Menuju konten utama
AI & Disrupsi Dunia Kerja

Haruskah Mulai Khawatir AI Ambil Pekerjaan Kita?

Banyak pekerja kreatif waswas AI ambil alih kerja mereka, tapi AI juga bantu efisiensi kerja; tantangannya kesiapan SDM dan regulasi adaptif.

Haruskah Mulai Khawatir AI Ambil Pekerjaan Kita?
Header AI dan Disrupsi Dunia Kerja. tirto.id/Fuad

tirto.id - Lius (bukan nama sebenarnya) tidak menyangkal kekhawatirannya terhadap keberadaan perangkat kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) akan mengambil alih kerjanya. Sebagai seorang ilustrator, dia juga waswas dengan hasil perangkat AI generative (Gen-AI), yang tidak bisa dipertanggungjawabkan orisinalitas dan hak ciptanya.

“Dari sisi negatifnya juga pihak operasional dan marketing/managerial yang lebih kapitalisme merasa AI dapat memangkas pegawai dan biaya produksi,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (28/5/2025).

Padahal jika melihat dari sudut pandang kreatif, hasil kerja dari AI masih cenderung tidak konsisten. Karya AI pun umumnya masih perlu permak. “Banyak orang awam mengira AI bisa membuat desain akhir yang siap pakai. Tapi dalam praktik profesional, hasil AI generatif masih banyak kekurangannya,” tambah Lius.

Pengalamannya bahkan memperbaiki detail seperti anatomi, perspektif, hingga text rendering, masih perlu secara manual. Kadang waktu yang dihabiskan untuk merevisi karya AI bahkan lebih banyak ketimbang harus membuat dari awal.

Kekhawatiran Lius sendiri bukan kasus khusus. Berdasarkan hasil survei UMN dan Sindikasi, mayoritas pekerja di sektor media dan kreatif menyatakan khawatir terhadap potensi tergantikannya peran mereka oleh teknologi otomatisasi. Survei ini merekam 92,6 persen pekerja media dan kreatif mengaku ‘sangat setuju’ dan ‘setuju’ pekerjaannya bisa terdampak oleh AI.

Namun, dia sendiri bukan anti terhadap pemanfaatan AI. Bahkan dalam pekerjaannya dia sudah mengimplementasikan teknologi ini sebagai alat bantu. Penggunaannya misal untuk membuat suara latar (voice over, vo), atau terjemahan dan takarir, membantu untuk ekspansi pasar dan tidak merugikan siapapun.

Pada porsi tertentu penggunaan AI memang berpotensi sangat mempercepat proses dan memberi kesempatan berfokus di pekerjaan yang lebih rumit.

Sebagai seorang pekerja di media massa, Jofie (32) merasakan hal ini. Proses kerja jurnalistik di tempat kerjanya mulai memadukan pemanfaatan AI.

Untuk artikel saduran atau keterangan resmi singkat, penulisannya dibantu perangkat AI. Namun, peran manusia tetap tidak hilang, hanya saja fokusnya lebih ke verifikasi dan meninjau konteks.

“Sumbernya berasal dari press release dan berita dari media lain yang kemudian diproses oleh AI. Tapi ada editor yang bertanggung jawab untuk mengecek berita-berita tersebut dan mem-publish-nya,” ujarnya saat bercerita dengan Tirto, Rabu (28/5/2025).

Ilustrasi Chat GPT

Ilustrasi Chat GPT. foto/istockphoto

Di tempatnya bekerja, Jofie menilai implementasi pemanfaatan AI, sejauh ini cukup tepat. Alih-alih sebagai ancaman, kehadiran AI dirasa justru membantu tugas jurnalis sepertinya, fokus dengan pemberitaan mendalam dan konten eksklusif. Namun, dari pengalamannya, AI tetap memiliki keterbatasan, sehingga keberadaan manusia belum akan tergantikan.

“Batasannya seperti tadi, untuk penulisan berita terkadang masih ada informasi yang salah. Untuk ide-ide judul dan saran perbaikan artikel juga tidak selalu bagus dan sesuai keinginan penulis. Jadi keputusan sepenuhnya masih di tangan manusia,” sambungya.

Senada dengan Jofie, Ilham (27), seorang peneliti di sebuah wadah pemikir di Jakarta, memandang kehadiran AI kini tak terhindarkan. Malahan AI menjadi alat penting yang mempermudah berbagai aspek pekerjaannya. Bagi Ilham, kehadiran mesin-mesin otomatisasi bukan sekadar pelengkap, tapi sudah menjadi bagian integral dari cara ia bekerja sehari-hari.

“Kalo dulu ada rekaman diskusi atau wawancara narasumber yang durasinya sampai berjam-jam. Gue harus transkrip sendiri sampai capek. Sekarang dengan adanya tools transkripsi dari AI ini ngebantu banget sih untuk mempermudah pekerjaan,” ujarnya saat bercerita dengan Tirto, Selasa (27/5/2025)

Ilham tidak merasa khawatir posisinya sebagai peneliti akan tergantikan oleh AI. Bukan karena ia merasa sombong atau lebih unggul, tapi karena ia melihat bahwa di bidang riset, terutama terkait ilmu sosio humaniora yang ia geluti, peran manusia krusial.

