tirto.id - Pada 29 Maret 2022, CNN+ diluncurkan dengan ambisi besar: menjadi patron berita digital, menyaingi The New York Times, dan menarik jutaan pelanggan pada tahun pertama. Di balik layar, McKinsey, firma konsultan paling berpengaruh di dunia, merancang proyeksi dan strategi peluncuran. Mereka menjanjikan dua juta pelanggan dalam setahun, 15 juta selama empat tahun, dan mengukuhkan CNN sebagai pionir streaming berita.
Namun, kenyataan berbicara lain. CNN+ hanya menarik kurang dari 10.000 pengguna harian, bahkan kemudian ditutup dalam waktu kurang dari sebulan. Biaya ratusan juta dolar hangus, ratusan staf kehilangan pekerjaan, reputasi CNN pun tercoreng.
Kegagalan CNN+ bukan sekadar kesalahan eksekusi. Ia mencerminkan krisis yang lebih dalam di industri konsultan. Model lama, asumsi strategis, dan proyeksi berbasis spreadsheet, tak lagi cukup menghadapi dunia yang bergerak cepat dan penuh ketidakpastian.
Lanskap industri konsultan berubah drastis. Disrupsi teknologi kecerdasan buatan, tekanan fiskal dari pemerintah, dan migrasi talenta, merobek fondasi model lama, menciptakan jalur baru yang lebih cepat, canggih, dan "manusiawi".
Disrupsi yang bermula di pasar Barat itu diperkirakan menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, seiring makin terhubungnya lanskap bisnis global. Tekanan tersebut diperparah oleh tech winter pada 2022–2023, ketika PHK massal dan koreksi valuasi pasca-ledakan investasi pandemi menanamkan budaya efisiensi di korporasi.
Kiwari, jejak badai masih terasa, bahkan mengubah ekspektasi klien secara permanen.
Krisis Kepercayaan dan Transformasi AI
Selama puluhan tahun, industri konsultan berdiri sebagai benteng eksklusif keahlian strategis. Firma-firma besar menjual waktu kerja para analis yang tajam dengan presentasi memukau dan akses ke rahasia perusahaan.
Namun, selama satu dekade terakhir, klien tak lagi terpukau oleh slide rumit atau teori-teori strategis. Yang dicari kini adalah peta jalan berbasis hasil konkret yang relevan bagi bisnis.
Di tengah kebutuhan itu, otomatisasi AI mempercepat pekerjaan yang dulunya memakan waktu serta menekan tarif yang sebelumnya berbasis durasi. Firma dipaksa beralih dari menjual proses ke menjual dampak.
AI telah mengubah lanskap industri konsultan dengan mengotomatisasi tugas-tugas rutin, seperti penelitian, analisis data, dan pembuatan presentasi. Bahkan, firma-firma besar, seperti McKinsey, PwC, dan KPMG, telah mengintegrasikan AI untuk meningkatkan efisiensi dengan memanfaatkan data besar (big data).
McKinsey, berkat platform AI buatannya, Lilli, mampu membantu para konsultan mencari informasi dari ribuan dokumen dan wawancara perusahaan dengan mudah. Hampir 70 persen karyawan McKinsey rutin memakai Lilli untuk mencari data. Mereka tak perlu lagi menghabiskan waktu riset manual sehingga bisa fokus menyelesaikan masalah klien dengan lebih cepat.
Sementara itu, PwC membuat sistem AI yang disebut Agent OS. Sistem tersebut menggabungkan banyak AI agents menjadi satu sehingga pekerjaan bisa lebih cepat dan mudah. Ia bahkan bisa dipakai bersama platform besar seperti Microsoft Azure dan Google Cloud, bahkan tak butuh keahlian teknis untuk mengoperasikannya.
Adapun KPMG, jaringan konsultan asal Belanda, bekerja sama dengan Google untuk mengembangkan platform bernama Agentspace. Dengan itu, para karyawan bisa memakai AI untuk membantu pekerjaan hukum seperti mengecek kontrak secara otomatis. Mereka juga membuat standar supaya AI di berbagai platform bisa berkomunikasi dengan lancar.
Berkat AI, alur kerja konsultan bisa dipadatkan. Boston Consulting Group (BCG), misalnya, memperkenalkan Deckster, platform editor tayangan salindia yang dilatih dengan ratusan templat. Berkatnya, perusahaan mampu mengotomatiskan pembuatan presentasi dan telah bekerja untuk 40 persen rekanan setiap minggunya.
Studi dari Harvard Business School pada 2023 membuktikan, AI mampu meningkatkan produktivitas kerja-kerja konsultan. Akal Imitasi berhasil menyelesaikan 12,2 persen lebih banyak tugas, 25,1 persen lebih cepat, dengan kualitas keluaran yang meningkat lebih dari 40 persen.
Namun, dampaknya membawa tekanan pada model bisnis tradisional. Model berbasis waktu yang menjual jam kerja kini tergerus. Bahkan, struktur organisasi juga terancam berubah, dengan fokus pada talenta level menengah hingga senior, mereduksi peran staf junior.
Temuan studi yang sama juga menyimpulkan dua pola adaptasi, yakni “Centaur” yang mendelegasikan secara strategis serta “Cyborg” yang mengintegrasikan AI sepenuhnya dalam alur kerja. Keduanya menuntut keterampilan baru, literasi AI, rekayasa prompt, dan pengawasan kritis.

