tirto.id - Fenomena battle sound horeg yang selama ini dikenal sebagai aksi adu kekuatan sound system di daratan, kembali mencuri perhatian publik. Praktik tersebut kini meluas ke wilayah perairan.
Dalam sebuah video viral yang tersebar di media sosial, terlihat sejumlah perahu membawa sound system bervolume ekstrem. Video yang direkam di kawasan laut Pasuruan, Jawa Timur, tersebut tak luput dari kecaman warganet.
Citra negatif yang melekat pada sound horeg disebabkan oleh tingkat volume suara yang dihasilkan. Kekuatan suaranya melebihi ambang batas aman pendengaran. Oleh karena itulah banyak komentar warganet yang bertendensi sinis lantaran tidak nyaman dengan keberadaan sound horeg, demikian menurut Radius Setiyawan, Dosen Kajian Media dan Budaya Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Kontroversi seputar sound horeg sejatinya bukan hal baru. Pada April 2024, Polres Demak menangkap sembilan orang terkait kasus perusakan sebuah jembatan. Gerombolan tersebut melakukannya demi membuka jalan bagi truk pengangkut sound horeg agar dapat melintas.
Tak berhenti di situ, kontroversi sound horeg terus berlanjut beberapa bulan kemudian. Sebuah video viral menunjukkan seorang ibu rumah tangga nyaris jadi korban pengeroyokan. Hal itu terjadi karena ia memprotes suara bising dari sound horeg di Jalan Pati-Tayu KM 19, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Meskipun mendapat banyak sorotan publik, kontroversi sound horeg masih terus bergulir tanpa solusi jelas. Dalam kasus teranyar, para penggemar sound horeg seolah menghindari kontroversi di daratan yang penuh khalayak, kemudian memilih mengadakannya di lautan bebas. Padahal, dampak suara yang destruktif itu tetap kentara.
Fenomena sound horeg tidak hanya memekakkan telinga manusia, tetapi juga berpotensi mengganggu ekosistem bawah laut.
Pesta di Permukaan, Nestapa di Dasar Laut
Dampak battle sound horeg di wilayah perairan dinilai mengganggu ekosistem laut. Menurut analisis Ocean Life, paparan suara bising sound horeg dapat menyebabkan spesies laut kehilangan pendengaran secara bertahap. Proses pemulihannya pun berbeda-beda bergantung pada jenis spesiesnya.
Gangguan pendengaran bukan satu-satunya efek buruk yang ditimbulkan. Paparan suara bising akibat sound horeg juga menimbulkan stres. Dampak ini sama seriusnya dengan kerusakan pendengaran bagi para spesies laut.
Stres dapat menimbulkan konsekuensi jangka panjang bagi kesehatan dan kemampuan reproduksi spesies laut, sebagaimana dikutip dari jurnal Ecology Letters.
Bagi paus dan lumba-lumba, misalnya, suara bising terbukti mengganggu komunikasi sehari-hari. Padahal, mereka sangat bergantung pada suara untuk berinteraksi dan mencari pasangan. Gangguan tersebut pada akhirnya dapat menurunkan tingkat reproduksi.
Ironi lainnya, ikan terkadang salah mengira kebisingan sebagai predator yang hendak memangsa mereka. Maka dari itu, ikan-ikan menjadi ketakutan dan hanya berdiam diri di tengah kebisingan.
Diamnya ikan-ikan tersebut merupakan respons alamiah akibat dari ketakutan. Kalau bergerak atau kabur, mereka khawatir bakal ketahuan oleh sesuatu (kebisingan) yang dianggapnya sebagai predator pemangsa.
Di sisi lain, spesies laut juga tak bisa melarikan diri karena terlalu bingung dengan efek kebisingan yang mengganggu sistem sensoriknya, sebagaimana dikutip dari Advances in Experimental Medicine & Biology. Walhasil, karena tidak lari, kebisingan tersebut mengganggu sistem tubuh mereka.
Kebisingan dari sound horeg bukan sekadar gangguan biasa. Ia merupakan ancaman nyata bagi kehidupan laut. Jika tak dikendalikan, dampaknya bisa merusak ekosistem dan mengancam keberlangsungan biota laut.
Sound Horeg dan Ancaman Nyata terhadap Pendengaran
Ketidaknyamanan akibat dari sound horeg salah satunya berhubungan dengan batas pendengaran manusia secara fisiologis. Paparan suara impulsif tidak boleh melebihi 140 dB (desibel) pada puncak tekanan suara.
Merujuk pada data Decibel Chart (2024), suara dengan tingkatan 120–140 dB tergolong berbahaya bagi telinga manusia, apalagi jika durasi paparannya terlampau lama. Suara petir, kembang api tahun baru, serta sirine ambulans, termasuk dalam kategori bunyi di kisaran tersebut.
Secara umum, telinga manusia bisa bertahan dengan bunyi setingkat 90 dB selama delapan jam per hari. Namun, untuk tingkat 100 dB, durasi aman hanya sekitar dua jam per hari. Begitu yang dinyatakan oleh OSHA, lembaga Administrasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Amerika Serikat.
Bahkan, data Decibel Level Comparison Chart dari Yale University menyatakan, bunyi di kisaran 80–90 dB berisiko mengakibatkan gangguan pendengaran dalam jangka panjang.
Berdasarkan hal tersebut, ketidaknyamanan masyarakat atas sound horeg beralasan kuat. Kini, pertanyaannya adalah seberapa tinggi tingkat dB (desibel) dari sound horeg?
Melihat fenomena di lapangan, bisa dipastikan, intensitas suara sound horeg berada di level 120–140 dB atau lebih. Lebih parahnya, sound horeg kerap diputar berjam-jam tanpa jeda, dan para pendengarnya pun tak memakai pelindung telinga memadai. Berdasarkan data ambang batas toleransi suara, hal itu jelas bakal mengganggu kesehatan telinga manusia.
Menurut data National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD), paparan jangka panjang atau berulang terhadap suara di atas 85 dB dapat menyebabkan Noise-Induced Hearing Loss atau gangguan pendengaran akibat kebisingan. Makin keras suaranya, makin cepat seseorang mengidap masalah pendengaran.
Sejatinya, regulasi di Indonesia sudah memfasilitasi masalah polusi suara. Pada tingkat nasional, terdapat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada Pasal 20 ayat 2 huruf E, penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup dapat diukur berdasarkan baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu tersebut termasuk pengukuran terhadap tingkat kebisingan di suatu wilayah. Artinya, mutu kebisingan juga menjadi indikator penting dalam menjaga kualitas lingkungan.
Ada pula regulasi Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 yang mengatur baku tingkat kebisingan. Namun, aturan ini dinilai terlalu lampau dan tidak ada batasan jelas mengenai batas kebisingan.
Lantas, mengapa pelanggaran semacam battle sound horeg terus bergulir meski sudah ada regulasi?
Bisa jadi, banyak warga tidak menyadari batasan-batasan yang ditetapkan melalui peraturan terkait kebisingan. Selain itu, ambiguitas juga menjadi faktor penting yang mendorong adanya pelanggaran. Misalnya, batasan tingkat kebisingan yang diperbolehkan sering kali tidak disertai metode pengukuran yang jelas. Tidak ada standar komparasi atau prosedur rinci.
Ketaksaan yang muncul dalam regulasi rentan menimbulkan interpretasi berbeda antara penegak hukum dan masyarakat, terutama para penikmat sound horeg. Karena itu, tanpa penjelasan dan sosialisasi, regulasi hanya jadi dokumen di atas kertas.
Penulis: D'ajeng Rahma Kartika
Editor: Fadli Nasrudin