Menuju konten utama

Pemerintah Dorong Ada Regulasi Khusus Atur Fenomena Sound Horeg

DJKI mengingatkan penyelenggara sound horeg mengatur perizinan terkait royalti dari lagu yang dibawakannya untuk tujuan komersial.

Pemerintah Dorong Ada Regulasi Khusus Atur Fenomena Sound Horeg
Warga menyaksikan gelaran Urek Urek Carnival yang diiringi perangkat audio berkapasitas besar di Desa Urek-urek Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/7/2025). ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/nym.

tirto.id - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menilai fenomena sound horeg tidak hanya bisa dilarang oleh fatwa haram yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.

DJKI menilai sebagai bentuk ekspresi seni, sound horeg tetap memiliki perlindungan hak cipta jika dipertunjukkan kepada publik, namun penggunaannya tetap harus tunduk pada norma sosial, agama, dan hukum yang berlaku.

“Sebagai bentuk ekspresi seni, sound horeg harus mengikuti pada norma agama, norma sosial, dan ketertiban umum. Jika sudah menimbulkan kerusakan atau permasalahan, tentu bisa dibatasi. Apalagi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta juga memuat pembatasan tegas,” ujar Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, Razilu, dalam keterangan tertulis pada Jumat (18/7/2025).

Sound horeg adalah pertunjukan sistem tata suara (sound system) yang membunyikan musik dengan suara kencang, sering digelar di tempat terbuka dan lokasi yang dekat dengan bangunan hunian. Pertunjukan ini populer di Jawa Timur.

Istilah “horeg” dalam bahasa Jawa berarti “getar” karena sound horeg memang membuat bangunan-bangunan di sekitarnya menjadi bergetar, disebabkan oleh gelombang suara yang kencang.

Fatwa MUI Jatim menyebut penggunaan sound horeg diharamkan karena mengandung kemaksiatan dan berisik secara berlebihan. MUI juga merekomendasikan agar Kemenkumham tidak memberikan legalitas atas kegiatan tersebut.

Akan tetapi, DJKI menilai fatwa itu tetap tidak bersifat melarang secara mutlak dan masih memungkinkan penggunaan sound horeg dalam konteks positif, seperti resepsi pernikahan, pengajian, atau kegiatan sosial, selama tidak melanggar hukum dan norma.

“Pasal 50 UU Hak Cipta berbunyi setiap orang dilarang melakukan pengumuman, pendistribusian, atau komunikasi ciptaan yang bertentangan dengan moral, agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau pertahanan dan keamanan negara,” lanjutnya.

Oleh sebab itu, Razilu berharap agar segera diterbitkan regulasi khusus seperti Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Pemerintah (PP) guna mengatur perizinan dan pelaksanaan kegiatannya. Sehingga, sound horeg dapat termonitor pelaksanaannya.

“Jadi yang terpenting adalah mengatur perizinan dan melakukan monitoring saat pelaksanaan sound horeg, sehingga keterlibatan instansi-instansi yang lebih berwenang menjadi sentral terkait hal ini,” ungkap Razilu.

Lebih jauh, Razilu juga mengingatkan, sebagai pertunjukan seni, pihak penyelenggara sound horeg juga sebaiknya mengatur perizinan atau membayar royalti. Hal ini dikarenakan selama ini sound horeg banyak menggunakan materi lagu dan musik milik kreator lain untuk tujuan komersial.

Dilansir dari laman dgip.go.id, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko, menilai terdapat hasil karya kreativitas seseorang yang tetap dihargai dan dilindungi kekayaan intelektualnya dalam fenomena sound horeg.

Lebih lanjut, adanya teknologi yang digunakan untuk menimbulkan suara dengan desibel yang tinggi dapat dilindungi patennya, sedangkan bentuk kreasi sound horeg yang beraneka ragam dapat dilindungi desain industrinya apabila terdapat kebaruan pada produknya.

“Kemudian untuk musik remix yang diputar, ini dapat dilindungi hak ciptanya dengan tidak meninggalkan hak moral dan hak ekonomi para pemilik karya yang di-remix. Dalam artian, musisi yang membuat musik remix ini harus membayar royalti dan atau meminta izin terlebih dahulu atau kepada para pemilik lagu yang mereka gunakan,” terang Agung, dikutip Tirto, Jumat (18/7/2025).

Sebagaimana diketahui, MUI Jatim menerbitkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg yang berlaku sejak 12 Juli 2025. Fatwa tersebut mengatur agar sound horeg digunakan dengan intensitas suara yang wajar, tidak melanggar hak asasi warga lainnya, tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip syariah, tidak membahayakan kesehatan, dan tidak menimbulkan mudarat.

Penggunaan sound horeg yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain pun wajib mendapatkan ganti rugi. Fatwa ini juga mendorong penggunaan sound horeg untuk berbagai kegiatan positif.

Baca juga artikel terkait SOUND HOREG atau tulisan lainnya dari Rahma Dwi Safitri

tirto.id - Flash News
Reporter: Rahma Dwi Safitri
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Bayu Septianto