Menuju konten utama
6 November 1864

Akhir Derita Tuanku Imam Bonjol di Tanah Pembuangan

Beberapa tahun sebelum meninggal, Imam Bonjol diasingkan oleh pemerintah kolonial. Ia merasakan pembuangan di umur yang sudah 70.

Akhir Derita Tuanku Imam Bonjol di Tanah Pembuangan
Tuanku Imam Bonjol. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Demi menggebuk perlawanan Tuanku Imam Bonjol yang dianggap terpengaruh Wahabi di Sumatra Barat, ribuan aparat militer kolonial pun dikerahkan ke sana. Tak terkecuali Letnan Kolonel Andries Victor Michiels. Veteran Waterloo ini lalu mengambil alih komando tentara Belanda di Sumatra Barat dari Letnan Kolonel Cleerens.

Setelah Michiels memimpin tentara, seperti ditulis Elizabeth Graves dalam Asal Usul Elite Minangkabau Modern (2007), “[Michiels] memutuskan sendiri untuk meneruskan perang dan menjelang Agustus 1837 memuncak sampai pendudukan Benteng Paderi yang terakhir, yaitu Bonjol.”

Menurut Dawis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki dalam Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan (1951), militer Belanda memimpin pengepungan benteng Bonjol. Meski sempat lolos dalam sebuah pengepungan, Imam Bonjol akhirnya tertawan pada 28 Oktober 1837.

Setelah diringkus militer kolonial, Tuanku Imam Bonjol dibawa sejauh mungkin dari Sumatra Barat. Setelah ditempatkan di Cianjur, sempat juga dirinya dipindah ke Ambon. Sebelum akhirnya pada 1841 dibuang ke Keresidenan Manado. Tepatnya di daerah yang kini disebut Minahasa. Dia tiba pada pertengahan tahun. Bersama anak-anaknya: Sutan Saidi, Abdul Wahid dan Baginda Tan Labi.

Seperti dikisahkan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol (2004: 157) yang aslinya ditulis Naali Sutan Chaniago dan dialihbahasakan oleh Sjafnir Aboe Nain, sebelum bertolak ke Manado, seorang Kapitan Melayu di Ambon memberi keterangan kepada pengikut Imam Bonjol soal Manado yang bukan negeri Islam dan banyak babi berkeliaran di sana. Pesan si kapitan: jika bisa, jangan mau pergi ke Manado. Namun pemerintah kolonial lah yang punya kuasa soal ke mana Imam Bonjol harus dibuang.

Kapal yang ditumpangi Imam Bonjol menuju tanah pembuangan singgah di Ambon dan sempat merapat di Kema, Minahasa bagian selatan. Setelahnya berlayar lagi ke bagian utara, yaitu kota Manado, yang merupakan pusat Karesidenan Manado. Di Minahasa ini, sudah dibuang pula Kiai Modjo beserta pengikutnya di pinggir Danau Tondano.

“Tuanku Imam tidak ditempatkan bersama dengan rombongan Kiai Modjo di Tondano dikarenakan alasan bahwa akan sangat berbahaya jika kedua tokoh tersebut ditempatkan di lokasi yang sama,” tulis Roger Kembuan dalam tesisnya, Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano 1830-1908 (2015: 136-137). Pemerintah kolonial tentu berusaha membuat dua tokoh perlawanan kelas berat itu tidak berada dalam satu tempat.

Setelah beberapa waktu di Manado, maka ditempatkanlah Imam Bonjol di luar kota Manado. Awalnya, Imam Bonjol dan pengikutnya ditempatkan di Desa Kombi, yang kini termasuk Kabupaten Minahasa, dekat dengan Danau Tondano. Untuk bisa mencapai desa itu, seperti dicatat Roger Kembuan (hlm. 125), Imam Bonjol dan anak-anaknya harus berjalan kaki tiga hari untuk mencapai Desa Kombi dari kota Manado. Tak semua jalan di Sulawesi Utara pada 1840-an bisa dilalui kereta yang ditarik sapi atau kuda.

Dari kota pelabuhan Manado, tempat pembuangan sementara di Desa Kombi lebih jauh ke arah selatan ketimbang tempat pembuangan Kiai Modjo. Sekitar 50 km dari kota Manado. Kemudian Imam Bonjol pindah di desa Lotta, Pineleng. Menurut Naskah Tuanku Imam Bonjol (hlm. 161-162), selama di pembuangan Imam Bonjol sempat membeli tanah untuk penghidupannya. Imam Bonjol merasa tidak nyaman beribadah di sekitar Kombi. Kemudian Imam Bonjol minta pindah dan akhirnya beli tanah di Pineleng.

Jarak Pineleng dengan kota Manado sekitar 15 km. Sementara pembungan Kiai Modjo—yang kini disebut Desa Jawa Tondano—jaraknya 30 km dari Manado. Di masa pembungan Imam Bonjol dan Kiai Modjo, daerah Minahasa masih didominasi budaya Alifuru. Sebelum Kristen masuk dan kemudian dominan, agama lokal Alifuru merupakan agama terpenting. Islam yang dibawa Kiai Modjo hanya berjaya di desa Jawa Tondano. Bagi pemerintah kolonial, Minahasa pun jadi tempat pembuangan sempurna untuk ulama yang bersikap keras kepada pemerintah kolonial.

Di sekitar tempat pembungan Imam Bonjol dan Kiai Modjo, terdapat veteran perang Jawa yang merupakan laskar-laskar Pasukan Tulunganpimpinan Mayor Tololiu Dotulong dan Kapiten Benjamin Thomas Sigar. Pemerintah kolonial berusaha menjadi kawan baik bagi masyarakat setempat. Jadi sulit bagi Imam Bonjol dan Kiai Mojo memimpin perlawanan lagi di sana.

Infografik Mozaik Tuanku Imam Bonjol

Infografik Mozaik Tuanku Imam Bonjol. tirto.id/Nauval

Mengislamkan Kopral KNIL

Imam Bonjol harus hidup jauh dari pengikutnya. Di tempat baru, Imam Bonjol tak punya pengikut seperti di Sumatra Barat. Namun, di dekade-dekade terakhir hidupnya, Imam Bonjol pun hidup dengan orang-orang yang berbeda kepercayaan padanya. Kisah sukses Imam Bonjol terkait islamisasi adalah jadi mualafnya seorang kopral KNIL.

“Sekitar tahun 1850, seorang kopral tentara (KNIL) Belanda bernama Apolos Minggu ditugaskan di Lotta,” tulis Sjafnir Abu Nain dalam Tuanku Imam Bonjol: Suatu Studi Sejarah Intelektual Islam di Sumatera Barat 1784-1832 (1988: 83).

Kopral ini dekat dengan orang penting di sekitar, seperti kepala distrik Mayor Parengkuan. Menurut catatan Sjafnir, sang kopral kawin dengan putri Mayor Parengkuan bernama Wihelmina Parengkuan. Dengan Imam Bonjol, Kopral Apolos Minggu pun juga akrab.

Pemerintah kolonial bukan tidak mungkin menugasinya memantau “keamanan” Imam Bonjol. Sebagai aparat kolonial, Apolos Minggu tidak memosisikan Imam Bonjol dan keluarganya seperti tawanan. Sjafnir Abu Nain menyebut, “hubungannya menjadi akrab dengan Tuanku Imam seperti hubungan seorang ayah dengan anak.” Sehingga, masih menurut Sjafnir Abu Nain, sampai sekarang keturunan Apolos Minggu mengaku bahwa mereka adalah keluarga Tuanku Imam Bonjol. Apolos Minggu bahkan dianggap pengawal setia Imam Bonjol dalam perjuangan.

Pembuangan di Minahasa tentu memberikan kesengsaraan tersendiri kepada Imam Bonjol. Ia harus berjalan kaki beberapa hari dari Manado ke Kombi. Lalu berjalan kaki lagi ke Lotta. Usia Imam Bonjol ketika mengalami pembuangan itu sekitar 70.

Selain itu, suasana Sulawesi Utara yang tidak seperti Sumatra Barat, tentu bisa membuat Imam Bonjol makin merasa terasing. Imam Bonjol hidup di Lotta lebih dari 10 tahun hingga ia wafat pada 6 November 1864, tepat hari ini 155 tahun lalu. Makamnya berada tidak jauh dari Jalan Poros Manado-Tomohon.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan