tirto.id - Ada trah samurai dalam dirinya, dan Akira Kurosawa memilih menghunus kepekaannya lewat naskah dan kamera.
Berdiri dalam barisan paling depan sutradara masa keemasan sinema Jepang era 1950-an, karyanya mengilhami corak perfilman dunia sampai sekarang. Beberapa sutradara internasional bukan hanya belajar dari Kurosawa, tapi membuat ulang filmnya mentah-mentah.
Kisah dan citra samurai tempaan Kurosawa terus jadi inspirasi, bahkan dicuri. Merasuki para koboi urakan dalam spaghetti western, menjadi deretan jagoan kalem dan protagonis tak kenal ampun yang dibintangi Arnold Schwarzenegger, Tom Cruise, sampai Keanu Reeves. Juga jadi cetak biru sebuah waralaba opera galaksi dengan pedang laser ikonik.
Tanpa Kurosawa, mungkin tak akan ada Star Wars. Ini diaminkan oleh pencipta serialnya, George Lucas, yang tak pernah malu mengungkapkan bahwa Kurosawa memang membantu membentuk lanskap semesta Star Wars. Dalam wawancara tahun 2001 dengan Criterion Collection, ia mengakui The Hidden Fortress (1958) sebagai inspirasinya.
“Saya memutuskan itu akan menjadi cara yang bagus untuk menceritakan kisah Star Wars. Mengambil dua karakter terendah, seperti yang dilakukan Kurosawa, dan menceritakan kisah itu dari sudut pandang mereka, yang dalam kasus Star Wars adalah dua robot droid,” ujar Lucas.
Jika dikuliti lebih lanjut, sangat jelas berbagai referensi ke karya-karya Kurosawa, dari struktur cerita dan karakter. Di balik latar fiksi ilmiahnya, Star Wars hanya film samurai terselubung.
Lucas bersama gerombolan New Hollywood, yakni Martin Scorsese, Francis Ford Coppola, Steven Spielberg sama-sama terpesona oleh karya Kurosawa yang artistik, filosofis, namun dinamis. Dalam pencarian mendobrak dekadensi perfilman Amerika yang terjebak monopoli dan eksploitasi, mereka belajar dari Timur.
“Biarkan aku mengatakannya secara sederhana,” rangkum Scorsese pada tahun 2009, “Kurosawa adalah master bagiku.”
Dari Sanshiro Sugata (1943), sebuah film samurai propaganda Perang Dunia II, sampai pada sinisme dan penebusan aneh dalam Madadayo (1992), setidaknya selusin dari karya Kurosawa dianggap klasik.
“Pengaruhnya pada para pembuat film di seluruh dunia begitu mendalam hingga hampir tak tertandingi,” ungkap Scorsese.
Warisan Samurai
Akira Kurosawa lahir di Tokyo pada 23 Maret 1910. Dari sisi ayahnya, ada garis keluarga samurai yang terlacak hingga abad ke-11 periode Heian. Kurosawa muda diajari sejak awal bahwa ia adalah keturunan samurai.
Namun terlepas dari latar belakang Jepang yang terhormat ini, ayahnya percaya anak-anaknya juga harus terpapar budaya Barat.
Dalam memoarnya Something Like an Autobiography (1981), ia mengingat pengaruh awal ayahnya pada dirinya. Selain mendorong latihan fisik, yang membuat Kurosawa jadi kapten klub kendo di sekolahnya, ayahnya juga terbuka terhadap tradisi Barat. Ia melihat teater serta film punya nilai edukasi. Akibat dorongan ini, Kurosawa muda melihat film pertamanya pada usia enam tahun.
Pengaruh besar lainnya adalah Heigo Kurosawa, kakak laki-laki yang empat tahun lebih tua darinya. Satu insiden spesifik yang Kurosawa ingat terjadi setelah gempa bumi besar Kanto yang menghancurkan Tokyo pada 1923.
Heigo membawa Akira untuk melihat kehancuran, dan dia melarangnya ketika ingin berpaling dari mayat manusia serta bangkai hewan yang berserakan. Heigo malah mendorong untuk menghadapi ketakutan itu secara langsung.
Insiden ini berpengaruh pada karier artistik Kurosawa di kemudian hari: kemampuan untuk menghadapi kebenaran yang tidak menyenangkan.
Melalui Heigo yang merupakan benshi, seorang narator film bisu, Akira juga memperoleh akses mudah ke teater dan melahap tidak hanya film tetapi juga pertunjukan teater dan sirkus, sambil memamerkan lukisannya dan bekerja untuk organisasi sayap kiri Liga Artis Proletar.
Pada tahun 1930, Kurosawa yang berusia 20 tahun dipanggil untuk wajib militer, tetapi berkat seorang dokter tentara yang simpatik, ia dianggap tidak layak secara fisik untuk bertugas.
Ini akan berdampak besar pada kariernya sepuluh tahun kemudian. Karena dinilai tidak layak untuk melayani negara, ia tidak akan direkrut untuk maju di garis depan selama Perang Dunia II. Akhirnya ia bisa tetap berkarier di sinema dan inilah alasan debutnya adalah sebuah film propaganda.
Masa Keemasan Sinema Jepang
Sinema Jepang atau Nihon eiga telah diproduksi sejak 1897, ketika juru kamera asing pertama tiba. Namun, baru pada tahun 1950-an sinema Jepang begitu bergairah, bukan hanya yang terbaik dalam dekade itu, tapi yang terbaik sepanjang masa.
Banyak sejarawan film dengan tepat menyebutnya sebagai “zaman keemasan” sinema Jepang. Akira Kurosawa, Yasujiro Ozu, Kenji Mizoguchi, Kon Ichikawa, dan Mikio Naruse mengangkat sinema ke derajat baru yang imajinatif.
Fenomena yang muncul menyusul kekalahan dalam Perang Dunia II, ketika Jepang dipandang sebagai negara yang hancur, bergulat dengan krisis identitas. Pendudukan AS mereformasi negara itu, sementara warisan Jepang, ideologi, dan adat istiadat tradisional ditekan. Gagasan tentang apa itu menjadi orang Jepang bukan lagi fakta yang pasti, melainkan serangkaian hal-hal yang kabur dan kontroversial.
Di lain sisi, di periode ini terjadi peningkatan keragaman dalam distribusi film berkat peningkatan produksi dan popularitas studio film Toho, Daiei, Shochiku, Nikkatsu, dan Toei.
Dengan komando para sutradara tadi, tercipta sinematografi menakjubkan, akting cemerlang, desain kostum serta produksi yang solid, penulisan cerita yang dirangkai lintas genre, pendekatan gaya yang menawan, dan skor musik film yang mendalam. Era yang ditandai dengan beberapa film yang diakui secara internasional dan dipuji menyaingi Hollywood.
Kurosawa berdiri sebagai salah satu sutradara yang paling berpengaruh. Meski beberapa filmnya membahas isu-isu di Jepang kontemporer, ia terkenal karena jidaigeki atau film periode, yang berpusat di sekitar era Sengoku dan Edo yang biasanya memunculkan sosok samurai.
Dalam film seperti Seven Samurai (1954) dan High and Low (1963), sutradara Akira Kurosawa mengambil bahasa sinematik Hollywood dan memperbaikinya. Ia menciptakan metode visual penceritaan yang kuat, yang akan menjadi buku pedoman gaya buat Scorsese, Lucas, dan Coppola.
Dalam film-film seperti Ikiru (1952), The Bad Sleep Well (1960) dan The Lower Depths (1957), Kurosawa tanpa henti berjuang untuk menemukan cahaya di antara bayang-bayang jiwa manusia. Ia juga menyulap drama Shakespeare soal jerat takdir dan ketidakberdayaan dalam Throne of Blood (1957).
Belum lagi fakta bahwa ia juga yang memunculkan sebuah istilah untuk relativitas kebenaran lewat Rashomon (1950) yang sejak lama menyelinap batas-batas budaya. Urgensi filosofis yang dikombinasikan dengan kecemerlangan visualnya inilah yang memberikan vitalitas pada karya Kurosawa.
“Satu hal yang membedakan Akira Kurosawa adalah dia tidak hanya membuat satu atau dua mahakarya,” kata Coppola saat diwawancarai. "Dia membuat delapan mahakarya."
Kisah Samurai yang Tak Pernah Usai
Kurosawa mengakhiri autobiografinya dengan cerita pembuatan film Rashomon. Ini sangat aneh untuk mengakhiri buku, mengingat semua karyanya masih ada di depannya.
Dia menunjukkan bahwa beberapa peristiwa yang terjadi sesudahnya adalah ketidakbahagiaan, yang ia lebih suka tidak memikirkannya. Merasa sedih, lelah, dan kesulitan finansial, Kurosawa pernah mencoba bunuh diri pada tahun 1971. Namun ia akhirnya pulih dan kembali ke belakang kamera.
Ketertarikan generasi baru pada Kurosawa dan dukungan dari raksasa Hollywood seperti Lucas memberikan kebebasan dan anggaran kepada pembuat film untuk menciptakan Kagemusha (1980) dan Ran (1985), yang keduanya sukses besar baik dari perspektif komersial maupun kritis.
Setelah sukses dengan dua film ini, Kurosawa akhirnya mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang pantas ia dapatkan. Pada tahun 1990, tonggak sejarah lain terjadi ketika ia menerima Academy Award untuk Lifetime Achievement dan dilantik oleh dua penggemar terbesarnya, Lucas dan Spielberg.
Di masa-masa terakhirnya, Kurosawa membuat Rhapsody (1990) dan Madadayo (1993). Pada 1995, ia mengerjakan proyek berikutnya ketika jatuh dan punggungnya retak.
Cedera yang diderita membuatnya harus duduk di kursi roda selama sisa hidupnya dan menyebabkan kesehatannya memburuk dengan cepat. Kurosawa meninggal karena stroke pada 6 September 1998 di Tokyo.
Di Jepang, Kurosawa dianggap terlalu Barat. Untuk mengetes kepopulerannya, silakan kunjungi makamnya dan rivalnya Ozu. Keduanya dimakamkan di Kamakura, sebuah kota tepi laut sekitar satu jam dari Tokyo.
Jika Ozu dimakamkan di dasar sebuah biara, di bawah naungan pohon-pohon raksasa dengan penanda mengesankan dan terus dikunjungi, maka makam Kurosawa kecil dalam plot sederhana. Berbanding terbalik dengan namanya yang selalu diagungkan di Barat.
“Saya berusia 18 tahun ketika saya melihat Seven Samurai karya Akira Kurosawa. Setelah sekitar 30 detik, saya menyadari bahwa ini bukan hanya hal budaya, itu universal,” ujar Tom Cruise.
“Itu berbicara tentang banyak hal yang saya perjuangkan dalam hidup saya sendiri: kesetiaan, kasih sayang, tanggung jawab, gagasan untuk melihat kembali kehidupan Anda dan mengambil tanggung jawab untuk semua yang pernah Anda lakukan,” tambahnya.
Cruise terpesona oleh samurai dan bushido-nya, dan itulah salah satu alasan utama lahirnya The Last Samurai.
Sejak meninggal, pengaruh Kurosawa pada film terus dirasakan melalui interpretasi baru dari karyanya, dan pengaruh abadi yang ia nyalakan pada beberapa lampu paling terang di industri sinema. Dari katana keramat, bedil koboi, sampai pedang laser, para samurai akan terus lahir.
Penulis: Arif Abdurahman
Editor: Irfan Teguh Pribadi