Menuju konten utama

Mengapa VOC Lebih Royal Bagi Ilmu pada Jepang di Era Sakoku

Belanda merupakan satu-satunya bangsa Barat yang diizinkan Jepang punya pos di wilayahnya. Darinya, Jepang mempelajari pengetahuan Barat.

Mengapa VOC Lebih Royal Bagi Ilmu pada Jepang di Era Sakoku
Header Mozaik Transfer Ilmu Sesama Penjajah. tirto.id/Tino

tirto.id - Tidak hanya kebudayaannya, sejarah Jepang juga memiliki kekhasan, khususnya riwayat kontak dengan dunia Barat. Selama dua abad lebih (abad ke-17 sampai ke-19), Jepang menerapkan politik isolasi diri total dari dunia luar—disebut era Sakoku (1640-1853). Meski demikian, Jepang sebenarnya masih berhubungan secara terbatas dengan satu entitas Barat, yaitu Belanda.

Kontak Jepang dan Belanda di masa Sakoku ditandai dengan apa yang disebut Rangaku atau ilmu pengetahuan Belanda. Istilah ini merupakan kombinasi dari “ran (singkatan transkripsi fonetis dari Oranda, ejaan Jepang untuk Belanda) dan “gaku (ilmu pengetahuan).

Secara luas, Rangaku mengacu pada segala bentuk pengetahuan yang berasal dari dunia Barat (Eropa) masa Sakoku.

Dalam Japan and the Dutch (2000), Grant K. Goodman menyampaikan bahwa selama dua abad era Sakoku, Jepang menjalin kontak dengan Belanda melalui VOC. Jadilah Belanda satu-satunya bangsa Barat yang punya pos dagang di Dejima, sebuah pulau buatan di dekat Nagasaki.

Belanda mentransfer pengetahuan Eropa kepada masyarakat Jepang dalam dua bentuk utama, yaitu ilmu kedokteran dan astronomi. Bidang pertama juga mencakup beberapa bidang keilmuan yang berbeda, seperti kimia, farmasi, mineralogi, botani, fisika, dan zoologi. Ilmu astronomi pun tak sekadar soal perhitungan kalender, tapi juga mencakup kartografi dan geografi.

Para sarjana Rangaku (disebut Rangakusha) lebih fokus pada teknologi dan kemampuan yang dapat diterapkan langsung untuk mendorong kemajuan otoritas Tokugawa Bakufu (Keshogunan Tokugawa).

Hal yang kemudian menarik untuk diulik: mengapa VOC lebih royal membagi ilmu pengetahuan pada bangsa Jepang daripada Nusantara yang hubungannya jauh lebih intens dengannya?

Keuntungan Jepang yang Sentralistik

Alasan pertama yang memungkinkan hal itu adalah Belanda (VOC) berhadapan dengan pemerintahan yang lebih sentralistik dengan budaya relatif seragam serta memiliki kekuasaan penuh atas seluruh Jepang.

VOC mendapat izin perdagangan terbatas dari Shogun atau Penguasa Militer yang berpusat di Edo. Keshogunan Tokugawa sendiri membawahi 200-an lebih daimyo (bangsawan/tuan tanah). Karenanya, lisensi dari Shogun saja sudah lebih dari cukup untuk Belanda leluasa bergerak.

Goodman menyebut bahwa para penguasa Tokugawa juga mengakui manfaat praktis dari ilmu-ilmu Barat yang aplikatif. Namun, mereka tetap melarang ilmu-ilmu lain, seperti agama, filsafat, sejarah, hukum, dan sastra, karena “trauma” dengan efek disruptif diseminasi Kristen yang dibawa para misionaris Portugis selama abad ke-16 dan awal abad ke-17.

Keshogunan Tokugawa juga mendorong pembelajaran ilmu-ilmu yang punya dampak ekonomis langsung, seperti ilmu pertanian. Meski begitu, ia juga membatasi agar Rangaku tidak menyentuh masyarakat akar rumput.

Situasi agak berubah semenjak 1720, saat Shogun Tokugawa Yoshimune melonggarkan impor buku-buku asing. Kebijakan ini turut memperkuat basis pengetahuan masyarakat Jepang.

Sementara itu di Nusantara, situasinya sangat berbeda. Kepulauan Nusantara tidak memiliki pemerintahan sentralistik seperti di Jepang. Di era yang sama, Nusantara memiliki beragam kerajaan dan sistem pemerintahan.

Di Kepulauan Maluku, VOC bisa memajukan perdagangannya hanya dengan mendekati Raja Ternate sehingga wilayah-wilayah lain di bawah kekuasaannya pun mengikuti. Namun, pendekatan yang sama tidak akan berhasil di pesisir Sumatera Barat. Pasalnya, VOC mesti bernegosiasi dengan puluhan nagari yang masing-masing punya pemerintahan sendiri.

Di Nusantara, bernegosiasi dengan banyak penguasa tentu tidak efisien. Namun di sisi lain, VOC juga diuntungkan secara politik karena kekuatan yang mereka hadapi relatif kecil, terpisah-pisah, dan punya kepentingan sendiri-sendiri.

Tradisi Literasi dan Intelektual

Alasan kedua Belanda suka berbagi ilmu dengan Jepang era Sakoku adalah tradisi akademik dan literasi masyarakatnya yang nisbi cukup kuat. Tidak hanya didominasi para samurai, komposisi masyarakat Jepang juga diisi oleh kaum akademisi seperti halnya Tiongkok.

Aksara dan budaya tulis Jepang merupakan hasil kontak dengan kebudayaan Cina sejak awal Masehi. Selain tulisan kanbun—karangan dengan ragam tulisan Tionghoa klasik—yang luas dipakai para intelektual dan aparat Jepang dari abad ke-8 sampai awal abad ke-20, Jepang juga mengembangkan hiragana dan katakana pada abad ke-9 sebagai alternatif aksara Tionghoa yang rumit.

Anthony van Otterloo dalam Japan: Beschreven naar de Nieuwste Bronnen (1860) menyebut bahwa masyarakat Jepang mengenal kertas sejak abad ke-7. Mereka juga menguasai teknik percetakan ala Tiongkok sejak sekira 1206. Dengan modal tersebut, orang-orang Jepang mampu menghasilkan karya literasi dan intelektual sendiri selama berabad-abad.

Setiap abad, Jepang selalu memiliki para penulis kenamaan baik lelaki maupun perempuan, seperti Murasaki Shikibu di abad ke-11 (penyair wanita penulis The Tale of Genji), Yoshida Kenko di abad ke-14 (penulis Tsurezuregusa).

Puncak produktivitas literasi Jepang terjadi pada zaman Edo (1603-1868). Di masa ini lahir penulis-penulis besar, seperti Miyamoto Mushashi (1584-1645), seorang samurai legendaris dan penulis The Book of Five Rings; penyair wanita Fukuda Chiyo-ni (1703-1775), serta para rangakusha seperti sang ronin dan polymath Hiraga Gennai (1729-1780) berikut ahli medik Sugita Genpaku (1733-1817).

Ketika kapal-kapal VOC membawa ilmuwan dan dokter dalam kunjungan dagang dan politik ke Jepang, mereka sekaligus menerima kunjungan dari para intelektual Jepang yang ingin belajar sains Eropa. Setahun sekali, VOC juga mengirim delegasi yang terdiri dari ilmuwan, pedagang, dan pejabat ke istana Shogun di Edo untuk mendemonstrasikan sains terbaru serta memberi informasi up-to-date tentang Eropa.

Karena semangat belajar masyarakat dan otoritas Jepang yang tinggi, Belanda pun senang berbagi ilmu. Ini misalnya dapat dilihat dari kisah hidup Sugita Genpaku.

Semula, Sugita adalah tabib tradisional Jepang. Setelah melihat demonstrasi dokter Belanda Rudolph Bauer di istana Shogun pada 1768 yang berhasil menyembuhkan pasien gangrene lidah, dia jadi tertarik belajar ilmu kedokteran Barat. Dia lantas berangkat ke Nagasaki untuk belajar bahasa Belanda agar bisa mencerna teks-teks ilmiah yang diterjemah dari bahasa-bahasa Eropa lainnya yang dibawa VOC.

Sugita sendiri akhirnya menerjemahkan sejumlah karangan dari khazanah sains Eropa berbahasa Belanda serta aktif mendiseminasi Rangaku.

Lagi-lagi, tradisi literasi dan intelektual Nusantara punya kondisi yang berbeda. Tradisi literasi dan intelektual di Nusantara umumnya didominasi oleh kaum agamawan dan kalangan istana. Hal ini kurang menarik bagi VOC.

Komunikasi tertulis antara VOC dan pembesar-pembesar Nusantara kebanyakan bersifat dagang dan politis. Ulama-ulama Nusantara di masa VOC (abad ke-17 dan ke-18) dengan basis pesantren, surau, atau dayah nisbi tidak menjalin kontak keilmuan apa pun dengan Belanda. Meskipun VOC membawa sejumlah pakar ilmu seperti insinyur tambang, dokter, atau penulis, jarang sekali terdengar bangsawan pribumi apalagi penduduk biasa yang aktif mendekat untuk sekedar menimba “ilmu Eropa”.

Profesi Penerjemah

Alasan ketiga Belanda senang bagi ilmu di Jepang karena orang Jepang yang secara intensif mempelajari bahasa Belanda. Van Otterloo menjelaskan bahwa Keshogunan Tokugawa awalnya tidak ingin orang asing belajar bahasa Jepang karena takut kekuatan dan kelemahan negeri mereka akan diketahui.

Namun, Keshogunan Tokugawa mempertahankan 40 sampai 60 tolken atau tsūji atau penerjemah untuk bekerja di pos dagang VOC di Dejima. Para tsūji ini digaji oleh VOC dan terbagi dalam 3 golongan: oppertolken (penerjemah senior), ondertolken (menengah), dan leerlingtolken (pemula). Profesi ini pun menjadi profesi herediter (turun temurun).

Para penerjemah pemula diajari langsung oleh orang Belanda, tapi kemudian diserahkan kepada oppertolken. Para tsūji bertugas menerjemah secara lisan antara para pedagang Jepang dan Belanda. Jika ada keluhan, pertanyaan, atau permintaan kepada Bugyō (Gubernur) Nagasaki atau para pembesar serta pegawai Jepang lainnya, barulah para tsūji membuat translasi tertulis.

Menurut van Otterloo yang meriset dokumen dan korespondensi mereka, para tolken amat bagus sebagai interpreter lisan, tapi masih sangat canggung dalam gaya tulisan Belanda.

Di awal masa Sakoku, para penerjemah inilah yang menjadi agen transfer wawasan Barat bagi orang-orang Jepang lainnya. Perantara sains Barat lainnya adalah dokter-dokter Belanda yang berdinas di Dejima. Mereka terkadang dimintai bantuannya oleh bangsawan Jepang yang punya keluhan penyakit dan tak bisa disembuhkan tabib pribumi.

Transfer pengetahuan yang lebih intensif lagi terjadi setelah 1720. Kala itu, penguasa Jepang membebaskan impor buku dari Eropa sehingga pengetahuan Barat tersebar makin masif di masyarakat.

Sejumlah intelektual Jepang bahkan pergi ke Dejima untuk belajar bahasa Belanda sekaligus sains Barat langsung dari sejumlah ilmuwan Eropa yang menjadi pegawai VOC. Merekalah yang kemudian turut menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda yang rumit-rumit ke bahasa Jepang.

Dalam Die Politik der Nederlande in ihrem Beziehungen zu Japan (1855), J.C.H. Bley menyebut beberapa orang Belanda yang tinggal bertahun-tahun di Dejima juga aktif menyusun kamus Jepang-Belanda. Di antaranya Hendrik Doeff (1777-1835) yang karyanya kemudian diperkaya oleh Fisscher (1800-1848) dengan tambahan aksara dan pribahasa Jepang.

Sementara itu di Nusantara, polanya berbeda. Para pegawai VOC umumnya memang mempelajari bahasa Melayu sebagai lingua franca dan ada pula sejumlah bumiputra yang mempelajari bahasa Belanda untuk kepentingan bisnis dan politik. Namun, hal ini tidak dilakukan dengan basis reguler seperti di Jepang.

VOC pun tidak ambil pusing untuk membuat literatur atau pengetahuan mereka bisa diakses oleh bumiputra. Bahasa Belanda sendiri baru diajarkan secara teratur kepada bumiputra melalui pendidikan pada paruh akhir abad ke-19.

Infografik Mozaik Transfer Ilmu Sesama Penjajah

Infografik Mozaik Transfer Ilmu Sesama Penjajah. tirto.id/Tino

Pendekatan Arogan VOC di Nusantara

Alasan keempat adalah kontak yang bersifat damai. Belanda tidak ingin mengulangi kesalahan Portugis yang berdagang sekaligus menyebarkan misi Kristen. Maka Belanda memisahkan kedua hal itu.

J.C.H. Bley menyebut bahwa sejumlah negara, di antaranya Inggris, Spanyol, Perancis, Amerika Serikat, dan Rusia, pernah mencoba membujuk Jepang untuk membuka diri. Namun, Jepang hanya berkenan pada Belanda.

Dalam masa jaya hubungan VOC dan Jepang, setidaknya 16 kapal VOC mengunjungi Jepang setiap tahun. VOC memuat emas, perak, serta tembaga dari Jepang dengan nilai lebih dari 5 juta gulden.

Sementara itu dari VOC, orang Jepang umumnya menyukai literatur dan produk teknologi Barat, seperti jam tangan, globe, peta, dan alat-alat medis. Jepang juga memperoleh suplai komoditas Nusantara, seperti aneka rempah, gading, gula, dan aneka binatang serta burung.

Selama dua abad itu, VOC pun tidak membuat insiden yang bisa merusak kontak dan berakhir pengusiran.

Tidak seperti di Jepang, VOC cenderung berani menunjukkan wajah arogan di Nusantara. Banyak kontak antara VOC dan entitas lokal Nusantara yang dibumbui keributan. Bahkan, itu terjadi sejak awal kedatangan Belanda di kepulauan ini.

Saat baru saja mencapai Banten pada 1596, Cornelis de Houtman sudah terlibat konflik dengan penduduk lokal. Begitu pun di Maluku, di mana VOC memaksakan monopoli cengkeh dan pala yang membuat orang-orang Hitu, Tidore, dan Saparua memerangi mereka.

Di Sulawesi, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667 setelah berperang dengan VOC. Ketamakan dan arogansi VOC di pesisir Sumatera Barat pun membuat mereka berkali-kali harus menghadapi perlawanan dari orang-orang Pauh, XIII Kota, dan Inderapura.

Di Kepulauan Nusantara, Kompeni VOC ditakuti dan dibenci di mana-mana. Faktor ini membuat VOC senantiasa waspada dengan penduduk Nusantara. Jadi, wajar jika pertukaran keilmuan antara Belanda dan orang Nusantara sangat minim—setidaknya hingga paruh akhir abad ke-19.

Baca juga artikel terkait JEPANG atau tulisan lainnya dari Novelia Musda

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Novelia Musda
Penulis: Novelia Musda
Editor: Fadrik Aziz Firdausi