Menuju konten utama
TirtoEco

Tambang Laut Dalam: Potensi Ekonomi atau Malapetaka?

Kini, banyak negara mulai menyadari peran strategis laut sebagai ikon
pertumbuhan ekonomi global. Penambangan laut dalam pun jadi topik sarat kontroversi.

Tambang Laut Dalam: Potensi Ekonomi atau Malapetaka?
ilustrasi anjungan minyak lepas pantai . FOto/iStockphoto

tirto.id - Kita hidup di zaman yang serba cepat: mobil listrik melaju tanpa suara, ponsel canggih hadir tiap tahun, dan dunia berlomba menuju masa depan hijau (green future). Namun, di balik semua inovasi itu, ada satu pertanyaan yang jarang kita renungkan, dari mana asal semua bahan baku teknologi itu?

Jawabannya bisa jadi mengejutkan. Salah satu potensi bahan baku tersebut bersumber dari dasar laut. Ya, tempat paling misterius di planet ini kini diincar untuk ditambang demi kobalt, nikel, dan tembaga, logam-logam penting yang diperlukan oleh teknologi energi terbarukan. Tetapi, apakah tambang laut dalam adalah jawaban atas krisis energi, atau justru menjadi sumber masalah baru di planet bumi?

Baru-baru ini, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perintah untuk mendorong percepatan praktik penambangan laut dalam atau deep seabed mining hingga ke wilayah internasional. Di tengah perang dagang antara AS dan Tiongkok, Trump tampaknya ingin mengurangi ketergantungan pada Negeri Tirai Bambu dalam rantai pasok mineral mentah.

Berbekal slogan “Make America Great Again” (MAGA), Trump bermaksud memperkuat posisi AS sebagai pemimpin global dalam pengembangan teknologi tambang laut dan kerja sama tambang internasional.

Tak pelak, perintah percepatan penambangan laut dalam itu menuai kontroversi. Puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional, termasuk World Wildlife Fund (WWF) dan Greenpeace, menolak tegas keputusan AS.

Kendati demikian, AS tetap melenggang bebas. Keputusan penambangan laut dalam tetap keluar pada April 2025. Hal itu kian menyudutkan International Seabed Authority (ISA), organisasi regulator hukum kelautan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sejatinya, tuntutan percepatan eksploitasi penambangan laut dalam bukanlah hal baru. Pada 2021, Republik Nauru menuntut aktivasi "two-year rule", sebuah klausul dalam Annex Bagian 1 (15b) dari perjanjian 1994. Regulasi itu mengatur bahwa negara anggota ISA dapat meminta Dewan ISA menyusun dan mengadopsi regulasi eksploitasi penambangan laut dalam selama kurun dua tahun.

Hal ini memaksa ISA, yang bertanggung jawab mengatur aktivitas eksploitasi dasar laut, menyelesaikan dan menerbitkan mining code (regulasi acuan dasar kegiatan penambangan laut dalam) pada Juli 2023.

Namun, hingga batas waktu ditentukan, ISA belum mampu menuntaskan tuntutan regulasi tersebut. Penundaan ini disebabkan oleh berkembangnya penelitian mengenai dampak lingkungan serta kompleksitas ekosistem laut yang belum sepenuhnya dipahami manusia.

Konferensi ISA yang digelar pada Juli 2023 di Kingston, Jamaika, akhirnya menghasilkan keputusan untuk menunda penerbitan mining code hingga Juli 2025. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada perkembangan signifikan dari ISA mengenai finalisasi regulasi tersebut.

Keraguan yang ditunjukkan ISA mencerminkan kehati-hatian ekstra dalam memulai aktivitas penambangan laut dalam. Hal ini memperkuat pandangan bahwa eksploitasi laut dalam tidak boleh dilakukan tergesa-gesa, mengingat masih banyak aspek terkait ekosistem laut yang belum sepenuhnya dipahami manusia.

