Menuju konten utama

Meneliti Emas & Mineral di Pedalaman Minangkabau Abad ke-19

Meski tak signifikan hasilnya, Belanda tetap melakukan eksplorasi untuk mencari emas di Sumatra Barat. Kejayaan emas pudar di awal abad ke-20.

Meneliti Emas & Mineral di Pedalaman Minangkabau Abad ke-19
Header Mozaik Riwayat Emas Sumatera Barat. tirto.id/Quita

tirto.id - Artikel ini adalah bagian terakhir dari 2 serial. Artikel sebelumnya dapat dibaca di sini.

Di antara orang-orang Eropa, Thomas Stamford Raffles merupakan yang pertama sampai ke pusat pedalaman Minangkabau pada Juli 1818. Dalam Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles (1830) yang dihimpun oleh Lady Sophia Raffles, terdapat catatan Raffles tentang penjelajahannya itu.

Dia menulis bahwa dari Simawang ke Pagaruyung, dia melewati beberapa bukit yang disebut-sebut mengandung emas. Dia juga mendapati banyak tambang terbuka di sana. Menurutnya, penggalian kaum pribumi cukup ekstensif sehingga, “Memberikan kami kesempatan berharga mengamati secara langsung strata geologi serta fenomena-fenomena lain yang menarik bagi seorang geolog.

Raffles juga menyampaikan kelirunya julukan Negeri Emas untuk kawasan XIII Kota. Pasalnya, emas sesungguhnya datang dari tambang nun jauh di selatan di sekitar Sungai Pagu dan Sungai Abu. Namun, dia membenarkan bahwa kebanyakan emas dari sana dibawa lewat XIII Kota.

Petinggi Inggris yang juga memiliki minat pada sains itu pun sempat mengunjungi tambang di Saruaso yang menghasilkan banyak emas. Menariknya, negeri ini terletak di pinggiran sungai yang disebut Sungai Ameh (Sungai Emas).

Natuurkundige Commissie

Setelah Sumatra Barat diserahkan oleh Inggris pada Belanda, kaum adat kemudian meminta intervensi Belanda menghadapi kaum Paderi. Maka dimulailah serangkaian perang yang cukup menyibukkan selama 1819 hingga sekira 1837.

Di masa ini, tidak banyak cerita tentang penambangan dan produksi emas di Minangkabau. Namun, kurun itu tetap diisi dengan beberapa misi ilmiah untuk mengkaji potensi mineral berharga di Sumatra Barat. Misi itu diinisiasi oleh Natuurkundige Commissie voor Nederlandsch-Indië (Komisi Ilmu Pengetahuan Alam untuk Hindia Belanda).

Natuurkundige Commissie mengirim beberapa anggotanya, seperti Salomon Müller, Korthals, van Oort, dan Horner, di rentang 1833-1838.

Salomon Müller menjadikan emas sebagai bahasan tersendiri dalam karyanya Reizen en Onderzoekingen in Sumatra (1855). Müller mensurvei sejumlah lokasi, mulai dari Salido hingga bagian utara Sumatra Barat. Dulu, banyak pencari emas bumiputra di daerah itu. Karena Perang Paderi, banyak di antara mereka yang kemudian berhenti mendulang.

Müller mengatakan bahwa lereng barat bukit Pomaton-sigeh di dekat Rao Pasaman kaya akan emas. Begitu juga sungai dekat Oeloe Poenkoet dan sekitar Kota Nopan ada potensi jutaan gulden yang bisa diperoleh dari emas.

Dari informasi yang diperoleh Müller, banyak penambang di sana berasal dari Agam dan beberapa pemimpin Paderi, seperti Tuanku Imam Bonjol, menerima upeti sepuluh tail emas per tahun. Spesialisasi daerah Agam dalam emas juga disampaikan oleh Müller, bahwa semua perajin emas yang ada di Padang berasal dari sana.

Riset Verbeek

Selepas Perang Paderi, Belanda tak lagi melihat Sumatra Barat sebagai penghasil emas. Kini, Belanda lebih tergiur pada komoditas lain, seperti kopi dan hasil-hasil hutan serta pertanian lainnya. Meski begitu, Belanda toh tidak berhenti mengulik isi bumi Minangkabau begitu saja.

Secara berkala, otoritas Belanda menurunkan sejumlah ilmuwannya untuk meneliti potensi perut bumi Sumatra Barat. Belanda misalnya mengutus Huguenin pada 1852 dan de Greeve pada 1867 dengan misi utama memetakan potensi bijih tembaga—dan syukur kalau ada emas. Namun, justru potensi batu bara ratusan juta ton di Sawahlunto yang ditemukan.

Penelitian yang cukup signifikan tentang potensi emas di paro kedua abad ke-19 dilakukan oleh geolog R.D. Verbeek. Dalam laporan ilmiahnya Topographische en geologische beschrijving van een gedeelte van Sumatra's Westkust (1883), Verbeek menyebut bahwa kandungan emas di wilayah itu umumnya tersimpan dalam batu-batu kuarsa.

Dalam batu-batu kuarsa itu, emas tersimpan pada urat bebatuan dalam bentuk butiran-butiran halus. Emas dalam massa besar sangat jarang ada. Pun emas itu tersimpan pada lapisan bebatuan tua serta endapan sedimenter, batu pasir kala Eosen, diluvium serta deposit alluvial.

Karena kikisan hujan begitu lama, terkadang butiran itu terbawa ke sungai-sungai. Dari sejumlah tambang aktif serta bekas tambang emas yang disurveinya, sang geolog beroleh kesimpulan bahwa tidak tertinggal lagi potensi emas yang betul-betul signifikan untuk ditambang oleh Pemerintah Belanda.

Infografik Mozaik Riwayat Emas Sumatera Barat

Infografik Mozaik Riwayat Emas Sumatera Barat. tirto.id/Quita

Berakhir di Salido

Maka Verbeek merekomendasikan agar biarkan saja para pribumi yang aktif mencari emas. Pasalnya, Belanda toh tak akan mendapat hasil luar biasa seperti dulu kala. Keuntungannya pun ala kadarnya.

Namun, Verbeek membuat pengecualian untuk Salido. Hal itu telah disebutnya dalam monografi De Zilver en Goudmijnen van Salida op Sumatra’s Westkust yang terbit tiga tahun sebelumnya.

Berbekal data arsip dan laporan masa VOC serta laporan insinyur tambang J. Munday bertarikh 1879, Verbeek yakin masih banyak cadangan emas di Salido. Dia juga berargumen bahwa metode penambangan yang selama ini diterapkan di sana tidak efisien dan kurang perhitungan. Itulah alasan mengapa Tambang Salido tidak bisa mencapai sukses besar.

Berdasarkan analisis Verbeek, penambangan di Salido mestinya dilakukan dengan membuat sumur-sumur tambang (mijnputten) vertikal, bukan dengan saluran horisontal seperti yang dilakukan sebelumnya. Sebab, kawasan Salido dari sudut pandang geologis sejenis dengan kawasan deposit perak (zilver-ader) Amerika Selatan dan deposit comstock di Nevada yang sama-sama memiliki ketebalan luar biasa.

Dalam monografi Eenige Beschouwingen over Goud en Aanwezigheid daarvan op Sumatra’s Westkust (1877), Verbeek lagi-lagi mengatakan bahwa kontur geologis Sumatera Barat sangat mirip dengan bagian Tenggara Australia yang kaya emas.

Di sana, emas dan perak tidak tersebar merata pada batu kuarsa, melainkan terhimpun dalam massa-massa berbentuk lentikular (lensvormige) yang disebut bonanza. Setelah menembus bonanza itu, barulah emas dan perak diperoleh melimpah. Fenomena yang sama dikatakannya ada pada Tambang Salido.

Karena teknologi pertambangan sudah jauh lebih maju, pengeboran bisa dilakukan lebih efektif dengan mesin uap. Keberadaan sungai besar di dekat lokasi juga memudahkan separasi serta reduksi bijih-bijih mineral yang potensial. Distribusi ke pelabuhan pun mudah karena hanya berjarak beberapa kilometer dari sana.

Baik Munday maupun Verbeek sama-sama yakin Salido akan sukses besar jika ditambang dengan perhitungan yang lebih matang. Saran mereka baru ditanggapi bertahun-tahun kemudian. Bukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, melainkan oleh pihak swasta di Belanda.

Namun sayangnya, entah mengapa Tambang Salido justru terus merugi, meski beberapa kali ganti manajemen. Tambang Salido kemudian ditutup total pada 1928. Salido baru mendapat perhatian lagi beberapa tahun belakangan ini dengan adanya perusahaan yang melakukan penambangan emas di sana.

Demikianlah kejayaan emas Sumatera Barat hanya tinggal nama. Saat ini, penambangan emas oleh masyarakat memang masih berlangsung di sekitar Sijunjung, Dharmasraya, Pasaman, Pasaman Barat, Solok Selatan, dan Sawahlunto. Namun kebanyakan adalah penambang ilegal dan beberapa dengan pemain bermodal besar.

Hasilnya, tidak sedikit masalah lingkungan yang ditimbulkan akibat limbah merkuri maupun rusaknya kontur sungai dan lahan. Yang patut kita pertanyakan adalah: apakah keuntungannya sebanding dengan dampak lingkungan jangka panjang yang ditimbulkannya?

Baca juga artikel terkait EMAS atau tulisan lainnya dari Novelia Musda

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Novelia Musda
Penulis: Novelia Musda
Editor: Fadrik Aziz Firdausi