Di era baru ini, bukan hanya kecerdasan mesin yang menentukan, melainkan juga kecerdasan manusia yang mampu menavigasinya secara cermat. AI bukan hanya disruptor, tetapi juga katalis perubahan. Ia memungkinkan pengukuran kinerja secara presisi, otomatisasi proses, dan transparansi nilai yang sebelumnya sulit dicapai.
Xavier AI adalah contoh yang mencolok. Platform tersebut memungkinkan tim kecil menghasilkan analisis setara firma elit dalam hitungan menit! Ia dirancang sebagai AI strategy consultant yang mampu menyusun rencana bisnis sepanjang 50 halaman lebih, pitch deck investor, atau strategi pemasaran lengkap hanya dari satu prompt.
AI membuka peluang baru. Kontrak berbasis kinerja kini bisa diukur secara kredibel lewat analisis dan dasbor. Teknologi tersebut memberi akses ke kapabilitas canggih yang dulu hanya dimiliki firma besar. Dengan begitu, harganya bisa lebih kompetitif, kualitasnya tetap terjaga, dan kliennya lebih beragam.
Firma yang memiliki aset teknologi kuat akan mampu menjamin hasil. Sementara itu, perusahaan yang masih bergantung pada analisis manual akan terjebak di pasar berbiaya rendah.
Gelombang Kejut Politik dan Finansial
Industri konsultan tak hanya diguncang oleh disrupsi teknologi, tetapi juga oleh tekanan serius dari sektor publik. Di AS, langkah agresif pemerintahan Donald Trump lewat entitas baru, Department of Government Efficiency (DOGE), memotong ribuan kontrak konsultasi demi birokrasi yang lebih kecil dan efisien.
Dampaknya cukup besar. Sebagaimana dilaporkan Consulting.us, firma seperti Deloitte, Accenture, dan Booz Allen Hamilton, menghadapi PHK dan penurunan nilai saham.
Accenture, sebagai contoh, mengalami penurunan harga saham hampir 30 persen di puncak awal 2025 (dari 394,31 dolar pada Februari 2025 menjadi 286,96 dolar pada Juli 2025). Padahal, di sisi lain, pendapatannya meningkat 6,21 persen menjadi 68,483 miliar dolar selama 12 bulan per Mei 2025.
Laporan Business Insiderpada 2024 mencatat, firma-firma besar kehilangan lebih banyak pekerja daripada yang direkrut, termasuk konsultan berpengalaman yang memilih beralih ke industri lain. Faktor lain, seperti potongan manfaat, pekerjaan jarak jauh yang kurang menarik, dan daya tarik industri lain, tampak lebih memuaskan bagi generasi muda.
Perubahan tersebut mencerminkan adanya tekanan dari pemotongan kontrak, terutama dari pemerintah AS. Per Juni 2025, setidaknya ada 2.800 kontrak yang dibatalkan dan pergeseran ke model berbasis teknologi.
Namun, kritik terhadap pendekatan tersebut mulai bermunculan. Salah satunya dipantik oleh fakta bahwa sekitar 40 persen kontrak yang dibatalkan ternyata tak menghemat apa pun karena dana sudah dialokasikan. Ironisnya, kontrak yang justru ditujukan untuk modernisasi, misalnya proyek Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang dipimpin Deloitte, juga ikut terdampak.
Industri konsultasi publik pun terpolarisasi. Segelintir raksasa bermain di skala besar, sedangkan firma kecil tumbuh subur di ruang khusus. Konsolidasi, efisiensi, dan ketidakpastian, menjadi tiga kata kunci yang mendefinisikan fase transformasi ini.
Tren dan Masa Depan Konsultasi
Industri konsultan tak hilang, melainkan berevolusi. Bahkan, laporan pasar memperkirakan nilai industri tersebut akan tumbuh, dari 371,04 miliar dolar pada 2025 menjadi 469,28 miliar dolar pada 2030. Eskalasi itu didorong oleh permintaan akan transformasi digital, keberlanjutan, dan perencanaan ketahanan, terutama di masa ketidakpastian geopolitik dan ekonomi.
Di tengah tekanan teknologi, perubahan pasar, dan migrasi talenta, kebutuhan akan keahlian eksternal tetap vital. Bisnis konsultasi kini bergerak menuju bentuk yang lebih terspesialisasi, berbasis teknologi, dan bertanggung jawab.
Peran konsultan juga bergeser. Ia bukan lagi sekadar penasihat, melainkan arsitek strategi AI, fasilitator ekosistem, dan penjamin hasil.
Industri memang akan mengecil dalam skala tenaga kerja, tetapi bertambah besar dalam dampak. Di dunia yang makin kompleks, pihak ketiga yang objektif dan tepercaya justru makin dibutuhkan.
Masa depan konsultasi ditentukan oleh paradoks. Semakin canggih teknologinya, semakin besar peran manusia. AI mengelola analisis, tapi seni konsultasi, interpretasi, persuasi, intuisi, dan etika tetap domain manusia.
Firma yang sukses adalah mereka yang menguasai integrasi ini secara utuh, menjadikan sentuhan manusia sebagai keunggulan di tengah lautan data.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































