tirto.id - Fenomena sound horeg menjadi perbincangan hangat di Jawa Timur ketika 50 pondok pesantren di Pasuruan mengeluarkan fatwa haram terhadap kreasi kesenian lokal tersebut. Alasan mereka, suara dari sound horeg dianggap mengganggu masyarakat dan menyebabkan kerusakan sejumlah fasilitas umum.
Menanggapi fatwa tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur angkat bicara dengan mendukung pelarangan tersebut. Dalam hal ini, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, KH. Ma’ruf Khozin, menganggap keberadaan sound horeg telah banyak menimbulkan gangguan dan keresahan di tengah masyarakat.
Gangguan tersebut, kata Ma'ruf, terjadi karena suara keras dan bergetar yang dihasilkan oleh sound horeg. Karena itulah, jangan heran bila sound horeg dapat mengganggu orang yang mengaji, guru yang sedang mengajar, dan juga orang sakit.
“Jadi di keputusan MUI Jatim, takbiran pakai horeg itu tidak diperkenankan, apalagi ini bukan takbiran isinya. Ini isinya disko, isinya hal-hal yang kemudian sekali lagi dengan dentuman suara yang keras lalu lewat di depan rumah orang yang misal ada orang sakit itu pasti terganggu. Lewat depan pondok pesantren atau sekolah kemudian ada kiai sedang ngaji dan guru sedang mengajar lalu dilewati sound horeg ini pasti terganggu, belum lagi hal-hal negatif lain,” kata Ma’ruf dalam keterangan resminya, Selasa (1/7/2025).
Ia pun mengibaratkan pengguna sound horeg itu laiknya pecandu rokok. Mereka akan menyangkal meski sudah ada bukti bahaya dari aktivitas tersebut.
“Jadi bagi pelaku tentu keberatan ini. Ini sama kayak rokok. Kalau rokok bagi penikmatnya enjoy, tapi kalau ditanyakan ke dokter pasti melarang. Dan ketika dokter menyampaikan pelarangan, pasti menolak pasiennya,” ungkapnya.
Oleh karenanya, MUI Jatim kala itu mempertimbangkan mengeluarkan fatwa terkait kasus sound horeg. Apalagi Ma’ruf beranggapan dampak gangguan ke masyarakat cukup besar.
MUI Jatim kemudian menggelar rapat seminggu kemudian, tepatnya pada Rabu (9/7/2025). Rapat tersebut dihadiri oleh Ahli Kesehatan Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan (THT), Perwakilan Pemprov Jatim, aparat kepolisian, tokoh masyarakat yang terdampak langsung, dan juga Paguyuban sound horeg Jatim.
Dalam rapat tersebut, MUI Jatim kembali menegaskan proses penetapan fatwa masih dikaji dan dirapatkan oleh Komisi Fatwa. Menurut mereka pengkajian perlu dilakukan mengingat masalah sound horeg menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Kami memahami ini bukan persoalan satu dua orang. Fenomena sound horeg telah menjadi gejala sosial yang berdampak luas, sehingga pendekatannya harus komprehensif dan objektif,” terang kata Hasan Ubaidillah, Sekretaris MUI Jatim.
Ia mengatakan arah kajian kala itu, MUI Jatim cenderung menyimpulkan sound horeg, secara praktik, lebih banyak mengandung persoalan ketimbang kemaslahatan. Apalagi jika hanya mengarah pada hiburan yang berlebihan dan mengganggu ketertiban umum.
“Kalau tujuannya hanya hura-hura, menimbulkan kebisingan, dan mengganggu kenyamanan warga, jelas ini tidak bisa dibenarkan. Maka dari itu, pendapat awal dari Komisi Fatwa menyatakan bahwa praktik tersebut lebih banyak mudaratnya,” tegasnya.

Setelah melakukan pengkajian tersebut, MUI Jatim kemudian resmi mengeluarkan fatwa terhadap sound horeg tiga hari kemudian. Sabtu (12/7/2025), Fatwa No. 1 tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg tersebut pun mulai berlaku.
Fatwa tersebut menjelaskan bahwa memanfaatkan kemajuan teknologi untuk kegiatan sosial-budaya adalah hal yang diperbolehkan selagi tidak bertentangan dengan perundang-undangan dan syari’at.
Fatwa tersebut juga mengakui bahwa setiap individu memiliki hak kebebasan berekspresi selagi tidak mengganggu hak asasi orang lain.
Berkenaan dengan ini, MUI Jatim mengharamkan penggunaan sound horeg yang dapat membahayakan kesehatan, merusak fasilitas umum, atau barang milik orang lain. MUI Jatim juga mengharamkan penggunaan sound horeg yang diiringi oleh aktivitas mengumbar aurat dan kemungkaran-kemungkaran lain.
MUI Jatim membolehkan penggunaan sound horeg bila dengan intensitas suara yang wajar dan untuk kegiatan-kegiatan positif seperti, sholawatan dan pengajian. Namun, bila penggunaannya melebihi batas wajar sehingga memberikan dampak kerugian terhadap pihak lain, maka penggunanya harus memberikan ganti rugi.
“Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar yang mengakibatkan dampak kerugian terhadap pihak lain, wajib dilakukan penggantian,” tulis fatwa tersebut.
Apa Itu Sound Horeg?
Menanggapi penetapan sound horeg dalam fatwa haram,Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis, menggarisbawahi soal batas mengganggu orang lain. Dia menekankan selama tidak mengganggu dan sekadar menjadi hiburan, sound horeg diperbolehkan.
“Tetapi karakternya sound horeg itu mengganggu. Kalau enggak mengganggu enggak sound horeg lagi, menjadi sound system jadinya,” kata Cholil saat ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (14/7/2025).
Secara susun frasa, istilah ini terdiri dari dua kata, yakni sound dan horeg. Menurut Dictionary.com, pengertian sound adalah sensasi yang dihasilkan oleh rangsangan organ pendengaran melalui getaran yang dihantarkan lewat udara atau media lain.
Sementara menurut Kamus Bahasa Jawa-Indonesia Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang diakses secara online, horeg memiliki pengertian bergerak atau bergetar.
Di berbagai wilayah di Indonesia, sound horeg seolah sudah menjadi sebuah tradisi. Hal ini dipakai dalam berbagai acara, termasuk karnaval maupun konser. Istilah lainnya adalah battle sound.
Sound horeg mencakup rangkaian sound system dalam skala besar. Selain diletakkan di sekitar panggung, sound horeg juga bisa ditempatkan di atas mobil atau truk besar hingga dapat dipakai keliling karnaval.
Pelemahan Budaya Lokal
Dosen Sosiologi di Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Arief Sudrajat mengatakan bahwa anggapan sound horeg dapat mengganggu ketertiban umum adalah anggapan yang valid secara empiris, namun problematik secara sosiologis.
“Karena ia menyederhanakan fenomena budaya menjadi sekadar soal teknis ketertiban dan mengabaikan dimensi sosial, kultural, kelas, dan politik ruang di baliknya,” kata Arief kepada Kontributor Muhammad Akbar Darojat Restu, yang menulis untuk Tirto.
Dalam perspektif sosiologi, kata Arief, terma “ketertiban” tidaklah netral. Ini mengingat dalam hukum dan pemerintahan, kata tersebut menggambarkan sebagai sebuah kondisi tenang, aman, dan bebas dari gangguan. Itu berarti, terma tersebut hanyalah konstruksi sosial yang mencerminkan standar yang dibuat dan dijaga oleh kelompok dominan seperti, negara atau elite moral.
“Jadi, yang dianggap mengganggu bukan karena substansinya semata, tetapi karena fenomena itu tidak sesuai dengan norma ketertiban kelas dominan yang tenang, bersih, dan formal,” ungkapnya.
Sound horeg budaya yang lahir dari kelas bawah
Sementara menurutnya, sound horeg adalah kreasi budaya yang lahir dari kelas bawah. Dalam hal ini, mereka adalah kelompok yang tidak memiliki kesempatan untuk pergi ke kelab malam atau festival besar. Sehingga, mereka kemudian mengeklaim ruang publik seperti, jalan raya, alun-alun atau lapangan untuk memperoleh hiburan.
Itulah mengapa ia menganggap pro-kontra terkait penggunaan sound horeg, sebenarnya adalah wujud dari benturan praktik budaya populer miliki orang kecil dengan standar ketertiban milik kaum elite.
“Maka ketegangan terjadi ketika standar ketertiban formal (versi kota, negara, elite) berbenturan dengan praktik budaya populer (versi rakyat kecil),” kata Arief.
Stigma yang mungkin muncul dari Fatwa MUI
Menurutnya, fatwa haram yang dikeluarkan MUI Jawa Timur terhadap penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar dan digunakan untuk kegiatan yang dianggap 'maksiat', merupakan bentuk penertiban ruang, suara, dan ekspresi kelas bawah oleh kelas dominan—mengingat posisi MUI Jatim sebagai bagian dari aparatus negara.
Namun, lebih dari itu, kata Arief, fatwa tersebut berpotensi menciptakan stigma baru bagi praktik budaya rakyat kecil yang dianggap mengganggu ketertiban atau memunculkan kemaksiatan. Ini mengingat posisi MUI Jatim sebagai pemandu kompas moral masyarakat Jawa Timur.
“Keberadaan fatwa ini, pastilah akan berdampak cukup besar. Pertama, akan memunculkan stigmatisasi budaya terhadap ekspresi kreatif kelas bawah atau akar rumput seperti dilabeli atau dicap negatif. Ekspresi tersebut bukan lagi sekadar hiburan, tapi dianggap dosa atau sejenisnya. Hierarki sosial-kultural bahkan akan semakin menguat seperti, budaya kampung dilabeli sesat oleh elite moral,” bebernya.
Fatwa tersebut juga dapat melemahkan identitas budaya lokal. Sebabnya, sound horeg yang memiliki ciri khas dentuman suara bass yang diiringi dengan goyangan ala diskotek jalanan dipaksa tunduk kepada standar moral dominan.
“Dengan begitu, akan memunculkan stigmatisasi masyarakat bahwa budaya kelas dominan yang benar. Dan bisa juga menjadi validasi negara untuk melakukan tindakan-tindakan represif terhadap budaya populer yang tidak tunduk pada standar kelas dominan,” ujarnya.
Sound Horeg sebagai Kekayaan Intelektual
Sekitar dua bulan yang lalu, tepatnya pada Kamis (8/5/2025), Kantor Wilayah Kementerian Hukum (Kanwil Kemenkum) Jawa Timur, menegaskan pentingnya pemberian Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) kepada sound horeg. Pemberian ini merupakan wujud dari penghargaan terhadap kreativitas dalam sound horeg yang menggabungkan desain box speaker dan aransemen musik.
“Perlindungan KI (kekayaan intelektual) bukan berarti membenarkan penggunaan pengeras suara yang mengganggu lingkungan. KI hadir sebagai bentuk penghargaan terhadap kreativitas, bukan pembenaran atas dampak negatifnya,” kata Kepala Kanwil Kemenkum Jatim, Haris Sukamto di Aula Raden Wijaya, Kamis (8/5/2025), mengutip laman resmi Kemenkum Jatim.
Merespon hal tersebut, Arief Dosen Sosiologi UNESA mengatakan bahwa sound horeg memang layak dipertimbangkan untuk memperoleh pengakuan HAKI. Namun, Arief menambahkan bahwa pengakuan tersebut bukan dalam wujud paten individual, melainkan Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) atau Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
“Karena sound horeg bukan ciptaan individual, namun kolektif-komunal di mana sound horeg lahir dari kreativitas kolektif komunitas rakyat kecil di Jawa Timur, terutama wilayah Malang Raya dan sekitarnya, sejak lebih dari satu dekade lalu. Tidak ada individu, korporasi, atau perusahaan yang dapat secara sah mengklaim sebagai penemu atau pemilik eksklusif budaya ini,” tegas Arief.
Hal tersebut menjadi penting, apalagi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2022 Tentang Kekayaan Intelektual Komunal. Dalam artikelnya yang berjudul “Perlindungan Kekayaan Intelektual Komunal Pasca Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2022 Tentang Kekayaan Intelektual Komunal”, Dian Nurfitri menjelaskan bahwa regulasi tersebut menegaskan bahwa KIK adalah kekayaan intelektual yang kepemilikannya bersifat komunal dan memiliki nilai ekonomis dengan tetap menjunjung tinggi nilai, moral, sosial, dan budaya bangsa.
Regulasi tersebut, kata Dian, juga menegaskan bahwa setiap orang dapat memanfaatkan kekayaan intelektual tersebut asalkan tetap menjaga nilai, makna, dan identitas kekayaan intelektual tersebut. Dan apabila digunakan untuk tujuan komersial harus memperoleh izin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Dalam konteks sound horeg, Arief menambahkan bahwa pengakuan KIK dapat memperkuat legitimasi budaya rakyat kecil. KIK juga melindungi budaya ini dari monopoli untuk tujuan monetisasi dari pihak luar.
“Pengakuan ini penting, karena menurut saya, keberadaan pengakuan KIK akan memperkuat legitimasi budaya rakyat kecil, melindungi komunitas dari klaim pihak luar yang komersial atau korporatif, semisal festival besar memakai sound horeg sebagai label, lalu kemudian memonopoli. Pengakuan ini juga dapat memberikan penguatan identitas kultural bagi komunitas pengusungnya yang mana bukan dianggap hiburan liar, tapi produk budaya yang memiliki nilai ekonomi, sosial, dan simbolik,” terang Arief.
Pemprov Jatim Akan Regulasi Sound Horeg
Karena sound horeg menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat, Pemprov Jatim kemudian menegaskan akan membuat regulasi mengenai perangkat audio berdaya besar tersebut. Dalam hal ini, Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak menilai fenomena sound horeg tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena dapat memicu konflik sosial.
“Sedang digodok, tidak didiamkan. Kita tunggu dari seluruh pihak yang terkait. Karena ini menjadi aspirasi masyarakat, tentu tidak didiamkan,” kata Emil, sebagaimana dikutip dari Antara, pada Rabu (9/7/2025).

Lima hari kemudian, tepatnya pada Senin (14/7/2025), Emil menegaskan bahwa pengguna sound horeg harus mematuhi moral dan agama, apalagi sejak dikeluarkannya fatwa MUI. Menurut Emil, fenomena sound horeg yang disertai dengan penari yang berpakaian tidak sopan dapat berdampak buruk bagi masyarakat.
“Saya tanya definisi sound horeg sebenarnya itu apa sih? Itu yang ada penari-penari tidak senonoh, di tempat-tempat umum, seakan-akan club malam dipindah ke jalan. Apakah saya setuju? Tidak,” tegas Emil pada Senin (14/7/2025) dalam Rakerwil Rijalul Ansor Nahdlatul Ulama di Lirboyo, Kediri, sebagaimana dikutip dari Antara.
Di sisi lain, Emil mengakui bahwa sound horeg dapat mendorong ekonomi warga asalkan tidak menyalahi nilai agama dan moral.
“Sound system juga memberi penghidupan, tapi jangan kemudian melupakan agama dan moralitas,” imbuh Emil.
Sound horeg mengganggu karena tak dikelola
Merespon pernyataan Wagub Emil, Arief dari UNESA mengatakan bahwa perlu ada penyesuaian dikotomi berpikir tertib dan tidak tertib. Dalam hal ini, lanjut Arief, Emil perlu melihat fenomena sound horeg dengan beragam dimensi sehingga kemudian tidak mematikan budaya rakyat.
Ia pun menambahkan bila Pemprov Jatim memang berniat membuat regulasi soal sound horeg, maka Pemprov Jatim harus mengakui terlebih dahulu bahwa sound horeg adalah wujud ekspresi budaya yang tumbuh secara organik dari masyarakat.
“Jangan memulai dari asumsi bahwa sound horeg adalah gangguan yang harus dihapus. Akui bahwa ini adalah budaya ekspresif kelas bawah yang sah, hidup, dan tumbuh organik dari masyarakat,” ungkapnya.
Setelah itu, Pemprov Jatim perlu melakukan negosiasi sosial dengan berbagai pihak dalam membuat regulasi, termasuk pelaku usaha sound horeg itu sendiri.
“Mengedepankan negosiasi sosial, bukan represi. Libatkan komunitas sound horeg, warga, tokoh agama, dan pemerintah. Regulasi bersifat partisipatif, bukan top-down,"ujarnya
"Dengan cara ini, Jawa Timur bukan mematikan kreativitas rakyat kecil, tapi mengangkatnya menjadi budaya populer yang sehat, kreatif, dan berdaya ekonomi,” tambah Arief lagi.
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































