tirto.id - “Apapun yang kuceritakan ke ayahku, dia tidak peduli. Kelihatannya mereka memang tidak peduli sama aku. Mereka sepertinya tidak tahu bahwa sikapnya yang begitu bikin aku sedih.”
Ucapan itu meluncur dengan polos dari bibir seorang gadis kecil berusia sembilan tahun asal Iran, Melina, dalam film dokumenter Grand Me (2024). Ungkapannya mencerminkan luka batin yang dalam, lahir dari perasaan diabaikan oleh orang tuanya sendiri..
Orang tua Melina bercerai saat usianya baru genap enam bulan. Ibunya menikah lagi dan pindah ke Tehran, sementara ayahnya juga memiliki istri baru.
Melina tinggal bersama kakek dan neneknya, Mama Ati dan Baba Ati, di kota budaya Isfahan, sekitar lima jam perjalanan darat dari ibukota Tehran.
Meskipun sering berbicara dengan kedua orang tuanya lewat telepon, ikatan emosionalnya lebih kuat dengan sang ibu. Ia menyimpan harapan besar untuk bisa tinggal bersama wanita yang melahirkannya itu.
Persis saat menginjak usia sembilan tahun, Melina berpartisipasi dalam upacara kedewasaan—taklif—sebuah ritual Islam Syiah yang menandai dimulainya masa pubertas.
Artinya, Melina perlu menanamkan kesadaran diri untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam agama Islam, seperti shalat tepat waktu, berpuasa, dan mengenakan pakaian sopan yang lebih tertutup.
Namun, yang lebih menarik, momen taklif juga memberinya hak hukum untuk mengajukan gugatan hak asuh ke pengadilan. Melina pun melihat ini sebagai kesempatan untuk memperjuangkan keinginannya tinggal bersama ibunya.
Kisah Melina dituturkan dengan jujur dan mengharukan oleh sutradara muda Atiye Zare Arandi (34), yang tak lain adalah tante dari Melina sendiri.
Melalui film ini, Atiye memberi keponakannya ruang untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya sebagai anak yang tumbuh di tengah perceraian orang tua.
Lebih dari sekadar kisah personal, Grand Me juga menggambarkan kompleksitas hubungan keluarga dalam budaya Iran modern.
Dengan pendekatan yang intim dan penuh kelembutan, film ini menyentuh tema-tema universal tentang makna rumah, keluarga, dan perjuangan menemukan tempat terbaik bagi diri sendiri.
Kecintaan Atiye pada Dunia Sinema
Atiye adalah penulis skenario dan sutradara film pendek, dokumenter, dan cerita fiksi. Karyanya pernah ditampilkan di acara bergengsi International Cinema Verité Festival di Tehran.
Grand Me menjadi film fitur panjang pertama Atiye yang terpilih untuk diputar di sejumlah festival internasional, termasuk Alternativa Film Awards and Festival 2024, persembahan dari inDrive. Di festival ini, Grand Me meraih penghargaan Alter Award.
Akhir November tahun lalu, Alternativa memutar 25 nominasi film dari daratan Asia, termasuk lima film yang dibuat oleh sineas Indonesia, di Yogyakarta.
Alternativa diselenggarakan pertama kali di Almaty, Kazakhstan, pada 2023. Festival ini merayakan upaya dari kalangan profesional di industri film yang tengah berkembang dan memfokuskan karya-karyanya pada aspek artistik, sekaligus mampu menginspirasi perubahan sosial pada masyarakat luas.
Dalam sesi wawancara dengan Diajeng Tirto, Atiye menyampaikan bahwa minatnya menulis skenario dan menyutradarai film dipupuk sedari remaja.
“Saya mulai jatuh cinta pada jagat sinema saat mengikuti kelas menulis skenario pada usia 15 tahun. Di kelas itu, saya pertama kali menonton 21 Grams, film yang semakin menarik saya jauh ke dalam pusaran dunia perfilman,” ujar Atiye.
21 Grams (2003) adalah film thriller karya sutradara Meksiko, Alejandro González Iñárritu. Film-filmnya kerap mengungkap kondisi-kondisi menantang dalam kehidupan manusia.
Atiye juga terinspirasi dari karya-karya oleh mendiang sutradara Iran, Abbas Kiarostami (1940–2016), seperti Khane-ye Doust Kodjast? (Where Is the Friend's House?, 1987).
Semasa kanak-kanak, Atiye menggemari film-film dari Marzieh Boroumand (73), sutradara senior Iran terkenal dengan film-film fiksi remaja dan wayang boneka.
“Film-film Boroumand, termasuk Shahr-e Mooshha (The City of Mice, 1986), menjadi bagian penting dari kenangan masa kanak-kanak saya.”
Atiye melanjutkan, “Terlebih dari itu semua, yang paling membantu arah perjalanan film saya adalah kesempatan berpartisipasi di Isfahan International Film Festival for Children and Youth. Pada perhelatan tersebut, kami yang masih remaja tidak hanya diposisikan sebagai juri, melainkan juga mendapatkan pelatihan [tentang produksi film].”
Festival ini berlangsung rutin setiap tahun sejak 1982.
“Kami benar-benar diperlakukan dengan serius dan diperkenalkan dengan dunia perfilman yang memukau. Pengalaman inilah yang memberikan saya pemahaman lebih dalam tentang penyutradaraan,” kenang Atiye.