Menurutnya, menggantikan posisi peneliti sepenuhnya dengan AI bukanlah hal yang memungkinkan untuk saat ini. Seminimal-minimalnya, tetap butuh manusia untuk mengoperasikan dan mengarahkan teknologi tersebut.

“Sebagai peneliti ketika lo mengambil data, bukan cuma sekadar, 'ngambil data'. Tapi lo melihat interaksi manusia dengan manusia lainnya,” ujar Ilham menjabarkan peran manusia yang tidak bisa digantikan AI.

Meski begitu, ia tak menutup mata saat ini atau dalam masa mendatang ada sejumlah pekerjaan di bidang akademik dan riset penelitian yang akan terdampak oleh kehadiran AI. Dampak yang dimaksud misal dalam hal pengurangan peran tenaga kerja untuk digantikan dengan akal imitasi tersebut.

Isu yang lebih mengkhawatirkan justru adalah ketika AI digunakan secara kebablasan, tanpa proses pengecekan atau validasi dari manusia. Di titik itulah risiko terbesar muncul. Bukan dari AI itu sendiri melainkan dari cara kita menggunakannya,” tegas Ilham.

Siapkah SDM Tenaga Kerja di Indonesia Adopsi AI?

Head of Research Center for Digital and Society (CfDS), Hafiz Noer, mengamati bahwa sejauh ini belum ada laporan signifikan mengenai PHK di Indonesia yang disebabkan oleh kehadiran otomatisasi AI. Meski demikian, ia menekankan pentingnya melihat tren ini dalam konteks historis.

“Respons terhadap teknologi AI ini sebenarnya mirip dengan bagaimana industri merespons teknologi lainnya secara umum. Termasuk saat teknologi pertama kali masuk ke sektor manufaktur,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (27/5/2025)

Hafiz mencontohkan perusahaan teknologi global seperti Google—atau lebih tepatnya induk perusahaannya, Alphabet—yang pada awal 2023 melakukan PHK terhadap ribuan karyawannya. Meskipun jumlah tersebut tak sampai 10 persen dari keseluruhan jumlah pegawai mereka, namun keputusan PHK itu dilakukan dengan alasan efisiensi dan investasi dalam pengembangan AI.

“Artinya, investasi di bidang AI membutuhkan uang yang tidak sedikit. Bahkan untuk Alphabet aja dia harus PHK orang sekitar 12 ribu untuk investasi di bidang AI,” tambahnya.

Meskipun di Tanah Air juga belum terdengar kasus PHK besar-besaran akibat adopsi AI, ia mengingatkan agar Indonesia tetap waspada dan bersiaga. “Di satu sisi ada pengurangan 5 ribu posisi, tapi di sisi lain perusahaan bisa membuka 2 ribu posisi baru yang khusus di bidang AI. Tantangannya apakah SDM kita udah siap mengisi posisi baru itu?,” ujarnya.

Direktur Regulasi dan Etika Indonesian AI Society (IAIS), Henke Yunkins, menyebut bahwa saat ini Indonesia tengah menghadapi kesenjangan keterampilan (skill gap) yang cukup signifikan dalam proses adopsi AI.

“Permintaan dari Industri mencari talenta/pekerja keahlian berbasis AI, sedangkan sistem pendidikan dan pelatihan belum sepenuhnya menyiapkan tenaga kerja untuk tugas‐tugas tersebut,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (27/5/2025)

Pria yang juga CEO Phire Studio ini mengatakan, kesenjangan keterampilan menjadi salah satu tantangan ekonomi dalam gelombang transformasi otomatisasi di dunia kerja. Selain itu, risiko PHK dan pengangguran struktural, serta dominasi perusahaan besar yang menguasai data dan pasar AI, turut memperumit proses transisi menuju ekosistem kerja yang berbasis teknologi.

Di tengah pesatnya perkembangan AI, kesiapan sumber daya manusia (SDM) Indonesia menjadi perhatian besar. Berdasarkan dokumen UNESCO AI Readiness Assessment Methodology (AI RAN), Indonesia dinilai belum siap sepenuhnya dalam mengadopsi AI di semua tingkat keterampilan. Penilaian ini mencakup tiga level kemampuan: pemula, menengah, dan lanjutan —dan Indonesia masih tertinggal di ketiganya.

Jika ditelusuri lebih dalam, isu ini tak lepas dari kesenjangan antara kebutuhan industri dan ketersediaan talenta digital dalam negeri. Data dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kominfo –sekarang Komdigi, Indonesia membutuhkan sekitar 458 ribu orang talenta digital per tahun untuk periode 2023-2030.

Namun, pada tahun 2023 jumlah talenta digital yang tersedia hanya sekitar 6 juta orang. Padahal, total talenta digital yang dibutuhkan sebanyak 10,6 juta.

Pemerintah Meski Siapkan Blueprint yang Jelas

Associate Professor Digital Strategy and Data Science Monash University Indonesia, Arif Perdana, menilai secara keseluruhan AI menawarkan potensi besar bagi Indonesia. Namun, AI juga menghadirkan ancaman serius terhadap lapangan kerja.

“Tantangan etis seperti bias algoritma dan pelanggaran privasi kian kompleks, sementara ketimpangan digital memperburuk eksklusi sosial,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (27/5/2025)

Lebih lanjut, Arif menyoroti rendahnya tingkat kesiapan tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi era kecerdasan buatan. Selain itu, sistem perlindungan bagi pekerja juga belum siap mengantisipasi dampak otomatisasi skala besar.

Ilustrasi Pengguna Kecerdasan Buatan

Seorang perempuan menggunakan fitur kecerdasan buatan yang disematkan pada ponsel pintar. Tirto.id/Hafitz Maulana

Untuk itu, menurut Arif, Indonesia membutuhkan cetak biru menyeluruh yang mencakup kompetensi teknis, soft skills, dan pelatihan sektoral agar transisi kerja lebih adaptif dan berdaya saing di tengah disrupsi teknologi.

“Pemerintah harus menyusun regulasi AI yang adaptif dan mendukung program reskilling dengan target terukur,” sambungnya.

Dari dunia usaha, menurut Arif perlu ambil porsi untuk mengintegrasikan pelatihan karyawan sebagai bagian dari strategi implementasi AI mereka. Pendekatan ini tidak hanya akan memperkuat daya saing, tetapi juga menjaga keberlanjutan tenaga kerja di tengah perubahan teknologi yang cepat.

Pemerintah sendiri tengah menyiapkan sejumlah strategi konkret untuk menghadapi permasalahan ini. Salah satu langkah yang ditempuh adalah kolaborasi strategis antara Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) dalam peningkatan keterampilan digital tenaga kerja.

Beberapa peluang kerja sama yang digagas antara Kemnaker dan Kemkomdigi mencakup: Kolaborasi dalam penyelenggaraan pelatihan keterampilan digital, seperti literasi digital, pemrograman, analisis data, kecerdasan buatan (AI), dan keamanan siber; Harmonisasi regulasi ketenagakerjaan dengan dinamika ekonomi digital, termasuk perlindungan bagi pekerja di sektor gig economy dan pekerja lepas; dan kerja sama dalam memberikan dukungan bagi wirausaha dan UMKM untuk memanfaatkan teknologi digital melalui program inkubasi startup dan peningkatan kapasitas SDM.

“Dengan kolaborasi ini, diharapkan tenaga kerja Indonesia lebih berdaya saing dan siap menghadapi tantangan era digital di pasar global,” pungkas Menaker Yassierli, Jumat (21/5/2025).

Menyeimbangkan Peran Manusia dan Teknologi

Persiapan kemampuan tenaga kerja yang sejalan dengan pertumbuhan AI, baiknya tidak kelewat batas. Dalam menghadapi transformasi ini, Hafiz dari CfDS menilai penting bagi industri maupun pemerintah untuk tidak terjebak pada paradigma teknodeterministik. Paham kalau segala hal harus diselesaikan dengan teknologi itu bisa berbahaya.

“Pendekatannya bukan semua-semua harus pake AI. Tapi bagaimana menempatkan manusia atau SDM nya dalam adopsi AI atau teknologi digital. Baik itu di industri maupun di sektor publik,” ujarnya.

Hafiz mencontohkan penerapan AI dalam sebuah pengambilan keputusan. Misalnya, sistem AI yang digunakan untuk memindai dokumen identitas. Meskipun tingkat akurasinya tinggi, masih ada kemungkinan kesalahan seperti membaca tanggal lahir secara keliru. Di sinilah peran manusia sebagai verifikator menjadi sangat penting, untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil AI tetap sesuai dengan kenyataan.

“Mungkin manusia gak akan ngurusin dapurnya atau yang kotor-kotornya. Tapi dia berfungsi sebagai yang cleaning di akhirnya. Jadi (AI) memudahkan manusia untuk bekerja. Bukan manusianya yang dihilangkan karena AI, tapi manusianya yang memverifikasi kerjaan AI-nya sudah betul atau belum,” terang dia.

Sementara itu, Henke dari IAIS, menyebut pendekatan ideal terhadap gelombang perubahan yang diciptakan AI dalam dunia kerja adalah dengan cara menyeimbangkan antara AI-enabled growth dan human-centered transition.

Artinya, di satu sisi, inovasi perlu terus didorong, namun di sisi lain perlindungan terhadap pekerja juga harus menjadi prioritas.

“Ini membutuhkan koordinasi kebijakan yang terintegrasi dan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan perwakilan pekerja,” ucapnya.

Baca juga artikel terkait KECERDASAN BUATAN atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - Teknologi
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto