Menuju konten utama

Jejak Kisah Para Samurai dalam Sinema

Film-film epos soal Samurai dan Katana-nya berhasil mencatatkan film yang mendapat tempat bagi penonton dan kritikus film di dunia. Beberapa soal film samurai menginspirasi film lainnya dan masih layak direkomendasikan untuk ditonton meski sudah lawas.

Jejak Kisah Para Samurai dalam Sinema
Ilustrasi duel samurai

tirto.id - Seorang samurai tidak bertuan datang di kota yang tengah bergejolak karena pertikaian. Dua gangster besar memperebutkan kekuasaan di kota kecil itu, bandar judi pertama ingin mengubah kota itu jadi daerah kekuasaannya, sementara preman yang lain ingin menguasai kota untuk dirinya sendiri. Si samurai tak bernama itu membunuh seseorang, melihat kemampuannya yang demikian memukau, dua pihak preman yang berseteru memperebutkan pengaruhnya.

Si bandar judi menawarkan emas dan perak sementara si preman memberikan uang yang banyak. Namun si samurai tak mau membantu keduanya, alih-alih menuruti keinginan si bandar judi atau ketua preman, ia menjebak mereka untuk saling membunuh dan menikam. Kota itu diselamatkan dari kartel kejahatan. Usai menyelamatkan kota tersebut, si samurai pergi menjauh tanpa mau menerima hadiah pemberian warga. Ini adalah Yojimbo, film karya Akira Kurosawa yang mempengaruhi banyak film koboi Wild West di Amerika Serikat (AS).

Mengapa Yojimbo menjadi film penting? Roger Ebert, kritikus film asal Amerika menyebut bahwa Yojimbo menunjukkan bagaimana kerakusan manusia bekerja dan mengapa ia demikian rapuh. Sebuah kota yang digerogoti penyakit sosial, mandeknya kerja pejabat, butanya hukum, telah melahirkan kota yang tak lagi tersentuh keadilan. Yojimbo, samurai tanpa nama yang diperankan oleh Toshiro Mifune, menjadi inspirasi A Fistful of Dollars (1964), film koboi yang diperankan oleh Clint Eastwood.

Infografik Katana Dalam Sinema

Yojimbo adalah satu dari banyak film samurai yang penting untuk ditonton. Akira Kurosawa, sutradara dari film Yojimbo, membuat banyak film dengan tema samurai yang mengubah lanskap film dunia. Seven Samurai (1954) misalnya, mendapatkan nilai sempurna dari situsweb film Rotten Tomatoes dan dua jempol dari kritikus film Roger Ebert. Film ini juga dipuji oleh Criterion, penyedia jasa layanan tontonan premium, sebagai film samurai epik paling penting sepanjang masa. Ia tidak hanya indah secara visual, namun juga memiliki jalan cerita yang baik.

Seven Samurai atau Shichinin no samurai memiliki tesis sederhana, bagaimana seorang samurai tanpa tuan akan berpihak saat diminta oleh petani melindungi tanah mereka dari segerombolan bandit. Samurai yang memiliki kehormatan tinggi dipaksa melayani kelas sosial yang lebih rendah, tentu ada yang menolak, tapi mereka yang menerima menjaga kepercayaan itu dengan kepala tegak. Film dengan durasi tiga jam ini menghadirkan aktor legendaris Toshiro Mifune dan Takashi Shimura, dua aktor yang kerap dipakai Kurosawa.

Ada banyak film-film Samurai yang diproduksi oleh Kurosawa, beberapa dari mereka mengadopsi jalan cerita dari Shakespeare, tapi bukan hanya Kurosawa yang bisa menghadirkan kisah samurai dengan indah. Sadao Yamanaka yang membuat film berjudul Humanity and Paper Balloons (1937), jika kebanyakan film samurai bertumpu pada aksi saling tikam, tusuk, dan bacok, maka film Yamanaka menekankan pentingnya karakter dan bagaimana mereka dihadapkan dengan pilihan-pilihan manusiawi. Humanity and Paper Balloons akan terasa sangat lambat jika dibandingkan dengan film-film Akira Kurosawa yang bertenaga dan getir.

Dalam peradaban Jepang, samurai merupakan kelas yang memiliki kehormatan paling tinggi. Ia mengabdi dengan totalitas dan absolut pada satu tuan hingga akhir hayat menjemput. Bagi mereka pengabdian adalah jalan tunggal, kehormatan merupakan jalan hidup, sehingga tak jarang mereka rela mengorbankan diri untuk menjaga kehormatan dan nama baik tuannya. Salah satu film lain yang tak kalah penting untuk menggambarkan fenomena ini adalah 47 Ronin (1941) yang disutradarai oleh Kenji Mizoguchi.

Film 47 Ronin berkisah tentang samurai tanpa tuan yang melakukan pemberontakan pada abad ke-18 kepada daimyo yang diduga melakukan penghinaan dan pengkhianatan terhadap tuan mereka. Sebanyak 47 ronin ini lantas membunuh daimyo yang telah merusak nama baik tuannya itu. Setelah nama baik dan kehormatan tuannya dikembalikan, seluruh samurai tanpa tuan di hadapan para penguasa, mereka mengaku bersalah dan melakukan seppuku atau harakiri secaramassal sebagai penghormatan terhadap mendiang tuannya.

Bagi yang menyukai film samurai yang mengeksplorasi pertikaian, konflik, dan adu pedang maka 26 seri film Zatoichi bisa jadi jawaban. Zatoichi yang nyaris selalu diperankan oleh Shintaro Katsu sejak 1962 sampai 1989, menghadirkan kisah samurai buta yang monoton dan nyaris selalu sama. Plotnya adalah Zatoichi datang ke sebuah kota yang punya masalah, ia jatuh cinta dengan perempuan setempat, para penjahat datang untuk membunuhnya, seluruh sindikat bandit dibunuh, ia pergi dan meninggalkan perempuan yang mencintainya. Nyaris selalu demikian.

Tapi film yang mengisahkan tentang samurai tidak melulu menghadirkan laki-laki sebagai tokoh utama. Film Kill Bill (2002) yang dibuat oleh Quentin Tarantino, mengisahkan tentang karakter The Bride yang diperankan oleh Uma Thurman, untuk membalas dendam kepada seseorang bernama Bill, mantan calon suaminya yang telah membunuh janin dalam kandungannya. Namun, Tarantino bukan orang pertama yang mengadopsi cerita semacam ini, ia hanya mereproduksi film cult Jepang berjudul Lady Snowblood (1973).

Lady Snowblood adalah film aksi samurai perempuan 1973 yang disutradarai oleh Toshiya Fujita dan diperankan oleh Meiko Kaji. Film ini berdasarkan manga yang berjudul sama dan mengisahkan karakter bernama Oyuki yang hendak membalas dendam. Oyuki mencari dan membunuh satu per satu orang yang bertanggung jawab atas kematian orang yang disayanginya. Pertarungan dalam Lady Snowblood menjadi sangat ikonik, sehingga karakter Oyuki dihadirkan kembali oleh Tarantino dalam Kill Bill sebagai O Ren Ishii.

Bagi yang suka film Samurai dengan plot twist dan cerita yang unik, maka Rashōmon (1950) perlu menjadi pertimbangan. Film ini menggali tema filosofis tentang pertanyaan “Apakah kebenaran itu?”.

Ia berkisah tentang tiga cerita yang saling bertolak belakang, ketiganya sama-sama benar. Film ini merupakan adaptasi dari cerita pendek karya Ryūnosuke Akutagawa's yang berjudul sama. Ia meraih

Academy Honorary Award pada pegelaran the 24th Academy Awards pada 1952. Ini menggambarkan bahwa film samurai tak hanya menonjolkan pedang katana dan tumpahan darah.

Baca juga artikel terkait FILM JEPANG atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Film
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra