tirto.id - Hampir semua gawai elektronik memiliki masa pakai yang sengaja direncanakan. Tidakkah Anda menyadari bahwa lampu bohlam di rumah Anda cepat rusak? Ya, itu karena peranti elektronik didesain agar hanya dapat digunakan dalam kurun tertentu.
Produsen hampir tidak punya alasan menciptakan produk yang benar-benar tahan lama. Produk yang terlalu awet dinilai bakal mendatangkan kerugian bagi perusahaan. Begitulah yang terjadi mulanya pada salah satu produk teknologi paling revolusioner pada zamannya: lampu pijar.
Pada 1920-an, Osram, perusahaan lampu multinasional dari Jerman, mulai menyadari bahwa produksi lampu pijar yang tahan lama justru dapat meningkatkan krisis penjualan. Perusahaan merugi besar setelah omzet penjualannya mengalami penurunan drastis, dari 63 juta unit (1922-1924) menjadi hanya 28 juta unit (1923-1924).
Dengan pola pikir murni bisnis, mereka butuh solusi agar konsumen bersedia membeli lebih sering.
Phoebus Cartel, Memangkas Usia Pakai Lampu Pijar
Di stasiun pemadam kebakaran California, Centennial Light menantang budaya “sekali pakai” yang menjamur di era modern. Bahkan, eksistensinya telah mendapat tempat di Guinness Book of World Record. Akan tetapi, kini kisahnya nyaris mendekati mitos, yang mustahil ditiru oleh produk serupa.
Adalah Shelby Electric Company yang memproduksi lampu tersebut pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Umur pakai lampu pijar 60 watt itu bisa mencapai 2.500 jam atau lebih. Namun, eksistensinya justru menciptakan "masalah" baru bagi perusahaan—tak jauh berbeda dengan Osram.
Untuk menyikapi potensi masalah itu, pada 23 Desember 1924, para raksasa produsen lampu, yakni Osram (Jerman), Philips (Belanda), Compagnie des Lampes (Prancis), dan General Electric (Amerika Serikat), mendirikan Phoebus Cartel di Jenewa, Swiss.
Tujuan utama Phoebus Cartel adalah mengontrol pasar global lampu pijar dan menstandardisasi usia pemakaiannya menjadi hanya 1.000 jam, turun drastis dari usia pakai 2.500 jam yang diciptakan oleh Shelby Electric. Mereka bahkan secara rutin menguji dan mendenda pabrik yang kedapatan memproduksi lampu terlalu awet. Strategi itu dikenal sebagai keusangan terencana (planned obsolescence). Skema taktisnya yakni merancang produk agar cepat rusak demi keuntungan.
Anggota kartel merasionalisasi pendekatan planned obsolescence sebagai trade-off: mengklaim bohlam produksinya berkualitas lebih baik, lebih efisien, dan lebih terang, daripada bohlam lainnya. Konsekuensi ekonominya, harga jual bohlam kartel lebih mahal. Itu karena motivasi utama Phoebus Cartel adalah meraup untung sebanyak mungkin, bukan menyediakan pelayanan terbaik untuk konsumen.
Salah satu sosok pengusul pembentukan Phoebus Cartel adalah William Meinhardt, yang waktu itu menjabat sebagai kepala Osram. Faktor yang mendorongnya meneken peraturan di kartel itu adalah penurunan valuasi produk Osram.
Di atas kertas, dokumen peraturan yang ditandatangani para anggota Phoebus Cartel terdengar jinak. Mereka menyebutnya sebagai “Konvensi untuk Pengembangan dan Kemajuan Industri Lampu Pijar Internasional”.
Menurut dokumen itu, tujuan utama kartel adalah, “Mengamankan kerja sama semua pihak dalam perjanjian, memastikan eksploitasi yang menguntungkan dari kemampuan manufaktur perusahaan dalam memproduksi lampu, memastikan dan mempertahankan kualitas tinggi yang seragam, meningkatkan efektivitas penerangan listrik dan meningkatkan penggunaan cahaya untuk keuntungan konsumen.”
Kebijakan tersebut berlaku untuk semua bohlam, baik dalam konteks kebutuhan penerangan, pemanas, dan tujuan medis. Selain perusahaan yang tersebut di atas, tergabung pula Tungsram (Hongaria), Associated Electrical Industries (Inggris), dan Tokyo Electric (Jepang).
Namun, General Electric, penggagas awal pembentukan Phoebus Cartel, justru tidak terdaftar sebagai anggota. Sebaliknya, mereka diwakili oleh anak perusahaannya, International General Electric di Inggris dan Overseas Group yang melebarkan sayap di Brasil, Cina, dan Meksiko.

Guna mengawasi roda pasar lampu global, Phoebus Cartel membentuk badan pengawas yang diketuai Meinhardt dari Osram. Mereka bermaksud meminimalisasi pesaing atau memaksa para kompetitor berkolaborasi demi memperkuat posisi kartel. Mereka juga mewadahi pertukaran hak paten dan pengetahuan teknis untuk melegitimasi standardisasi harga lampu pijar.
Sebagai contoh, lampu pijar masih menggunakan soket tipe sekrup yang dirancang Thomas Alva Edison pada 1880 dan diberi nama E26/E27. Itu semua karena campur tangan kartel.
Selain itu, General Electric, yang mengantongi lisensi Patentgemeinschaft (kumpulan paten) yang kuat, makin mendorong kartel mengendalikan peredaran lampu pijar di Eropa hingga Perang Dunia I. Saban perusahaan yang ingin melisensikan kekayaan intelektual General Electric wajib mematuhi kuota produksi yang ketat. Philips, misalnya, diberi kuota tahunan 5,7 juta bohlam lampu, terlepas pabrik mereka di Eindhoven berkemampuan memproduksi jauh lebih banyak.
Strategi Rekayasa Lampu Pijar
Pada awalnya, Phoebus Cartel menghadapi masalah yang cukup menyulitkan mengenai upaya “menurunkan” kualitas daya tahan lampu pijar. Mereka tak ingin ceroboh. Sebab, yang lebih sulit adalah memproduksi lampu kurang awet, tetapi tetap memiliki pencahayaan andal maksimal 1.000 jam.
Bohlam yang diproduksi pada 1924 sudah canggih secara teknologi: penerangan cukup luas dengan masa bakar selama 2.500 jam atau lebih. Phoebus Cartel berjuang keras melakukan riset modifikasi filamen dan langkah taktis lain untuk memperpendek usia bohlam lampu produksi mereka.
Setiap perusahaan yang bergabung ke Phoebus Cartel wajib mengirimkan sampel produk ke laboratorium kartel secara teratur di Swiss. Di sana, produk-produk harus lulus uji tes dan wajib mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.
Dalam prosesnya, laboratorium Phoebus Cartel melindungi produk dari volatilitas dengan memodifikasi rasio tegangan bohlam lampu. Lainnya adalah menyesuaikan arus, sebagaimana insinyur General Electric mengurangi masa pakai bohlam senternya.
“Kami menyarankan untuk meningkatkan lampu Mazda No. 10, dari 0,27 ampere menjadi 0,30; dari 13,14 menjadi 31; dari 0,30 menjadi 0,35. Ini akan menghasilkan peningkatan pencahayaan masing-masing sebesar 11 dan dan 16 persen,” tutur insinyur General Electric, Prideaux. Dia mengklaim bahwa sarannya itu akan diterima oleh semua pengguna senter karena menawarkan nyala lebih terang.
Klaim tersebut terasa menjanjikan, sebab peningkatan arus pada bohlam akan menghasilkan lebih banyak lumen per watt. Sayangnya, lebih tinggi arus berarti lebih tinggi suhu filamen, dan pemanasan yang terlampau drastis akan mengurangi masa pakai lampu pijar.
Selama hampir satu dekade sejak 1924, kartel berhasil menerapkan strategi rekayasa produk lampu pijar. Masa pakai rata-rata bohlam yang diproduksi sesuai standar Phoebus Cartel turun sepertiga pada periode antara 1926 dan tahun fiskal 1933-1934.
Di waktu itu, tiada pabrik yang memproduksi bohlam dengan daya tahan lebih dari 1.500 jam. Penurunannya cukup signifikan, dari 1.800 jam menjadi rerata hanya 1.205 jam.
Kartel Mati, Warisannya Abadi
Pada 1927, Tokyo Electric merasakan imbas untung yang signifikan setelah mengganti peranti produknya dengan bohlam berisi vakum dan gas. Penjualan melonjak lima kali lipat. Akan tetapi, masalah baru justru kian mendera setelahnya.
Kecerdikan kartel lewat planned obsolescence terbukti mampu mendorong konsumen untuk membeli lebih sering. Namun, penetapan besaran kuota menjadi kendala serius yang mengganggu hasrat perusahaan untuk memproduksi dan menjual lebih banyak.
Kendati sukses berkat kartel, Tokyo Electric tidak berhak mengontrol ratusan industri lokal rumahan di Jepang yang mempertahankan tradisi perakitan bohlam dengan tangan. Sebagai pesaing, industri lokal melihat keresahan itu sebagai serangan balik untuk menjual produk lebih banyak dengan harga lebih terjangkau.
Konsumen Jepang lebih menyukai produk berdaya tahan lama yang diproduksi dalam skala besar. Sampai suatu ketika, industri lampu pijar lokal Jepang berhasil mengekspor produknya ke Amerika Serikat dan Eropa. Pada periode 1922-1933, ekspor tahunan Jepang melonjak dari rerata 45 juta menjadi 300 juta.

Meski terdengar sukses di enam tahun pertama pembentukannya, Phoebus Cartel mengalami periode krisis antara tahun 1930-1933. Volume penjualan turun lebih dari 20 persen.
Selain itu, konflik internal menyoal hak paten General Electric menjadi pukulan telak bagi kartel. Sengketa itu menyeret para anggota General Electric—yang juga aktif di kartel—ke meja hijau, terutama di AS. Pada 1949, Pengadilan New Jersey, AS, mendakwa mereka bersalah dan melanggar Sherman Anti-Trust Act. Kasus itu kemudian berlanjut ke Komisi Monopoli di Inggris yang menyelidiki praktik kartel pada 1951.
Putusan pengadilan dan penyelidikan tersebut menyoroti motif rakus “oligopoli keuntungan” kartel dan dampaknya terhadap kesejahteraan konsumen. Konflik ini membuat pelanggan produk Phoebus Cartel merasa yakin bahwa selama ini mereka “ditipu”.
Dampak Perang Dunia II juga turut membunuh ambisi Phoebus Cartel. Negara-negara tempat perusahaan itu bermukim lebih memilih menaruh perhatian pada perang. Karenanya, koordinasi antaranggota menjadi kendur.
Phoebus Cartel, yang menandatangani perjanjian pada 1924 dan diproyeksikan bertahan sampai 1955, harus mengakhiri kisah konspiratifnya pada 1940. Namun, mereka sesungguhnya tak benar-benar mati. Warisannya dalam rekayasa teknologi industri lampu pijar bertahan sampai sekarang.
Transisi dari lampu pijar ke lampu neon kompak (CFL) dan sekarang LED yang merajalela menggambarkan pergeseran prioritas dalam industri elektronik. CFL yang digemborkan sebagai alternatif hemat energi justru datang membawa permasalahannya sendiri, termasuk kekhawatiran akan kandungan merkuri dan masa pakai yang jauh lebih pendek dibandingkan lampu pijar.
Ironisnya terasa, planned obsolescence seakan memanipulasi efisiensi energi, tetapi mengorbankan daya tahan yang mengarah pada siklus konsumsi tidak berkelanjutan secara lingkungan dan ekonomi. Barang yang tidak kompatibel dan cepat rusak memaksa konsumen menggantinya dengan produk baru, sebab ketersediaan suku cadangnya terbatas.
Masyarakat jadi memiliki kebiasaan baru: budaya konsumsi sekali pakai.
Budaya konsumsi sekali pakai menciptakan gunungan limbah, menguras sumber daya alam, dan berkontribusi pada pencemaran lingkungan. Kritik ini terasa kental ketika Bernard London dari Repsol membikin terobosan saran untuk mencegah penurunan ekonomi dan planned obsolescence selama masa krisis akibat Perang Dunia II.
Muncul juga gerakan kampanye edukasi menentang planned obsolescence yang diinisiasi Good Bulb. Mereka mengklaim bahwa produk buatan mereka dapat menjawab masalah soal limbah, efisiensi energi, dan berkontribusi terhadap keberlanjutan bumi.
“Sebagai konsumen yang sadar, Anda akan menghadapi kenyataan pahit ini: (1) Anda akan menghabiskan hingga 50.000 euro selama hidup hanya untuk mengganti produk yang seharusnya bertahan selama beberapa dekade; (2) Elektronik yang Anda buang berkontribusi pada 50 juta ton limbah elektronik tahunan; (3) 85 persen dari limbah ini berakhir di negara berkembang, menciptakan bahaya kesehatan, dan; (4) Anda terpaksa mengganti barang setiap 2—12 tahun yang bisa bertahan lebih dari 50 tahun,” tulis Missed History dalam eksposisi analisisnya.
Kisah Phoebus Cartel dan strategi keusangan terencana itu telah mendapat tempat dalam beberapa memoar signifikansi budaya. Karya fiksi seperti novel L’arcobaleno della gravità (1973) oleh Thomas Pynchon, film dokumenter The Light Bulb Conspiracy(2010) oleh sineas Cosima Dannoritzer, dan beberapa penelitian yang menyibak akal bulus rekayasa kartel, adalah sumbangsih sejarah tak ternilai.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