Iming-Iming Potensi Tambang Laut Dalam

Penambangan laut dalam adalah proses ekstraksi sumber daya mineral di dasar laut, umumnya berada di kedalaman lebih dari 1.000 meter di bawah permukaan laut. Aktivitas ini dianggap bernilai ekonomi sangat tinggi. Sebab, kawasan dasar laut kaya akan mineral penting, seperti kobalt, nikel, dan tembaga. Semuanya sangat dibutuhkan untuk industri teknologi dan energi terbarukan.

Secara umum, kegiatan di laut dalam terbagi menjadi dua kategori utama: eksplorasi dan eksploitasi.

Eksplorasi merujuk pada aktivitas ilmiah yang mencakup pemetaan dasar laut, uji coba teknologi, serta pengambilan sampel dalam jumlah kecil untuk analisis laboratorium. Dampak lingkungan yang ditimbulkannya diklaim relatif minim, karena tujuannya adalah penelitian, bukan komersialisasi.

Di sisi lain, kegiatan eksploitasi justru bertujuan utama mengambil mineral secara masif guna memenuhi permintaan pasar global. Inilah yang menjadi titik kritis perdebatan publik dan regulasi internasional. Sebab, eksploitasi laut dalam berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem yang, sejak lama, masih menjadi misteri bagi para ilmuwan laut.

ilustrasi penambangan laut dalam

ilustrasi Komposisi Bathyscaphe Diving Flat . FOto/iStockphoto

Sebagai regulator utama, ISA telah menerbitkan mining code untuk kegiatan eksplorasi di kawasan "The Area", wilayah dasar laut internasional yang berada di luar yurisdiksi nasional negara mana pun. Contohnya adalah area Indian Ocean Ridge yang membentang dari dekat Teluk Aden di wilayah barat hingga melewati tengah Samudra Hindia.

Hingga saat ini, terdapat beberapa regulasi eksplorasi yang telah dikeluarkan oleh ISA, yaitu code eksplorasi untuk Polymetallic Nodules (2013), Polymetallic Sulphides (2010), dan Cobalt-Rich Ferromanganese Crusts (2012).

Namun, penting digarisbawahi bahwa ketiga regulasi tersebut hanya mengatur eksplorasi, bukan eksploitasi. Sementara itu, kebutuhan akan mineral kritis terus meningkat. Dorongan pengesahan mining code pun makin menguat.

Menurut laporan Arthur D. Little, firma konsultan manajemen global yang berbasis di AS, penambangan laut dalam menyimpan potensi ekonomi sangat besar. Mereka memperkirakan, kegiatan tersebut berprospek menghasilkan peluang ekonomi hingga 20 triliun dolar AS, terutama dari ekstraksi mineral yang dibutuhkan untuk produksi baterai, kendaraan listrik, dan teknologi lain yang diklaim ramah lingkungan.

Pandangan itu diperkuat oleh temuan dalam artikel ilmiah bertajuk "Challenges to the Sustainability of Deep-Seabed Mining" yang dimuat di Nature. Terungkap bahwa salah satu wilayah di Samudera Pasifik Tengah, yaitu Clarion-Clipperton Zone (CCZ), diperkirakan menyimpan mineral kritis dengan jumlah mencapai lima kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan cadangan yang ada di daratan.

Jika potensi tersebut dimanfaatkan secara optimal, cadangan mineral di kawasan tersebut dapat digunakan untuk menggerakkan satu miliar mobil listrik, hanya dari sekitar 30 persen dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan penambangan di darat. Berdasarkan argumen ini, eksploitasi mineral laut dalam dipandang sebagai harapan baru untuk mendukung transisi global menuju teknologi energi terbarukan.

Akan tetapi, di balik potensinya, tetap ada tantangan besar yang harus dijawab guna menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan urgensi perlindungan lingkungan laut. Terlebih, ekosistem laut dalam masih amat rapuh dan misterius bagi dunia ilmu pengetahuan.

Harapan Baru atau Ancaman Masa Depan Bumi?

Penolakan puluhan LSM ternama, mulai dari WWF hingga Archipelagos Institute, terhadap eksploitasi tambang laut dalam bukan tanpa dasar. Aktivitas itu, khususnya yang direncanakan AS di kawasan "The Area", berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem laut berskala luas, dengan konsekuensi berdampak pada seluruh umat manusia.

Pada 2024, WWF Norwegia menggugat pemerintah Norwegia atas rencana praktik penambangan laut dalam. Gugatan itu juga menanggapi pernyataan keliru dari Perdana Menteri Norwegia, Jonas Gahr, yang mengklaim bahwa penambangan laut dalam dapat dilakukan tanpa membahayakan kehidupan laut.

Kekhawatiran dari WWF Norwegia diperkuat oleh fakta bahwa sebagian besar wilayah laut dalam masih belum dijelajahi manusia. “Kita baru mengeksplorasi sekitar lima persen dari laut di bumi,” ujar penulis ilmiah, Sara Novak, sebagaimana dikutip dari Discover Magazine.

Bagai pisau bermata dua, pernyataan Sara bisa ditafsirkan sebagai harapan bahwa masih banyak makhluk unik hasil evolusi jutaan tahun yang belum ditemukan. Potensi keberadaan senyawa bioaktif juga masih ada, yang semuanya mungkin bermanfaat besar bagi umat manusia.

Namun di sisi lain, keterbatasan pengetahuan itu juga bisa menjadi peringatan serius bahwa masih banyak risiko dan dampak lingkungan yang belum dipahami sepenuhnya oleh manusia.

Misalnya, penemuan terbaru pada 2024 mengungkap, Polymetallic Nodules dari laut dalam ternyata dapat menghasilkan oksigen (O2). Hal ini merupakan temuan mengejutkan, mengingat sebelumnya para ahli meyakini bahwa produksi oksigen tidak mungkin terjadi tanpa cahaya matahari.

Jika Polymetallic Nodules memang berperan penting dalam menjaga ketersediaan oksigen bagi kehidupan laut dalam dan kehidupan manusia, eksploitasi besar-besaran terhadapnya berisiko mengganggu keseimbangan ekosistem secara drastis.

ilustrasi penambangan laut dalam

platform minyak dan gas lepas pantai . FOto/iStockphoto

Pada Juli 2024, Presiden Palau, Surangel Whipps Jr, dalam pidato pembukaannya di acara "2nd Part of the 29th Annual Session of the International Seabed Authority", menyerukan agar penyusunan mining code dilakukan dengan sangat hati-hati. Ia menekankan bahwa keputusan eksploitasi sumber daya laut dalam di wilayah "The Area" menyangkut nasib seluruh umat manusia.

Kini, pertanyaannya, apakah deep sea mining benar-benar solusi atas keterbatasan energi global atau justru menjadi sumber malapetaka baru bagi planet Bumi? Jangan-jangan ia merupakan bentuk keserakahan kita untuk menjarah sumber daya alam tanpa pertimbangan matang dan mendalam.

Saat bersamaan, keputusan Donald Trump menerbitkan keputusan penambangan sumber daya alam di laut dalam mengingatkan kita pada era Perang Dingin 1947-1991. Saat itu, AS dan Uni Soviet berlomba-lomba mengeksplorasi luar angkasa, yang kemudian "dimenangkan" oleh AS dengan mendaratnya Neil Amstrong di Bulan lewat misi Apollo 11 pada 1969 .

Kini, AS mulai mempertimbangkan eksploitasi laut dalam.

Sebagaimana dinyatakan oleh Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan (2003), eksplorasi luar angkasa bukan semata perjalanan menembus antariksa, ia adalah upaya untuk menancapkan kekuasaan di muka bumi.

Demikian juga yang dilakukan oleh AS kini. Eksploitasi laut dalam, bukan sekadar upaya penambangan, melainkan cara untuk menunjukkan siapa yang paling berkuasa di wilayah paling misterius di muka Bumi.

Baca juga artikel terkait PERTAMBANGAN atau tulisan lainnya dari D'ajeng Rahma Kartika

tirto.id - TirtoEco
Kontributor: D'ajeng Rahma Kartika
Penulis: D'ajeng Rahma Kartika
Editor: Fadli Nasrudin