Menuju konten utama

Kapitalisme Menjadikan Kita Generasi yang Haus Belanja

Iklan sepatu mengerubungi. Bujuk rayu diskon baju menggerayangi. Semuanya adalah alat kapitalisme, mendorong kita belanja terus sampai mati.

Kapitalisme Menjadikan Kita Generasi yang Haus Belanja
Ilustrasi Konsumerisme. foto/istockphoto

tirto.id - Konsumerisme bukanlah sekadar kebiasaan membeli barang. Ia adalah konstruksi budaya yang sengaja dibentuk oleh para kapitalis untuk "menjaga" perputaran roda ekonomi. Segala cara dilakukan, termasuk dengan menciptakan ilusi kebutuhan yang sebenarnya tidak pernah benar-benar dibutuhkan.

Praktik Phoebus Cartel sejak 1924, yang memanipulasi dan memangkas usia pakai produk lampu pijar dapat menjadi acuan dasar mula-mula konsumerisme muncul. Mereka menormalisasi keusangan yang terencana, strategi agar produk cepat rusak sehingga konsumen harus membelinya, lagi dan lagi.

Phoebus Cartel bukan hanya soal kongsi yang memanipulasi produksi. Ia adalah simbol kaki tangan kapitalisme yang mengatur umur pakai barang demi keuntungan.

Paradigma keusangan menyeruak dan menyebar dengan cepat, bahkan berkembang lebih dari itu. Seiring waktu, konsumen menganggap bahwa ketika sudah tidak lagi relevan dan jarang digunakan, artinya suatu barang sudah ketinggalan zaman.

Singkatnya, cara paling umum untuk membuat suatu produk menjadi usang adalah menggantinya dengan yang baru, bisa lewat inovasi ataupun rekayasa teknologi. Di situlah keusangan yang direncanakan mengintervensi kebudayaan.

Bagaimana Produk Dibuat untuk Usang?

Hampir tak pernah ada perusahaan yang benar-benar loyal terhadap ketahanan produknya. Apabila perusahaan berkomitmen terhadap daya tahan barang produksinya, teori keusangan terencana dipastikan runtuh.

Perusahaan membuat produk dengan suku cadang yang mereka tahun rentan rusak dan gagal. Sementara itu, untuk melegitimasi kebaruan, para penjual, pemasar, serta pemengaruh, selalu mengarahkan konsumen agar menyalahkan keusangan fitur barang tersebut.

Salah satu keusangan terencana yang paling umum adalah produk ponsel yang dikeluarkan Apple. Setiap kali model iPhone muncul, keluaran lama akan cenderung “diperlambat”. Pembaruan perangkat lunak diwajibkan, tapi hasilnya pun terbatas. Konsumen diarahkan untuk membeli produk keluaran terbaru.

Pada 2018, jaksa Prancis menggugat Apple lantaran kejahatan berunsur kesengajaan dalam memperpendek umur suatu produk. Hakim mengabulkan gugatan tersebut, dan pihak Apple pun mengaku sengaja memperlambat kinerja iPhone setelah mewajibkan penggunanya memperbarui perangkat lunak. Mereka pun harus membayar denda 27 juta dolar.

Nyatanya, Apple punya seribu cara. Mereka membuat produknya sulit diperbaiki dan diganti suku cadangnya. Perusahaan mengklaim itu sebagai upaya keamanan, melindungi produk dari suku cadang bermutu rendah juga non-orisinal yang dapat membatalkan garansi atau merusak gawai.

Bahkan, di tampilan terbaru sekarang, teknologi Apple mampu mendeteksi suku cadang non-orisinal yang digunakan oleh pelanggannya. Muncul tampilan “komponen tidak dikenal” ketika baterai, kamera, dan Liquid Crystal Display (LCD), diganti dengan perangkat yang bukan bawaan pabrik. Karena tampilan itu dianggap mengganggu, para pelanggan terpaksa membeli suku cadang baru yang dikeluarkan resmi oleh Apple.

Hal itu terjadi di hampir semua industri, termasuk urusan otomotif seperti mobil dan sepeda motor. Produk otomotif keluaran lama akan sulit menemukan suku cadang untuk perbaikan. Hal itu karena pabrik menghentikan produksi suku cadang lama, agar produk terbaru mereka lebih laku.

Ilustrasi Gila Belanja

Ilustrasi Gila Belanja. foto/istockphoto

Desain katrij tinta mesin cetak modern pada hari ini menguras ongkos yang lebih mahal. Itu karena katrij telah dilengkapi cip pintar yang dapat menonaktifkan penggunaan warna oleh printer jika tinta gagal beroperasi.

Meskipun masih ada cukup tinta untuk mencetak tulisan, perangkat keras mendeteksi bahwa katrijnya tidak lagi kompatibel dengan sistem pengoperasian Windows terbaru. Perusahaan tinta juga menganjurkan agar katrij tinta tidak diisi ulang oleh pihak ketiga atau merek lain. Ini mendorong konsumen untuk membeli tinta bermerek sama, dengan biaya operasional lebih tinggi.

Lebih banyak katrij tinta yang diganti dengan produk baru, berarti menciptakan lebih banyak limbah. Produk-produk itu tidak hanya direncanakan untuk rusak, tetapi juga mengerikan untuk lingkungan.

Dalam paradigma fast-fashion, konsumen sering mengeluhkan pakaian-pakaian mode terbaru karena memiliki jahitan rapuh, bahan tipis, dan cepat rusak. Tren musiman terkait gaya berpakaian membuat pakaian cepat usang secara fisik maupun sosial.

Permintaan konsumen akan inovasi gaya memaksa industri fesyen mengikuti popularitas pasar. Pakaian-pakaian model terbaru dan murah lebih mudah membanjiri pasar di waktu hampir tak bersela, tetapi meninggalkan aspek kualitas yang mesti dikorbankan.

Konsumen yang menyukai tren berpotensi meninggalkan produk pakaian yang awet. Sebab, memakai baju yang sama setiap tahun dianggap tidak mengikuti tren modis dan tidak keren.

Kapitalisme dan Manipulasi Pemasaran

Slickdeals membagikan data survei pada 21 Februari 2018 yang menunjukkan, penduduk Amerika Serikat menghabiskan 324.000 dolar untuk pembelian impulsif dalam hidupnya. Sebanyak 2.000 orang responden mengaku rata-rata menghabiskan sekitar 450 dolar per bulan dan 5.400 per tahun, hanya untuk menyenangkan gerak hati sesaat.

Tiga dari empat orang responden survei itu juga mengaku mencomot permen di kasir minimarket sebelum membayar barang-barang primer. Adapun 32 persen secara impulsif membeli makanan sebab tergiur saat melewati restoran. Lalu satu dari empat orang membeli sepasang sepatu hanya karena dipajang ciamik di etalase toko.

Pertanyaan selanjutnya muncul: mengapa seseorang terdorong membeli barang yang ada di depan mereka?

“Pemasaran dan periklanan adalah industri yang maju secara psikologis, dengan tujuan memengaruhi kita—sering kali di luar kesadaran kita—untuk membelanjakan uang,” sebagaimana topik buku Blindsight: The (Mostly) Hidden Ways Marketing Reshapes Our Brains (2020).

Ilmu psikologi menyebutnya sebagai fear of missing out (FOMO), gejala ketika seseorang merasa harus segera membeli barang sebelum kehabisan. Tekanan psikologis digunakan lewat pemasaran dan periklanan untuk mendorong konsumen terus membeli.

Pemasaran modern bukan sekadar iklan, tetapi manipulasi persepsi dan emosi.

Teknik itu dicap efektif untuk peningkatan penjualan jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang akan melahirkan ketidakpercayaan. Ketika urgensi hanyalah taktik manipulatif, konsumen sadar bahwa mereka tertipu dan lantas berpaling. Hal itu tidak jarang merusak reputasi perusahaan.

Ketika konsumen mulai peduli terhadap isu-isu yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan, bukan berarti kapitalisme akan menyerah untuk mendorong konsumen terus membeli barang.

Sebagai misal, publik (konsumen) mulai fokus pada dampak buruk kapitalisme dan kerusakan lingkungan. Para kapitalis merespons bukan dengan bertobat dan melakukan perubahan nyata, melainkan lewat ilusi hijau. Kampanye greenwashingdigencarkan, termasuk memasang label “eco-friendly” di produknya, meskipun tanpa bukti nyata.

Sebagai contoh, produk kosmetik mengklaim diri sebagai produk ramah lingkungan tapi tentu saja tetap memakai bahan kimia. Demikian pula industri mode, mempromosikan pakaian daur ulang tetapi tuntutan produksi berlebih menyebabkan limbah tekstil. Ada pula perusahaan air kemasan yang mengklaim menggunakan lebih sedikit plastik, tetapi tak pernah menjelaskan lebih lanjut tentang kesehatan atau detail proses pembuatannya.

Lagi-lagi, konsumen yang terdoktrin greenwashing bersedia membayar lebih banyak untuk mendapatkan produk "ramah lingkungan", sebagai upaya kepedulian terhadap alam.

DISKON AKHIR TAHUN PUSAT BELANJA

Calon pembeli memilih pakaian di salah satu pusat perbelanjaan di Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (28/12/2017). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

Salah satu perusahaan fast-fashion multinasional menawarkan jasa daur ulang dengan memberi kupon diskon untuk tiap kantong pakaian yang dikumpulkan kembali oleh konsumen. Etika semu, praktik itu bukanlah bentuk kepedulian perusahaan, tetapi promosi “konsumsi berkelanjutan” yang terus mendorong konsumen untuk membeli lebih sering.

Selain itu, banyak perusahaan mengedarkan sertifikasi palsu dan ambigu. Label hijau serampangan terpasang tanpa verifikasi. Hal ini membuat konsumen menjadi bingung dan skeptis.

Alih-aling mengurangi konsumsi, greenwashing justru memperkuat budaya sekali pakai dengan dalih moral.

Budaya Sekali Pakai Merenggut Humanisme

Menurut Indah Yasminum Suhanti dalamReview Literatur Aspek Budaya pada Pengolahan Sampah Popok Sekali Pakai dan Pembalut Wanita di Indonesia (2021), budaya sekali pakai dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Di antaranya alasan praktis dan efisiensi. Produk sekali pakai dianggap lebih mudah dan cepat digunakan. Sistem sosial dan perilaku membiaskan pola pikir masyarakat, lewat pengaruh media massa atau normal sosial.

Ada pula faktor tradisi dan nilai lokal. Beberapa komunitas berpersepsi berbeda soal kebersihan dan kenyamanan. Ada mitos umum bahwa produk usang dan berkelanjutan cenderung tak higienis—meski tidak selalu benar secara ilmiah—dan itu mendorong konsumen menggunakan produk sekali pakai.

Padahal, produk sekali pakai seperti popok, pembalut, kantong plastik, dan botol minuman, menimbulkan pencemaran mikroplastik di tanah dan air dalam skala besar. Di Indonesia, limbah popok dan pembalut menempati posisi puncak, terutama mencemari sungai di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Konsumerisme, kapitalisme, dan budaya sekali pakai, merupakan tiga aspek yang saling terhubung. Dalam peran siklus konsumsi, budaya sekali pakai memaksa kapitalisme untuk menyediakan produk yang cepat habis dan mudah diganti.

Permintaan pasar yang tinggi, didorong oleh manipulasi industri, makin mempercepat siklus konsumsi.

“Masyarakat yang hidup di zaman kapitalisme global adalah masyarakat konsumen. Masyarakat seperti demikian sebenarnya adalah masyarakat yang telah menjadi hamba dari ciptaannya sendiri,” tulis Selu Margaretha Kushendrawati dalam Makara Human Behavior Studies in Asia (2006: 53).

Dalam logika kapitalisme, eksistensi konsumen ditentukan berdasarkan kesanggupan masyarakat terus-menerus melahap berbagai tanda dan status sosial di balik komoditas. Budaya tersebut menyeret orang lain untuk mengikuti tren sebagai aktualisasi diri lewat tindakan konsumsi.

Pola itu menciptakan masyarakat yang menjadi “sapi perah” kapitalisme. Pada akhirnya, itu juga menjauhkan manusia dari nilai-nilai humanistik.

Selain merosotnya humanisme akibat dampak ekologis budaya sekali pakai, Herbert Marcuse dalam teori One-Dimensional menyebut masyarakat modern sebagai masyarakat tunggal. Itu berarti kita terjebak dalam logika konsumsi dan kehilangan kapasitas kritis terhadap sistem yang menindas.

Budaya sekali pakai adalah simbol alienasi dan dekadensi. Pola pikir instan dalam segala hal memikul beban moral yang teramat besar. Ketika segala sesuatu dengan mudah dibuang, maka empati, kepedulian, dan tanggung jawab turut tergerus.

Itulah yang membuat manusia terpisah dari alam, dari sesama, dan dari dirinya sendiri.

Baca juga artikel terkait KONSUMERISME atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Side Job
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin