Menuju konten utama
Side Job

Dari Hobi Jadi Rezeki, Cara Konten Kreator Menaklukkan Algoritma

Di era digital, mata pencaharian berbasis renjana bukan hal mustahil diwujudkan. Banyak kreator konten yang meraup cuan dari konten hobi sehari-harinya.

Dari Hobi Jadi Rezeki, Cara Konten Kreator Menaklukkan Algoritma
ilustrasi kreator konten. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Robin Farades menemukan dunianya di tepi landasan pacu, di tengah suara jet yang menderu. Ia bukan sekadar penonton, tapi seorang plane spotter, penggemar pesawat yang gemar merekam momen lepas landas dan mendarat.

Awalnya, Robin hanya ingin berbagi hobinya lewat siaran langsung di TikTok. Tanpa diduga, penontonnya mulai mengirim gift. Dari sana, hobinya berubah jadi sumber penghasilan, bahkan bisa menghasilkan hingga 9 juta rupiah per bulan.

Begitu pula dengan Eka Yulianto yang dikenal lewat kanal YouTube-nya, @Sepur.khreta. Kecintaannya pada kereta api dan alam berhasil diubah menjadi konten yang menarik ribuan pengikut. Seperti Robin, Eka membangun identitas unik yang membedakannya dari konten kreator lain.

Kisah Robin dan Eka mencerminkan perubahan zaman. Di era digital, batas antara hobi dan pekerjaan makin kabur. Platform seperti TikTok membuka jalan bagi siapa pun untuk menjadikan renjana sebagai dasar mata pencaharian. Kreativitas kini punya nilai ekonomi.

Anatomi Profesi Berbasis Renjana

Fenomena yang dialami Robin dan Eka adalah cerminan dari tren global bernama passion economy, ekonomi yang tumbuh dari renjana. Di era digital, siapa pun bisa jadi wirausaha tanpa modal besar atau koneksi industri. Cukup dengan internet dan ide yang tulus, hobi bisa berubah jadi penghasilan.

Di Indonesia, passion economy tampil dalam berbagai kisah kreator yang unik dan penuh warna. Mereka tak hanya menghibur, tapi juga membangun koneksi emosional dengan audiens lewat orisinalitas, berkisah tentang aktivitas keseharian dengan sudut pandang unik.

Salah satu yang paling dikenal adalah Windah Basudara. Bukan skill gaming-nya yang jadi daya tarik utama, tapi gaya santai, humor, dan interaksi hangatnya dengan komunitas “bocil kematian”. Ia membuktikan bahwa citra diri yang jujur bisa jadi kekuatan besar.

Ada pula cerita dari Fadil Jaidi dan ayahnya, Pak Muh. Mereka viral karena konten keluarga yang spontan dan lucu. Penonton merasa dekat karena interaksinya terasa nyata dan hangat.

ilustrasi kreator konten

ilustrasi kreator konten. FOTO/iStockphoto

Marie Kondo adalah contoh lainnya. Perempuan asal Jepang tersebut memulai konten dari kecintaannya terhadap kerapian karena terinspirasi neneknya. Lewat metode “KonMari” dan pertanyaan sederhana “Apakah ini memicu kegembiraan?”, ia mengubah aktivitas merapikan jadi filosofi hidup. Dari buku bestseller, serial Netflix “Tidying Up With Marie Kondo”, hingga program pelatihan, ia membangun bisnis global yang dulu dianggap sepele.

Begitu juga Huda Kattan yang memulai blog kecantikan karena tak puas dengan karier lamanya. Tips rias wajah yang ia bagikan menarik perhatian. Bahkan, tak lama kemudian ia merilis produk bulu mata yang langsung viral setelah dipakai Kim Kardashian.

“Menurutku kesenanganku adalah pekerjaan,” ucap Kattan, dilansir oleh New York Times.

Benang merah yang menghubungkan Windah, Fadil, Kondo, dan Kattan, adalah upaya menjual sesuatu yang lebih dari sekadar produk. Mereka menjual identitas, cerita, nilai, dan koneksi emosional. Renjana mereka jadi merek, sistem, bahkan komunitas.

Inilah wajah baru bisnis di era digital. Dimulai dari hobi, tumbuh lewat keaslian, dan bisa menjangkau dunia.

Hobi sebagai Kurikulum Baru

Generasi Z, yang lahir di tengah kemajuan teknologi, menjadikan platform digital sebagai bagian dari hidup. Mereka tumbuh bersamanya. Maka tak heran, banyak dari generasi muda menjadikan hobi sebagai profesi lewat jalur kreator konten.

Penelitian oleh Mikhael Hamonangan Sitorus menunjukkan, Generasi Z termotivasi untuk terlibat dalam pekerjaan digital karena menyadari manfaat jangka panjangnya, seperti fleksibilitas dan potensi pendapatan. Banyak dari mereka berinvestasi dalam pendidikan non-formal untuk meningkatkan daya saing di pasar kerja digital.

Portofolio digital, seperti kanal YouTube yang aktif dan konsisten, bisa jadi bukti nyata kemampuan kerja, lebih relevan daripada sekadar ijazah. Di platform-platform itulah mereka membuktikan berbagai keterampilan beserta progresnya.

Namun, menjadi kreator bukan cuma soal bikin video dan mengunggahnya di platform tertentu. Ia juga melatih kesiapan kerja. Penelitian Maulidiyah & Ubaidillah (2024) menyebut ada tiga hal penting untuk siap kerja: soft skill, hard skill, dan motivasi. Kreator secara alami mengasah ketiganya.

Kreator konten belajar komunikasi, kreativitas, dan kepemimpinan, terutama saat berinteraksi dengan pelanggan. Mereka juga menguasai teknis, seperti editing, desain, dan analisis data. Yang terpenting, mereka punya motivasi kuat untuk bertahan dan konsisten karena berangkat dari renjana.

Studi berjudul “Adaptasi Kerja Content Creator di Era Digital” (2022) menyebut, bertahan dan konsisten adalah kunci utama kreator konten. Penelitian yang digarap oleh Mega Mutia Maeskina dan Dasrun Hidayat itu menganalisis cara-cara mereka beradaptasi untuk mempertahankan audiens.

Dengan menggunakan model IPPAR (Insight, Program Strategic, Program Implementation, Action, and Reputation), para peneliti menemukan, karakteristik konten yang sukses meliputi: kategori konten, ciri khas, tema, hashtag, caption, tampilan, talenta, dan kreativitas.

Kreator konten perlu memilih wadah populer dan menghasilkan konten menarik untuk membangun hubungan virtual, yang pada akhirnya meningkatkan metrik seperti followers, likes, dan shares.

ilustrasi kreator konten

ilustrasi kreator konten. FOTO/iStockphoto

Akan tetapi, di balik gemerlap kisah sukses para kreator, ada sisi lain yang jarang dibicarakan: tantangan nyata yang bisa menghambat langkah siapa pun yang ingin terjun ke dunia itu.

Pertama, soal akses. Meski data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada 2024 menunjukkan internet sudah menjangkau hampir 80 persen penduduk Indonesia, kualitas koneksi masih timpang.

Kreator di kota besar bisa siaran langsung dengan lancar, sementara mereka di daerah terpencil sering kesulitan bahkan untuk mengunggah video. Belum lagi soal keterampilan digital.

Kedua, tekanan mental. Kreator dituntut terus aktif dan relevan. Studi menyebut 72,2 persen kreator bertanggung jawab lebih untuk memproduksi konten. Algoritma platform tak kenal lelah sehingga kreator terjebak dalam siklus produksi yang melelahkan.

Kreator terpaksa membuat konten yang dirancang khusus untuk algoritma, bukan berdasarkan renjana. Kecemasan soal performa konten, komentar negatif, dan kebutuhan akan validasi sosial bisa berdampak serius pada kesehatan (creator burnout).

Ketiga, risiko hukum. Konten yang diunggah bisa dengan mudah dicuri dan digunakan tanpa izin. Praktik re-upload merugikan kreator secara finansial dan reputasi. Kreator perlu memahami perbedaan antara hak moral dan hak ekonomi dalam karyanya.

Kesadaran akan pentingnya menghormati hak cipta harus terus ditanamkan. Karena itu, penting bagi kreator memahami Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 tentang hak cipta dan perlindungan karya lewat HAKI.[13]

Semua itu membuktikan bahwa di balik layar ponsel, ada ruang bagi siapa pun untuk tumbuh; bahwa hobi bukan lagi pelarian, tapi bisa jadi jalan hidup seperti yang ditunjukkan Robin dan Eka; dan bahwa di era digital, menjadi diri sendiri bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang paling dicari.

Jadi, apakah kamu masih menganggap hobi hanya sekadar iseng? Mungkin sudah waktunya melihatnya sebagai benih yang, jika dirawat dengan konsisten dan cinta, bisa tumbuh jadi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan.

Baca juga artikel terkait KONTEN KREATOR atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Side Job
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi