai bentuk hiburan berbayar: konser, bioskop, karaoke, dan tempat rekreasi lainnya. Namun, di desa atau permukiman marginal, pilihan hiburan sangat terbatas.

“Dengan begitu, keberadaan sound horeg juga bisa dipahami sebagai respons budaya terhadap ketimpangan struktural. Ia hadir bukan karena masyarakat ingin mengganggu, tetapi karena tak ada ruang lain untuk bergembira. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai komunalitas masyarakat pedesaan atau urban pinggiran. Di sana, acara hajatan, arak-arakan, atau pawai adalah ruang perjumpaan sosial,” ujarnya.

Meski demikian, Arief tak menampik ada pertarungan nilai antara hak berekspresi dan hak atas ketenangan di balik eksistensi sound horeg ini. Bagi penyelenggara dan pendukungnya, sound horeg adalah media ekspresi, pesta kolektif, dan identitas komunitas. Bagi warga yang terganggu, ia adalah gangguan atas hak istirahat, ancaman spiritual, dan bentuk pelanggaran moral publik.

“Dari perspektif sosiologi, tidak ada pihak yang sepenuhnya salah. Masalahnya adalah belum ada mekanisme kultural dan sosial yang mengelola negosiasi nilai ini secara adil dan partisipatif,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait SOUND HOREG atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - Decode
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi