Menuju konten utama
Mozaik

Sejarah Penemuan dan Penambangan Minyak Bumi Masa Hindia Belanda

Minyak bumi di Nusantara terendus oleh ilmuwan Romawi asal Alexandria saat membahas geografi Sumatra. Berabad kemudian Belanda mulai mengeksploitasinya.

Sejarah Penemuan dan Penambangan Minyak Bumi Masa Hindia Belanda
Header mozaik Tambang Minyak Bumi Hindia Belanda. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Ketergantungan dunia saat ini terhadap minyak bumi masih sangat kuat, meskipun sumber-sumber energi lain sudah diupayakan. Negara yang berhasil memproduksi atau mengekstrasi deposit minyak bumi di wilayahnya secara signifikan bisa kaya mendadak, seperti halnya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Di sisi lain, sejumlah negara kaya minyak seperti Venezuela dan Irak justru tak berhasil makmur sejahtera karena stabilitas politik yang tidak terjaga. Indonesia berada di pertengahan, tidak terlalu kaya minyak dengan standar kesejahteraan rata-rata, dan sampai saat ini masih bergelut dengan pencarian kebijakan pemberian BBM subsidi yang paling pas.

Jauh di masa lampau, minyak bumi Nusantara sudah dirujuk sejak lama. Menurut Reinout Willem van Bemmelen (1904-1983) dalam On the mineral resources of the Netherlands Indies and their industrial possibilities (1945), keberadaan minyak bumi (Belandanya: aardolie/ ruwe olie) di Nusantara sudah disebut oleh ilmuwan Romawi asal Alexandria, Klaudius Ptolemaeus (100-170 Masehi), ketika membahas geografi Pulau Sumatra.

Berabad kemudian, tokoh VOC Jan Huygen van Linschoten dalam catatannya tahun 1596 mengatakan ada sumur di Sumatra yang menghasilkan ”balsem murni”. Cairan dari sumur di Deli disebut juga digunakan orang-orang Aceh untuk menarik perhatian kapal-kapal Portugis sehingga mendekat lalu dirampok.

Kajian serius potensi minyak bumi di Indonesia masa Hindia Belanda sudah dilakukan tak lama setelah Edwin Drake sukses dengan sumur minyak komersial pertama di Penssylvania tahun 1859. Fitur geologis sumur-sumur minyak alami kemudian diteliti oleh para geolog Belanda tak lama berselang. Junghuhn menyebut ada sumur minyak berlumpur di Tjioejah, Liebert mengatakan ada air mengandung garam di sumur lumpur di Koewoe, dan Hasskari juga dapat informasi mineral organik yang sama di Kalang-adjar.

WH De Greve (1840-1872) dalam tulisannya Petroleum of aardolie en haar voorkomen in Nederlandsch-Indië (1865) menceritakan bahwa setahun sebelumnya, Prof. EH von Baumhauer di Amsterdam meminta pemerintah memberinya kesempatan menyelidiki potensi minyak bumi Hindia Belanda. Pemerintah menyetujui dan usulan sang profesor agar De Greve ditunjuk sebagai kepala biro teknis survei pun dikabulkan.

Pemerintah Belanda satu dekade sebelumnya sebenarnya telah melakukan langkah signifikan dengan membentuk dinas pertambangan (Dienst van he Mijnwezen) pada 1850, sejalan dengan perumusan undang-undang pertambangan (Mijnwet) yang kemudian mengalami serangkaian perubahan sesuai perkembangan kebutuhan.

Dalam tugas investigasinya, De Greve menyebutkan pergunungan tersier di Jawa boleh jadi menyimpan bebatuan yang mengandung petroleum, mulai dari Preanger sampai Pasoeroean. Semua sumber minyak bumi di Jawa, kecuali di Banyumas, ada di belahan utara rangkaian gunung api besar Jawa.

De Greve juga mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda memberikan edaran kepada para kepala pribumi agar memberi informasi keberadaan minyak bumi di wilayah masing-masing. Sejumlah tempat di West-Java (regentschap Preanger dan Cheribon) serta Midden-Java (regentschap Samarang, Rembang, Banyoemas, Madioen dan Soerakarta) melaporkan memiliki sumur minyak alami yang sudah lama dimanfaatkan penduduk pribumi.

Surat dari amtenar Belanda di Palembang, JSG Gramberg (1823-1888), yang dirujuk dalam Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 1865 hal. 468-469 menyebut ada tiga sumur minyak bumi alami di residensi Palembang, semuanya di dusun Goenoeng Megang, Lematang. Di marga Benakat, Moeara Enim pun ada simpanan minyak bumi potensial.

Walaupun nanti Sumatra menjadi produsen minyak terbesar, upaya pengeboran dan pendirian perusahaan minyak bumi perdana di Hindia Belanda justru terjadi di Pulau Jawa. Madja (konsesi Tjibodas-Tanggat-1), Jawa Barat, dibor minyaknya di tahun 1872, dengan kedalaman 125 kaki atas biaya bersama Jan Reerink dan de Nederlandse Handel-Maatschappij (NHM), sebagaimana diinformasikan dalam disertasi Peter de Ruiter (2016): Het mijnwezen in Nederlands-Oost-Indië 1850-1950. Dortsche Petroleum Maatschappij kemudian berdiri di Surabaya pada 1887 sebagai perusahaan minyak bumi perdana Hindia Belanda.

Baru pada 1883, konsesi eksplorasi minyak bumi diberikan kepada J Zijlker untuk wilayah Sumatra Utara. Di bawah arahan pakar tambang Reinder Fennema (1849-1897), eksplorasi yang berlokasi di Langkat ini sukses besar dan menjadi cikal bakal perusahaan minyak bumi kelas dunia milik Kerajaan Belanda yang berdiri 1890: Royal Dutch Petroleum Company (Koninklijke Nederlandse Petroleum Maatschappij).

Perusahaan Inggris The "Shell" Transport and Trading Company kemudian merger dengan Royal Dutch pada April 1907 membentuk Shell Oil Company. Sejak awal pendirian, Shell bersaing ketat dengan Standard Oil dalam produksi minyak bumi dunia dan sekarang menjadi salah satu perusahaan global terbesar. Anak perusahaan ini, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), akhirnya mengambil alih interes perusahaan itu khusus untuk Hindia Belanda.

Reinder Fennema yang disebut di atas menuangkan laporan kegiatan eksplorasi minyak bumi di Langkat dalam Rapport over het voorkomen van petroleum in Beneden-Langkat, Oostkust van Sumatra (1890). Dia mengawali eksplorasi konsesi Zijlker di Lepan seluas 1.100 bau (sekitar 825 hektare) dengan melakukan pengeboran di tujuh titik di sekitar Telaga Tiga, Telaga Toenggal, Telaga Said, Telaga Ning dan Telaga Bakal.

Kedalaman pengeboran mulai dari 40 hingga 121 meter. Awalnya hanya mendapat 100 s.d. 200 liter per hari, tetapi kemudian hasil ekstraksi sumber minyak bumi di lokasi itu disebut Fennema mampu melebihi rata-rata sumur-sumur minyak Amerika, karena pada satu pengeboran saja pernah tiga hari berturut mendapat 8.640 liter minyak. Fennema menyimpulkan di Oostkust van Sumatra kawasan dengan formasi yang mengandung minyak bumi cukup luas, sehingga sangat menguntungkan dieksplorasi serius.

Sebagai pelopor tambang minyak bumi Hindia Belanda, WH de Greve dan Fennema juga membagi nasib tragis yang sama. De Greve hanyut di Batang Kuantan ketika mencari rute alternatif transportasi batubara Ombilin ke Pantai Timur Sumatra dan Fennema karam tanpa jejak di Danau Poso ketika melakukan survei geologis.

Dari tulisan kedua pakar geologi ini, kiblat metode dan alat tambang minyak bumi Hindia Belanda mengarah ke Amerika Serikat. Dalam artikel mereka di atas, keduanya mencurahkan bagian pengantar cukup panjang progres teknis dan produksi pertambangan minyak bumi di Amerika Serikat, dengan maksud menerapkan metode eksplorasi yang cocok untuk Hindia Belanda.

Disertasi de Ruiter juga mengungkap perkembangan signifikan dunia tambang Hindia Belanda dengan ditemukannya sumber minyak bumi potensial di Sumatra, Kalimantan, dan Jawa di peralihan abad ke-19 dan ke-20.

Temuan-temuan ini hanya sebentar menyibukkan dinas pertambangan pemerintah, sebelum akhirnya partikelir (perusahaan-perusahaan swasta) mengambil alih secara signifikan dengan modal raksasa dan metode-metode tercanggih saat itu.

Setelah BPM sukses, perusahaan-perusahaan asing lain pun berdatangan mengeruk kekayaan minyak bumi Nusantara di awal abad ke-20. Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) didirikan pada 1912 sebagai anak perusahaan the Standard Oil Company of New Jersey.

The Standard Oil Company of California tidak mau ketinggalan, 19 tahun kemudian mendirikan Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NKPM). Khusus untuk menangani basin Jambi yang sangat produktif, pemerintah Hindia Belanda pun menanam saham pada perusahaan BPM dengan membentuk perusahaan Nederlandsch-Indische Aardolie Maatschappij (NIAM).

Infografik mozaik Tambang Minyak Bumi Hindia Belanda

Header mozaik Tambang Minyak Bumi Hindia Belanda. tirto.id/Parkodi

Di paruh pertama abad ke-20, khususnya 1900-1930, minyak bumi menempati kuantitas pertama produksi seluruh mineral organik dan metal. Masa ini merupakan masa keemasan pertambangan Hindia Belanda. RW van Bemmelen (1945) memberikan angka 7.938.998 metrik ton untuk produksi tahun 1940 dan 7.241.254 metrik ton untuk produksi minyak 1941. Dalam hitungan RW van Bemmelen, 1 metrik ton setara sekira 6,295 barel.

Dari jumlah itu, lebih 70 persen dihasilkan oleh Sumatra, yakni 5.208.710 metrik ton untuk 1940 dan 4.905.734 metrik ton tahun 1941; sisanya 30 persen dibagi oleh Kalimantan, Jawa, dan Maluku. Dari produksi Sumatra, Sumatra Selatan menjadi penyumbang terbesar: 4.287.960 metrik ton (1940) dan 4.177.052 metrik ton (1941).

Jika kita ambil saja produksi tahunan 1940 yang setara 49.975.069 barel dan harga 1 barel secara kasar sama dengan 70 US dolar saat ini atau katakanlah Rp1 juta, maka untuk satu tahun perusahaan-perusahaan minyak bumi di Hindia Belanda meraup pendapatan kasar 50 triliun rupiah.

Meskipun produksi 7 juta ton pada 1940 hanya 4 persen dari seluruh produksi minyak bumi dunia (270 juta metrik ton), tapi posisi Hindia Belanda berada di urutan 6 setelah Amerika Serikat (168 juta metrik ton), USSR, Venezuela, Persia, dan Romania pada saat itu. Bandingkan dengan 2023, produksi minyak bumi Indonesia 219 juta barel (600 ribu barel per hari), hanya empat kali lebih banyak dari produksi 1940 tersebut dan kita berada pada urutan produsen ke-25.

Angka konsumsi 2 juta barel per hari (pada urutan konsumen ke-12 di seluruh dunia) memaksa Indonesia melakukan impor. Jelas, data ini menunjukkan setelah Indonesia merdeka peningkatan produksi minyak bumi domestik mengalami pelambatan serius jika diukur dengan kinerja negara-negara produksi minyak lainnya. Bahkan, kita jauh ketinggalan dengan belasan negara produsen baru sejak berakhirnya Perang Dunia II.

Survei-survei geologis yang berujung pada kegiatan-kegiatan eksplorasi komersial amat menguntungkan minyak bumi masa Hindia Belanda di atas mengindikasikan luasnya lokasi dan besarnya deposit minyak bumi Nusantara. Sejumlah lokasi sumur minyak lama Belanda bahkan sekarang ditambang secara ilegal oleh penduduk dengan metode seperti seratus tahun lalu, tanpa memperhitungkan aspek keselamatan dan kerusakan lingkungan.

Alangkah baiknya jika seluruh sumur tambang lama Hindia Belanda didata secara komprehensif sebagai salah satu sumber peningkatan produksi minyak bumi domestik, selain tentunya eksplorasi skala besar cadangan-cadangan migas baru. Sehingga, kita tak selamanya menjadi pengimpor dan tak perlu pusing-pusing dengan utak-atik kebijakan subsidi yang sudah lama jadi dilema.

Baca juga artikel terkait MINYAK BUMI atau tulisan lainnya dari Novelia Musda

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Novelia Musda
Penulis: Novelia Musda
Editor: Irfan Teguh Pribadi