tirto.id - Hampir semua raja-raja Sulawesi Selatan bersama para tokoh adat dan terkemuka berkumpul menjadi satu di Watampone pada 1 Desember 1945 itu. Hajat besar tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya yang digelar di kediaman Andi Sultan Daeng Radja di Bulukumba.
Inilah saatnya bagi Selebes, khususnya bagian selatan, untuk menentukan pilihan. Apakah mendukung negara Republik Indonesia yang baru beberapa bulan lalu mendeklarasikan kemerdekaan atau justru membuka pintu kerjasama dengan pasukan Sekutu dengan harapan diizinkan membentuk pemerintahan sendiri suatu saat nanti.
Setelah berembug dengan mempertimbangkan segala sisi baik dan buruknya, maka diputuskan bahwa kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan beserta seluruh rakyatnya mantap berdiri di belakang pemerintahan republik Indonesia.
Keesokan harinya, tanggal 2 Desember 1945, terdengar kabar bahwa Andi Sultan Daeng Radja telah ditangkap oleh tentara Australia yang berada satu gerbong dengan pasukan Sekutu dan NICA atau Belanda (Agussalim, Prasejarah-Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, 2016).
(Baca juga: Yang Mati Muda Demi Indonesia)
Sekutu menganggap pergerakan Sultan Daeng Radja sebagai salah satu sosok yang paling berpengaruh di Sulawesi Selatan sudah tidak bisa ditolerir lagi. Sepak-terjangnya kian membuat resah, terutama selaku salah satu tokoh yang menggagas pertemuan raja-raja sehari sebelumnya. Kuat dugaan, penangkapan ini didesak oleh Belanda yang sedang mengincar kekuasaan lama di negeri jajahan yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda.
Sultan Daeng Radja pun dijebloskan ke penjara di Bulukumba, sebelum nantinya dipindahkan ke Makassar hingga diasingkan ke Manado. Namun, nyali Radja tidak lantas mati kendati raganya terkurung di dalam bui. Dari balik jeruji besi, ia ternyata tetap bisa memimpin perjuangan rakyat dalam upaya mengusir bangsa asing yang berambisi ingin berkuasa lagi.
Perjuangan Anak Bangsawan
Andi Sultan Daeng Radja dilahirkan di Matekko, Gantarang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 20 Mei 1894. Dari namanya, sudah jelas bahwa ia adalah turunan ningrat dalam strata sosial masyarakat Bugis-Makassar.
Orangtuanya memang berasal dari keluarga bangsawan. Maka tidak heran jika Sultan Daeng Radja juga mendapat sebutan Karaeng Gantarang (Ide Anak Agung Gde Agung, From the Formation of the State of East Indonesia Towards the Establishment of the United States of Indonesia, 1996).
“Karaeng” adalah gelar kebangsawanan dalam tradisi Bugis yang bahkan merujuk kepada keturunan raja-raja. Dari situlah diperoleh jawaban mengapa Sultan Daeng Radja memiliki relasi yang sangat kuat dengan para penguasa lokal yang tersebar di seantero Sulawesi Selatan, bahkan seluruh wilayah Selebes.
(Baca juga: Arung Palakka di antara Gelar Pahlawan dan Pengkhianat)
Sultan Daeng Radja menempuh pendidikan dasarnya di sekolah rakyat atau Volksschool di Bulukumba selama 3 tahun. Ia lantas dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bantaeng. Ini adalah sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak orang Eropa, keturunan timur asing (Tionghoa), serta anak-anak pribumi yang berasal dari kalangan priyayi.
Dari ELS, ia ke Makassar untuk melanjutkan pendidikan di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yakni sekolah untuk bumiputera yang nantinya akan bekerja menjadi pegawai negeri di pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ini lazim dilakukan oleh anak-anak bangsawan pribumi saat itu.
Meskipun bersekolah di OSVIA, Sultan Daeng Radja tidak lantas melupakan jati dirinya sebagai anak bangsa yang terjajah. Keinginan untuk mewujudkan perubahan tentunya selalu ada. Oleh karena itu, ia bergabung dengan Muhammadiyah di Makassar yang dipilihnya sebagai wadah perjuangan.
Delegasi Sulawesi untuk Republik
Bersama Muhammadiyah, relasi Sultan Daeng Radja tambah luas. Ia pun semakin sadar bahwa Indonesia memang harus menjadi bangsa yang berdaulat. Maka itu, Sultan Daeng Radja kian mantap menceburkan diri ke kancah pergerakan nasional. Ia adalah penggagas dibentuknya organisasi Persatuan Pergerakan Nasional Indonesia (PPNI).
Salah satu andil penting Sultan Daeng Radja sebagai upaya penyadaran kebangsaan bagi rakyat Sulawesi adalah ketika ia turut ambil bagian dalam Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta) yang menghasilkan ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 (Ahyar Anwar & Aslan Abidin, Tokoh-tokoh di Balik Nama-nama Jalan Kota Makassar, 2008).
Setelah Belanda kalah dari Jepang pada 1942, lalu melemahnya Jepang menjelang 1945, peran Sultan Daeng Radja untuk menyadarkan masyarakat Sulawesi bahwa Indonesia harus merdeka semakin kuat. Atas dasar itulah ia terpilih sebagai salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
(Baca juga: Kematian Misterius Jagoan dari Bojongsoang)
Sultan Daeng Radja mengikuti setiap rapat PPKI, juga ketika teks proklamasi dirumuskan di kediaman Laksamana Maeda pada malam hari tanggal 16 Agustus 1945. Ia merupakan delegasi dari Sulawesi bersama Sam Ratulangi dan Andi Pangerang Pettarani, putra Raja Bone (Maulwi Saelan, Dari Revolusi '45 Sampai Kudeta '66, 2001).
Setelah turut menjadi saksi diserukannya pernyataan proklamasi oleh Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia di Jakarta pada 17 Agustus 1945, Sultan Daeng Radja segera pulang ke Sulawesi. Kepada rakyat di sana, ia mengabarkan bahwa Indonesia telah merdeka dan mendapatkan sambutan yang luar biasa (Suriadi Mappangara, Sultan Daeng Radja: Pejuang Negara Kesatuan Republik Indonesia, 2011).
Ditangkap, Dipenjara, Dibuang!
Belum lama menikmati udara kemerdekaan, Belanda dengan topeng baru berlabel NICA keburu datang lagi, membonceng pasukan Sekutu yang niat awalnya untuk melucuti senjata orang-orang Jepang yang masih tersisa. Belanda sendiri sangat berambisi ingin berkuasa kembali di Indonesia.
Para tokoh yang berpengaruh di Sulawesi pun segera menggelar rapat-rapat darurat. Ini dilakukan untuk menyikapi kedatangan Sekutu dan NICA yang telah mendarat di Makassar sejak 23 September 1945 (Zainuddin Tika & Bachtiar Ilham Akil, Andi Sultan Daeng Raja, Pahlawan dari Bulukumba, 2007).
Tentang pergolakan di Sulawesi setelah kemerdekaan Republik Indonesia, baca: Permesta, Pemberontakan Atau Bukan?
Hingga akhirnya, pada 2 Desember 1945 itu, Sultan Daeng Radja ditangkap dan dibui di Bulukumba. Meski menjadi tahanan, relasinya yang kuat di kalangan tokoh-tokoh pejuang memungkinkan Sultan Daeng Radja untuk terus berkoordinasi dan secara tidak langsung tetap terlibat dalam perlawanan rakyat Sulawesi, khususnya Bulukumba, terhadap Sekutu dan Belanda.
Bahkan, dari dalam penjara, Sultan Daeng Radja dinobatkan sebagai “Bapak Agung”, semacam penasihat alias tokoh yang paling ditaati oleh Laskar Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat atau PBAR (Lahadjdji Patang, Sulawesi dan Pahlawan-pahlawannya: Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, 1967). PBAR adalah laskar rakyat yang digagas oleh Sultan Daeng Radja sebagai wadah perjuangan.
Belanda yang belakangan menyadari bahwa pengaruh Sultan Daeng Radja di Bulukumba ternyata masih amat kuat lantas memindahkannya ke Makassar. Bahkan, untuk menghindari risiko yang lebih besar lagi, maka diputuskan Sultan Daeng Radja harus diasingkan ke luar wilayah Sulawesi Selatan meskipun ia sudah mendekam di penjara Makassar selama 5 tahun.
(Baca juga: Sang Manusia Buangan Tjipto Mangoenkoesoemo)
Sejak 17 Maret 1949, Sultan Daeng Radja mulai menjalani masa pembuangan ke Manado, Sulawesi Utara. Beruntung, kurang dari setahun, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia secara penuh, dan Sultan Daeng Radja pun bebas pada 8 Januari 1950.
Sultan Daeng Radja meninggal dunia di Makassar tanggal 17 Mei 1963 dalam usia 68 tahun. Atas perjuangan dan pengabdiannya untuk Republik Indonesia yang dilakukan bahkan dari balik jeruji besi sekalipun, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana pada 9 November 2006.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya