tirto.id - Puncak Restorasi Meiji di Jepang terjadi pada 1868. Proses modernisasi yang dimulai pada akhir dekade 1860-an itu lebih tepat dipandang sebagai sebuah reformasi. Kata “restorasi” digunakan merujuk pada pengembalian kekuasaan-kekuasaan praktikal pengelolaan negara ke tangan kaisar. Hampir satu milenium sebelumnya, kekuasaan itu terdelegasikan ke tangan para tuan tanah dan pemimpin militer tertinggi yang beraksi sebagai pemerintah de facto—sang syogun.
Kebangkitan Jepang dari posisi sebagai negara yang diinjak-injak kekuatan asing ke posisi yang sejajar dengan kekuatan lama Eropa dalam Perang Dunia Pertama (1914–1918), kerap kali dikaitkan dengan keberhasilan Kaisar Meiji (1852–1912) dan restorasinya pada tahun 1868.
Bagi masyarakat Jepang masa kini dan banyak sejarawan asing maupun dalam negeri Jepang, Kaisar Meiji dipandang sebagai sumber inspirasi yang membawa Jepang ke zaman modern.
Namun, sebuah pertanyaan mendasar menyeruak, dilontarkan oleh penulis biografi Kaisar Meiji, Donald Keene, dalam Emperor of Japan: Meiji and His World, 1852–1912 (2002): bagaimana sang kaisar remaja—saat restorasi baru berusia 15 menuju 16 tahun—dapat memengaruhi jalannya revolusi paling penting dalam sejarah Jepang itu?
Kapal Hitam Pembuka Isolasi
Ide dan proses modernisasi Jepang tidak dimulai pada masa hidup atau masa kekuasaan Kaisar Meiji. Permasalahan keterbelakangan Jepang berakar sejak kontestasi politik-militer di antara kekaisaran dan para tuan tanah daerah. Hingga abad ke-7, seperti struktur sosial feodal tradisional lainnya di Asia Timur, kelas masyarakat terbagi secara sederhana dalam tiga kategori: keluarga kekaisaran, bangsawan atau tuan tanah, dan rakyat biasa.
Namun, berawal dari Reformasi Taika (645–646) yang dikeluarkan oleh Kaisar Tenji (bertakhta 661–672)—saat itu masih menjadi pangeran—setelah konflik dengan Dinasti Tang di Tiongkok dan Kerajaan Silla di Korea, bangsawan atau tuan-tuan tanah di bawah kaisar kemudian mengembangkan sifat militeristik gaya Dinasti Tang dan memiliki pasukan masing-masing. Pasukan di bawah tuan tanah ini kemudian membentuk satu kelas sosial tersendiri dalam masyarakat Jepang, yaitu kelas samurai.
Sepanjang milenium, tuan-tuan tanah penguasa daerah saling berperang menggunakan samurai-samurai yang loyal kepada mereka. Pada awal abad ke-11, konflik-konflik tersebut menjadi masif dan menuntut pengorganisasian para samurai. Pada titik itu, terbentuklah daimyo-daimyo—amalgamasi dari konsep tuan tanah dan pemimpin militer yang secara sederhana berlaku sebagai gubernur-gubernur daerah Jepang sekaligus pemimpin samurai. Tidak lama kemudian, daimyo-daimyo itu menguat dan menggerogoti kekuatan kekaisaran sehingga Kyoto—ibu kota kekaisaran—tidak lagi dapat mengontrol mereka secara efektif.
Setelah meledak Perang Genpei pada 1180 sampai 1185, kaisar akhirnya mendelegasikan pengaturan negara kepada seorang syogun—pemimpin daimyo yang dinilai memiliki kekuatan militer yang terkuat. Sejak itu, seperti disebut oleh George Sansom dalam A History of Japan to 1334 (1958), Kaisar Jepang hanya berlaku sebagai simbol seremonial yang tidak memiliki suara dalam pengaturan negara.
Peristiwa itu kemudian memulai abad-abad pemerintahan syogun dalam sejarah Jepang. Masa kesyogunan tidak indentik dengan masa isolasi Jepang. Sekitar lima abad hingga awal masa Kesyogunan Tokugawa (berkuasa 1603–1868), pelaut Jepang banyak mengunjungi Asia dan belahan dunia lain—bahkan menjadi bajak laut. Komunitas Jepang juga tersebar di banyak wilayah luar Jepang. Namun, situasi ini berubah ketika ekspedisi imperialis awal Spanyol dan Portugal mencapai Jepang dan mulai menyebarkan ide-ide Kristen.
Kesyogunan Tokugawa melihat ini sebagai bahaya yang dapat menimbulkan reformasi di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, sejak 1633 kesyogunan mengeluarkan rangkaian kebijakan yang memulai masa isolasionis—masa Sakoku (1633–1853)—yang melarang kedatangan bangsa asing ke Jepang dan keluarnya rakyat biasa Jepang dari kepulauan itu. Seluruh perdagangan dengan bangsa asing—Tiongkok dan Belanda—dipusatkan pada satu pintu melalui Pulau Dejima.
Perdagangan terbatas dengan negara-negara tetangga—Korea, orang Ainu, dan lainnya—masih dilakukan, namun menempati pos-pos khusus yang umumnya hanya satu pintu atau satu titik. Bertahannya Jepang selama dua ratusan tahun dalam kebijakan seperti inilah yang membuat Jepang tidak melihat perubahan dunia.
Melalui rangkaian revolusi kembar politik-ekonomi—Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Prancis—Dunia Atlantik telah berubah seratus delapan puluh derajat. Menurut Peter Carey dalam Racial Difference and the Colonial Wars of 19th Century Southeast Asia (2021), akselerasi hebat peradaban Atlantik dalam bidang teknologi dan politik itu bahkan membuat persepsi mereka terhadap bangsa lain berubah drastis, dari yang semula dipandang sekadar “bangsa lain” menjadi “bangsa lebih rendah yang harus diadabkan”.
Jepang melewatkan semua perubahan ini hingga kedatangan Komodor Matthew Calbraith Perry (1794–1858) pada 1853. Misi Perry dari presiden saat itu cukup jelas: membuka Jepang bagi perdagangan Amerika Serikat, “kalau perlu dengan diplomasi kapal perang (dengan paksa)”. Ini dilaksanakan dengan baik dan ancaman Perry menggoyahkan Kesyogunan Tokugawa. Armada Perry dicatat dalam kronik dan lukisan Jepang sebagai “kapal-kapal hitam”, warna yang mengacu pada iblis dalam kebudayaan Jepang.
Singkatnya, melalui Konvensi Kanagawa (31 Maret 1854) antara Perry dan pihak kesyogunan, Amerika Serikat diperbolehkan berdagang di Hokodate dan Shimoda. Rangkaian perjanjian seperti ini juga kemudian dituntut oleh berbagai kekuatan asing seperti Inggris, Belanda, dan Rusia pada 1858. Perjanjian-perjanjian memalukan tadi menimbulkan efek yang berat bagi Kesyogunan Tokugawa—serupa dengan efek yang ditimbulkan Perjanjian-perjanjian Tidak Setara usai Perang Candu (1839–1842) kepada pemerintahan Dinasti Qing di Tiongkok.
Ketidakpuasan muncul di mana-mana, terutama di kalangan daimyo-daimyo penguasa daerah yang sama-sama memiliki kekuatan militer seperti syogun. Dua wilayah yang prominen dalam penentangannya adalah Domain Choshu dan Domain Satsuma. Para penguasa kedua wilayah yang juga merupakan lawan politik Kesyogunan Tokugawa akhirnya menemukan sekutu ampuh di tempat yang tak terduga, Kyoto. Kaisar Komei (1831–1867) rupanya berbagi perasaan yang sama dengan para pemimpin daerah itu—membenci pihak asing yang datang ke Jepang dengan unjuk kekuatan.
Para pemimpin Domain Choshu dan Satsuma memandang berpihaknya kaisar sebagai alasan paling tepat untuk menggempur Kesyogunan Tokugawa. Sepanjang tahun 1850 hingga 1860-an, militer Choshu dan Satsuma mengadakan kampanye untuk menyerang Tokugawa. Di sisi lain, Kesyogunan Tokugawa berada pada situasi yang rentan akibat pergantian beruntun syogun akibat kematian, Tokugawa Ieyoshi meninggal pada 1853, Iesada pada 1858, dan Iemochi pada 1866.
Perlawanan yang dilakukan oleh militer Choshu dan Satsuma tidak saja menyasar kesyogunan, tetapi juga orang-orang dan kekuatan asing di Jepang. Pada tahun 1864, penguasa Choshu berhadapan dengan Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Belanda dalam perebutan Shimonoseki. Dalam periode ini, pertumpahan darah terjadi antara kekaisaran bersama dengan Choshu, Satsuma, dan beberapa domain lain melawan kesyogunan dan pengaruh negeri asing.
Peran Penting Meiji
Di sisi lain, Jepang melakukan langkah cukup unik. Kebijakan kesyogunan yang anti-asing dan akhirnya menimbulkan ketertinggalan teknologi, disadari benar oleh para penguasa Choshu dan Satsuma. Meskipun semangat mengusir pengaruh asing, mereka merasa perlu mengirim murid-murid untuk belajar ke negeri asing.
Kesyogunan di bawah Iemochi (menjabat 1858–1866) dan Yoshinobu (menjabat 1866–1868) juga sebenarnya merasakan kebutuhan ini. Namun, seperti disebut oleh Alistair Swale dalam The Meiji Restoration: Monarchism, Mass Communication and Conservative Revolution (2009), Choshu dan Satsuma memiliki keunggulan karena posisinya menguasai Nagasaki—kota pelabuhan penting pada masa itu, dan jalur laut menuju Kepulauan Ryukyu. Dengan demikian, wilayah Choshu dan Satsuma dapat mengirim murid-murid terbaiknya ke Inggris dan Amerika Serikat untuk mempersiapkan modernisasi. Langkah strategis ini tidak dapat dilakukan oleh kesyogunan.
Ketika para pendukung kaisar dapat menekan kesyogunan pada tahun 1867, Kaisar Komei (ayah Meiji) meninggal dunia pada usia muda. Pangeran remaja Mutsuhito yang hingga saat itu hanya belajar pendidikan klasik Konfusianisme, naik ke takhta dengan gelar Kaisar Meiji. Tidak sampai satu tahun setelah naik takhta, dan dalam penuturan Keene (2002), sama sekali belum mengenyam pendidikan politik—para bangsawan penguasa daerah yang kini berada di dalam lingkungan kekaisaran memaksa Syogun Tokugawa Yoshinobu mengembalikan mandat pemerintahan ke tangan kaisar.
Tahun 1868 inilah yang dijadikan tonggak peristiwa restorasi kekuasaan riil dan praktikal pemerintahan ke tangan Kaisar Meiji. Melihat riwayat panjang menuju restorasi tersebut, pihak yang berperan paling menentukan dalam restorasi justru bukan sang kaisar remaja, melainkan para bangsawan dari Choshu dan Satsuma, terutama tiga bangsawan restorasi: Okubo Toshimichi dari Satsuma, Saigo Takamori dari Satsuma, dan Kido Takayoshi dari Choshu, yang nantinya membentuk Kabinet Meiji dan menjadi oligarki yang menggantikan kekuasaan Kesyogunan Tokugawa. Kabinet kekaisaran inilah--yang sebelumnya telah mengirim murid-murid terbaik ke luar negeri--yang akan memulai modernisasi Jepang dalam segala bidang.
Namun, apakah Kaisar Meiji sekadar kaisar boneka atau kaisar lemah yang digerakkan oleh oligarki di sekitarnya? Kaisar memang bukan aktor intelektual dari Restorasi Meiji seperti yang tersurat dalam gambaran sejarah pada umumnya. Sekalipun demikian, Kaisar Meiji juga bukan penguasa boneka. Keene (2002) melihat bahwa Kaisar Meiji yang masih remaja (pada 1870-an) berperan penting dalam mencegah Saigo Takamori untuk menyerang Korea. Selain itu, Perjalanan tur ekstensifnya ke seluruh penjuru Jepang, dengan efek yang mirip seperti blusukan pada zaman sekarang, memicu loyalitas di kalangan rakyat jelata pada kekaisaran yang baru mendapat kekuasaannya kembali.
Posisi Kaisar Meiji dalam restorasi yang menyandang namanya dan rangkaian upaya modernisasi setelahnya sangat vital. Bila pada saat itu Kaisar Komei yang kebencian pada orang dan kebudayaan asingnya mendarah daging tidak mangkat pada usia muda dan digantikan oleh putranya, pekerjaan para bangsawan Choshu dan Satsuma untuk membarukan Jepang akan jadi sangat berat.
Dengan demikian, meskipun bukan sebagai aktor intelektual Restorasi Meiji, Kaisar Meiji tetap merupakan figur penting yang membuka jalan modernisasi Jepang, sebuah proses pembaruan unik yang mempertahankan fitur konservatisme budaya dan penguatan loyalitas yang ekstrem pada figur kaisar. Hingga sesudah kematiannya pada 30 Juli 1912, tepat hari ini 109 tahun lalu, kaisar penulis ribuan puisi itu dipandang rakyat Jepang sebagai simbol awalan dan kebanggaan atas kemajuan yang telah dicapai Jepang hari ini.
Editor: Irfan Teguh