Mengeksplorasi Relasi Manusia
Sebagai seorang sineas, Atiye memiliki fokus utama dalam karyanya: relasi manusia. Selama 15 tahun berkarya, ia selalu konsisten mengeksplorasi hubungan antarmanusia, terutama perempuan, anak-anak, dan remaja.
“Kelompok ini menghadapi tantangan besar, tetapi juga memiliki keindahan tersendiri,” ujarnya.
Ia meyakini bahwa film adalah alat untuk memahami hubungan dan mencari cara agar manusia bisa saling terhubung dalam menghadapi masalah.
Melalui Grand Me, Atiye menyoroti dilema yang dihadapi anak-anak dari orang tua yang bercerai.
“Inti dari cerita ini adalah pencarian makna rumah,” jelasnya. “Melina melalui perjalanan panjang dan penuh tantangan hingga akhirnya memahami tempat terbaik untuknya.”
Selain itu, film ini juga mengingatkan tentang tanggung jawab orang tua dalam merawat anak setelah perceraian.
“Bercerai memang keputusan yang sah, tetapi orang tua harus memiliki rencana matang untuk masa depan anak-anak mereka,” kata Atiye.
Dalam dokumenter yang proses produksinya mencapai dua tahun ini, Atiye juga ingin menyampaikan pesan tentang tanggung jawab orang tua dalam mengasuh anak.
“Orang tua perlu mempertimbangkan baik-baik perpisahan atau perceraian mereka dan mendiskusikannya dengan terbuka pada anak-anaknya,” imbuh Atiye.
Menantang Stereotip Tentang Iran
Di samping mengutamakan fokus pada relasi manusia, melalui film-filmnya Atiye ingin menyorot pandangannya terkait budaya dan masyarakat di tempatnya lahir dan dibesarkan.
Dari aktivitas sehari-hari Melina di Grand Me, kita dapat menyaksikan bagaimana keseharian yang dijalani keluarga-keluarga kelas menengah di Iran.
“Keluarga sangat penting dalam budaya kami,” kata Atiye. “Meskipun orang tua Melina berpisah, ia tetap dicintai dan dirawat oleh keluarga besarnya.”
Ia menyadari bahwa banyak orang di luar Iran hanya melihat sisi gelap negerinya.
“Di sebuah festival, seseorang bertanya kepada saya, ‘Jadi kalian tinggal di rumah bata? Kalian punya perabot?’” cerita Atiye, mengungkapkan betapa keliru pandangan sebagian orang terhadap Iran.
“Ya, kami menghadapi tekanan sosial dan politik tersendiri, tapi itu bukan satu-satunya dinamika dalam hidup kami. Tidak semua laki-laki Iran patriarki atau misogini. Di rumah-rumah kami, dan di kedalaman relasi sosial kami, selalu ada keseimbangan.”
Stereotip-stereotip itulah yang ingin Atiye luruskan melalui Grand Me.
Meski ayah biologis Melina dan suami baru ibu Melina ‘tidak hadir’ di dalam hidup Melina, masih ada dua figur laki-laki hebat lain yang berkarakter hangat dan dapat menjadi panutan: kakek Melina dan paman Melina.
Salah satu adegan berkesan dalam film menggambarkan aktivitas Melina mengecat kuku Baba Ati dengan kuteks warna-warni.
Selain itu, paman Melina, atau saudara laki-laki Atiye, juga ditampilkan penuh pengertian dan turut membantu menenangkan kebingungan seluruh keluarga tentang situasi Melina.
“Hidup di Iran, sebagaimana di negara-negara lain, merupakan kombinasi dari berbagai tantangan dan keindahan. Melalui film, saya ingin menggambarkan keseimbangannya,” ujar Atiye.
Peran Perempuan dan Masa Depan Perfilman Iran
Atiye percaya bahwa perempuan memiliki peran krusial dalam masa depan Iran, termasuk di dunia perfilman. Ia melihat semakin banyak perempuan yang terlibat dalam industri ini, baik sebagai penulis, sutradara, maupun produser.
“Tidak hanya di ranah perfilman, melainkan di berbagai aspek kehidupan lainnya, saya perhatikan perempuan memiliki peran yang berarti dan berdampak di masyarakat,” kata Atiye.
“Perempuan kerap menjadi agen pendorong perubahan. Sehubungan dengan industri film, kami punya banyak kampus yang menawarkan studi film, dan menariknya, kebanyakan kuliah perfilman ini diikuti oleh perempuan,” kata Atiye penuh semangat, “Ini menunjukkan bahwa perempuan Iran, di balik segala tantangan yang dihadapinya, sudah berprogres dan mampu memimpin menuju masa depan lebih baik untuk diri sendiri dan masyakarat.”
Bekerja di industri yang didominasi laki-laki tidak membuat Atiye gentar.
Bagi Atiye, menjadi perempuan bukanlah penghalang. Ia percaya bahwa kerja keras dan fokus adalah kunci untuk menghadapi tantangan.
“Saya selalu memilih untuk mencari solusi daripada terpaku pada masalah,” katanya.
Dengan semangat optimisme, Atiye yakin bahwa masa depan perfilman Iran akan terus berkembang.
“Sebagai perempuan, kami memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan dan membentuk masa depan yang lebih baik,” pungkas Atiye dengan senyum penuh harapan.
***
Artikel ini sebelumnya diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Atiye Zare Arandi: Chronicling Stories Through Iranian Cinema.
Editor: Dhita Koesno