Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Hubert de Stuers, Komandan Belanda Pengagum Imam Bonjol

Sebelum ditunjuk sebagai Komandan KNIL, Hubert de Stuers pernah menjadi Residen Padang dan menjalin perdamaian dengan Tuanku Imam Bonjol. Secara pribadi, ia mengagumi pemimpin Perang Padri itu.

Hubert de Stuers, Komandan Belanda Pengagum Imam Bonjol
Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Di balik tugasnya sebagai seorang perwira Belanda yang harus selalu menuruti perintah, termasuk menghadapi perlawanan di negeri jajahan, Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers (selanjutnya ditulis Hubert de Stuers) ternyata menyimpan kekaguman terhadap Tuanku Imam Bonjol, pemimpin rakyat Minangkabau dalam Perang Padri (1803-1838).

Bentuk kekaguman dan penghormatan tersebut ia wujudkan dalam sketsa atau lukisan. Ia melukis sketsa Tuanku Imam Bonjol, sosok yang dikenalnya lebih dalam selama bertugas di Minangkabau sebagai Residen Padang (1824-1829).

Selama menjabat sebagai Residen Padang, Hubert de Stuers sebenarnya sudah bisa menjalin perdamaian dengan Kaum Padri pimpinan Imam Bonjol agar pertikaian tidak berlarut-larut. Namun, upaya tersebut pada akhirnya kandas lantaran dilanggar pihak Belanda sendiri.

Kiprah de Stuers Bersaudara

Lahir di Roermond, Belanda, pada 16 November 1788, Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers sempat menjadi sukarelawan pasukan Perancis sebelum berlayar ke Hindia Belanda pada 1817. Di tanah jajahan itu, ia bergabung dengan angkatan perang pemerintah kolonial.

Selain Hubert, sebenarnya masih ada penyandang marga de Stuers lainnya yang juga menapaki jalan karier yang nyaris serupa, yakni Francois Vincent Henri Antoine de Stuers. Francois adalah adik kandung Hubert.

Sama seperti abangnya, Francois juga memulai pengalaman militernya sebagai volunteer angkatan perang Perancis. Kala itu, negeri Belanda memang berada di bawah kendali Napoleon Bonaparte. Pada 1820, Francois meminta agar dikirim ke Hindia Belanda, menyusul sang kakak.

Namun, Hubert dan Francois nyaris tidak pernah bersama dalam bertugas di Hindia Belanda. Karier militer mereka berjalan masing-masing. Saat Hubert dinas di Maluku pada 1821, misalnya, Francois justru ikut ekspedisi militer ke Sumatera Selatan bersama pasukan Belanda pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Tujuannya adalah untuk menaklukkan Kesultanan Palembang.

Francois kemudian menikahi putri Jenderal de Kock dan menjadi orang kepercayaan mertuanya itu. Ia juga ikut terlibat dalam Perang Jawa menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya pada 1825-1830.

De Kock pernah tiga kali menjabat Komandan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger), Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang anggotanya banyak diambil dari pemuda pribumi, masing-masing pada 1819-1822, 1828, dan 1829-1830. Ia juga sempat menempati posisi tertinggi sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda meskipun hanya sejenak, yakni pada 1826.

Begitu pula dengan de Stuers bersaudara. Hubert menjadi Komandan KNIL pada 1831-1835, sementara Francois mengampu jabatan yang sama dengan kakak kandungnya itu pada 1854-1858.

Francois rupanya terinspirasi oleh sang kakak. Jika Hubert menggambar sketsa Tuanku Imam Bonjol, Francois melukis sketsa Pangeran Diponegoro. Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa (2011) menyebutkan, sketsa tersebut dibuat Francois di Semarang pada 1830 atau tidak lama setelah Perang Jawa usai (hlm. 136).

Hubert Sang Petualang Perang

Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers tiba di Hindia Belanda pada 1817 dan langsung bergabung dengan kemiliteran pemerintah kolonial. Kariernya berjalan mulus. Pada 1821, ia sudah menjadi seorang perwira tinggi dan membawahi kesatuan di Maluku. Bahkan, di tahun yang sama, Hubert diangkat sebagai asisten Gubernur Jenderal van der Capellen.

Tahun 1822, Hubert ditugaskan memimpin pasukan Belanda ke Kalimantan Barat untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan orang-orang Cina. Warga keturunan Cina melawan karena tidak sepakat dengan aturan pajak yang diterapkan pemerintah kolonial.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai komandan militer, Hubert tidak melulu memakai cara kekerasan. Begitu pula dalam ekspedisi ke Borneo pada 1822. Menurut Pieter Mijer dalam Kronijk van Nederlandsch Indie: Loopende van af het Jaar 1816-1826 (1840), lebih dari 300 prajurit di bawah pimpinan Hubert berhasil menduduki basis orang-orang Cina di Pontianak tanpa pertumpahan darah (hlm. 168).

Pasukan Hubert juga sukses mengambilalih pangkalan orang-orang Cina di Mandor (Kabupaten Landak) tanpa perlawanan. Demikian pula ketika kaum pemberontak melarikan diri ke Monterado (Kabupaten Bengkayang) setelah diserang kesatuan Belanda lainnya. Hubert tidak mengejar para pelarian itu dan menduduki Monterado dengan damai.

Tak lama setelah misinya di Kalimantan Barat selesai, Hubert kembali dikirim ke luar Jawa, yakni ke Bone, Sulawesi Selatan, pada 1824. Di tempat baru ini Hubert mengalami kesulitan karena setiap kali mendekat, langsung disambut serangan pasukan Bone. Kala itu, Kesultanan Bone dipimpin seorang ratu bernama Aru Datu.

Pada akhirnya, strategi Hubert berhasil memaksa Ratu Bone menyerahkan diri, Namun, para pejuang Bone yang berjumlah besar, dibantu beberapa kerajaan lainnya, masih melawan dari pedalaman. Ini membuat pasukan Hubert kesulitan dan terpaksa mundur.

Belasan anak buah Hubert tewas dalam pertempuran yang dikenal dengan nama Perang Bone I itu, belum lagi puluhan serdadu lainnya yang menderita luka-luka. Misi Belanda di Bone boleh dibilang gagal. Hubert kemudian mengampu tugas baru sebagai Residen Padang di Sumatera Barat.

infografik hubert de stuers

Mengagumi Imam Bonjol

Hubert de Stuers ditunjuk menjadi Residen Padang dan Daerah Taklukannya (Padang en Onderhoorigheden) oleh Gubernur Jenderal van der Capellen pada 2 November 1824, seperti dituliskan Muhamad Radjab (1964) dalam Perang Padri di Sumatera Barat 1803-1838 (hlm. 96). Di Minangkabau saat itu masih terjadi pertikaian, yakni Perang Padri yang bermula sejak 1803.

Bermula dari perselisihan antara Kaum Padri (golongan agama) dengan Kaum Adat, perseteruan ini semakin rumit semenjak Belanda ikut campur tangan. Pada 1821, Kaum Adat yang terdesak meminta bantuan pemerintah kolonial.

Hubert de Stuers sebagai Residen Padang mengupayakan perdamaian dengan Kaum Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Ini dilakukan atas dasar Belanda kekurangan uang karena telah mengeluarkan dana besar untuk membiayai perang di Eropa, juga Perang Jawa yang dimotori Pangeran Diponegoro. Hubert juga berusaha agar Belanda tidak terlibat dalam pertikaian antara Kaum Adat dengan Kaum Padri.

Fokus lain Hubert de Stuers di Sumatera Barat adalah mengembangkan perekonomian agar memperoleh keuntungan untuk menambah pemasukan Belanda yang mulai defisit.

Menurut Hubert, seperti dipaparkan Elizabeth E. Graves dalam Asal-usul Elite Minangkabau Modern (2007), karena sumber pemasukan utama di Padang dan sekitarnya berasal dari pajak ekspor kopi dan pajak penjualan barang-barang impor, maka sangat penting untuk mengamankan jalur perdagangan yang menghubungkan daerah-daerah produksi di pedalaman dengan pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Belanda (hlm. 67).

Hubert mengalami kendala karena pasukannya banyak yang ditarik ke Jawa untuk menghadapi Diponegoro. Menyadari bahwa kekuatan militer Belanda di Padang semakin berkurang, Hubert kemudian mengajukan perdamaian dengan Tuanku Imam Bonjol, atas dasar prinsip hidup berdampingan secara damai dan tidak saling campur tangan.

Selama masa-masa inilah Hubert dapat mengenal lebih jauh Tuanku Imam Bonjol. Bagi Hubert, Imam Bonjol adalah sosok yang mengagumkan. Salah satu tugas Hubert adalah mencari cara agar Perang Padri dapat diakhiri, termasuk dengan berbaur dan tidak merendahkan harkat serta martabat masyarakat Minangkabu.

Akan tetapi, upaya perdamaian yang susah-payah dirajut Hubert hancur berantakan gara-gara ulah para perwira atau prajurit-prajurit Belanda yang tidak bisa mengontrol diri. Di beberapa lokasi, terutama di wilayah perbatasan kedudukan Belanda dan pejuang lokal, kerap terjadi konfrontasi yang kemudian merusak hubungan kedua pihak.

Pada 1829, masa tugas Hubert de Stuers sebagai Residen Padang berakhir. Ia meninggalkan Sumatera Barat dalam keadaan memanas. Terlebih lagi, Kaum Padri dan Kaum Adat yang semula bertentangan pada akhirnya justru bersatu, berjuang bersama-sama melawan Belanda.

Meski demikian, kekaguman Hubert de Stuers terhadap Tuanku Imam Bonjol tampaknya tidak sirna begitu saja. Laporan-laporan yang dibuatnya menunjukkan hal itu. Hubert juga sempat melukis sketsa Imam Bonjol yang hingga kini dijadikan rujukan untuk menggambarkan sosok pahlawan nasional dari Minangkabau itu.

Sepulang dari Sumatera Barat, Hubert mendapatkan kenaikan pangkat letnan jenderal dan diangkat sebagai Komandan KNIL periode 1831-1835. Setelah pensiun, ia pulang ke negeri kelahirannya dan menghabiskan masa tua hingga wafat di Mestreech, Belanda, pada 13 April 1861, tepat hari ini 157 tahun lalu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan