tirto.id - Gold, Gospel, dan Glory adalah tiga hal penting yang membuat armada-armada Eropa datang ke Timur, termasuk ke Nusantara. Mereka mula-mula membuka hubungan dagang dengan para penguasa lokal, sebelum akhirnya memonopoli berbagai komoditas penting.
Mereka selanjutnya membangun kongsi dagang. Belanda mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sementara Inggris membangun East India Company ( EIC ). Selain dua negara itu, Portugis juga beberapa kali hadir di Nusantara dan melakukan monopoli terhadap sejumlah barang utama perdagangan. Dan yang paling terkenal adalah rempah-rempah.
Praktik monopoli itu kerap diwarnai dengan perang perlawanan kerajaan-kerajaan Nusantara terhadap para pedagang Eropa. Namun, di sisi lain, para imperialis--terutama Belanda--juga mendorong permusuhan kian meruncing antara satu kerajaan dengan kerajaan lain, yang kemudian lazim disebut devide et impera alias politik belah bambu.
Kerajaan-kerajaan di Nusantara, umumnya adalah kerajaan-kerajaan kecil, dan tidak semuanya akur. Hal ini kelak dijadikan senjata oleh VOC untuk melakukan monopoli. Mula-mula VOC menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tersebut dan melobi mereka untuk menjauhi para pedagang Eropa selain Belanda. Salah satunya adalah dengan Kerajaan Gowa.
“Kunjungan-kunjungan anggota-anggota kompeni Belanda mulai dilakukan ke Kerajaan Gowa. Mereka selalu berusaha membujuk Raja Gowa untuk tidak lagi menjual berasnya kepada orang-orang Portugis,” tulis Marwati Djuned Pusponegoro dan Nugroho Notosusano dalam Sejarah Nasional Indonesia III (1993:79).
Saat itu, Gowa adalah kerajaan yang berpengaruh dan bersekutu dengan sejumlah kerajaan di sekitar Sulawesi Selatan. Beberapa waktu kemudian, hubungan VOC dan Kerajaan Gowa memanas. Lebih lanjut disebut dalam buku tersebut, “kedua-duanya mempunyai kepentingan yang sama dalam bidang perdagangan.”
Ketika berseteru dengan VOC, Kerajaan Gowa bersekutu dengan Portugis. Pengaruh kerajaan ini kemudian pudar setelah Perjanjian Bongaya (1667). Setelah itu, seorang keturunan raja dari Bone bernama Arung Palakka menjadi orang berpengaruh di Sulawesi Selatan. Leonard Andaya dalam Warisan Arung Palakka (2013:328) mencatat bahwa pada tahun 1680-an “seluruh Sulawesi Selatan telah mengakui kekuasaan kompeni (VOC-Belanda) dan Arung Palakka.” Gowa dan Bone adalah salah satu contoh terpecahnya kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Tak hanya antarkerajaan, dalam satu kerajaan pun terjadi perpecahan yang diperuncing dengan intervensi pihak luar, yakni lagi-lagi VOC. Dalam pelbagai konflik internal kerajaan, VOC kerap mencari sosok raja lain yang mereka dukung untuk menyingkirkan raja yang tengah bertakhta dan berseberangan dengan mereka. Hal ini tak lain untuk memuluskan jalan mereka mencapai kepentingannya.
Sebagai contoh, konflik antara ayah (Sultan Ageng Tirtayasa) dan anak (Sultan Haji) terjadi di Banten. VOC memihak Sultan Haji untuk menyingkirkan ayahnya yang belakangan menjadi Pahlawan Nasional. "Kerja-kerja" VOC ini tidak gratis, para penguasa lokal harus membayarnya, contohnya seperti yang terjadi di Banjar, Kalimantan Selatan, saat VOC membantu Pangeran Nata hingga menjadi raja dengan gelar Sultan Tachmidullah II.
“Kemenangan ini harus dibayar oleh Sultan Tachmidullah II dengan mahal, karena harus memberi konsesi-konsesi yang tercantum dalam kontrak tahun 1787,” tulis M Idwar Saleh dan kawan-kawan dalam Pangeran Antasari (1993).
Senjata Api adalah Kunci
Diandalkannya VOC oleh sejumlah kerajaan lokal yang berseteru, juga oleh sebagian kalangan dalam pelbagai konflik internal dalam satu kerajaan, tak bisa dilepaskan dari kekuatan bersenjata. VOC memiliki tentara yang lebih terlatih dan teknologi yang lebih canggih dibandingkan pasukan kerajaan yang dihadapinya. VOC terutama mempunyai senjata api yang dapat diandalkan untuk memukul musuh-musuhnya.
Oleh beberapa kerajaan di Nusantara, senjata api kemudian mulai digunakan untuk memperkuat armada militernya. Menurut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global, Kerajaan Mataram memproduksi 800 bedil antara tahun 1651-1652, sementara orang-orang Makassar menimbun 2.422 pucuk pada 1615 dan mulai memproduksi pada 1620-an. Mereka diduga dibantu oleh orang-orang Portugis.
Keterlibatan Portugis dalam penggunaan senjata api juga terjadi di Jepang. Hal ini diungkapkan Jared Diamond dalam Guns, Germs & Steel (2016:319). Menurutnya, orang-orang Jepang pertama kali mengebal senjata api yang diperkenalkan oleh Portugis pada tahun 1543, lalu mereka memproduksinya sendiri secara besar-besaran dan pada warsa 1600. Hal ini kemudian membuat Jepang menjadi salah satu negara kuat di dunia.
Sementara bagi kerajaan-kerajaan di Nusantara yang tidak cukup punya senjata api, selain menggunakan pasukan tempurnya, juga biasanya mengerahkan rakyat untuk berperang dengan bersenjatakan tombak atau golok.
Editor: Irfan Teguh