tirto.id - April tahun lalu, penulis cum dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Martin Suryajaya membuat gebrakan di panggung sastra Indonesia. Ini gara-gara aksinya yang memberdayakan AI atau kecerdasan buatan untuk menulis puisi dalam buku berjudul Penyair sebagai Mesin.
Pilihan Martin terbilang berani, sebetulnya, sebab dalam tradisi menulis puisi di belahan bumi mana pun aspek kreativitas dan keperajinan (craftmanship) kadung diyakini sebagai sesuatu yang sakral, suci, dan harga mati.
Sebagai gambaran, jika produk seni lain (terutama film, musik, dan seni rupa) erat irisannya dengan perkembangan teknologi, sastra, lebih khusus lagi puisi, agak lain. Perkakas utama sastra—tentu selain kertas dan pena, mesin ketik, komputer, laptop, atau telepon pintar—hanya kata-kata.
Oleh karenanya, setiap penulis dituntut untuk mengoptimalkan seluruh keterampilan dan kreativitasnya agar kata-kata punya daya pukau di benak pembaca. Dalam konteks ini, memanfaatkan teknologi, apalagi AI, jelas tidak masuk hitungan banyak sastrawan.
“AI memaksa kita berhadapan dengan pengalaman penciptaan dalam keadaan kapiran: tidak mengandalkan daya kreatif, keperajinan maupun kepribadian sendiri. Berlibur dari diri sendiri, dari keyakinan estetik sendiri, dari gaya pribadi, dan menjadi gelandangan dalam sejarah puisi Indonesia. Untuk menghadirkan pengalaman itulah buku ini ditulis,” bunyi keterangan di sampul belakang buku Penyair sebagai Mesin.
Dampak AI bagi RI
Lepas dari segala pro-kontra yang ditimbulkan oleh terbitnya buku Martin Suryajaya di atas, beririsan dengan AI, lebih-lebih dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, diakui atau tidak, adalah masa depan—jika bukan keniscayaan.
Dalam diskusi virtual “Masa Depan Perekonomian Indonesia di Era AI”, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, meyakini bahwa kecerdasan buatan akan mengubah lanskap perekonomian Indonesia. Perry menyebut teknologi pintar tersebut telah dimanfaatkan oleh banyak pelaku usaha, termasuk sektor manufaktur, keuangan, kesehatan, dan transportasi.
Terlebih lagi, analisa dari McKinsey Global Institute memproyeksi potensi ekonomi global dari penggunaan AI di seluruh dunia setidaknya sebesar 2,6 triliun dolar AS, bahkan dapat menyentuh 4,4 triliun dolar AS.
“Itulah potensi AI dan turunannya. Cara pemanfaatan AI juga akan memengaruhi lanskap perekonomian di Indonesia,” ujar Perry.
Sedangkan khusus di kawasan Asia Tenggara, laman TechWire Asia memprediksi teknologi AI akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 1 triliun dolar AS dalam sepuluh tahun mendatang. Kemudian, khusus untuk Ibu Pertiwi diproyeksi mendongkrak ekonomi hingga 366 miliar dolar AS atau setara Rp5.746,2 triliun pada 2030 (asumsi kurs Rp15.700 per dolar AS).
Lewat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pemerintah Indonesia menyiapkan peta jalan (roadmap) khusus mengenai AI. Panduan tersebut tertuang dalam dokumen Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BRIN, Dr. Ir. Hammam Riza, M.Sc menyatakan, pemanfaatan teknologi AI bertujuan untuk memberikan peningkatan produktivitas melalui efisiensi investasi pemanfaatan sumber daya manusia. Lalu mendorong inovasi di berbagai sektor.
Meski demikian, Hammam Riza mengakui adanya sejumlah tantangan dalam menerapkan teknologi ini di Indonesia.
Mulai dari kehadiran regulasi yang mengatur etika penggunaan dan pemanfaatan AI yang bertanggung jawab. Kemudian ketersediaan tenaga kerja terampil, infrastruktur komputasi dan data. Tak lupa kesiapan industri dan sektor-sektor publik dalam mengadopsi inovasi-inovasi AI.
Sebagai sebuah temuan revolusioner, AI memang ditengarai akan menggerus banyak pekerjaan, misalnya copywriter serta influencer. Namun, survei yang dilakukan PwC pada April-Mei 2023 menunjukkan, alih-alih terancam, mayoritas pekerja di Asia Pasifik justru menyambut baik kehadiran AI.
Pada survei yang bertajuk “Hopes and Fears Workforce Global Survey 2023,”pekerja di Vietnam, Indonesia, dan India memiliki kecenderungan menganggap AI sebagai suatu peluang untuk mendapat keterampilan baru. Berbeda dengan pekerja di Selandia Baru Australia, dan Jepang yang tidak terlalu peduli atas imbas kehadiran AI.
Lebih lanjut, pekerja Indonesia, mayoritas (71%) menganggap keterampilan digital penting bagi karir mereka, dan oleh sebab itulah keberadaan AI menjadi relevan.
Temuan MMA Indonesia
Cepat atau lambat, AI memang niscaya dibutuhkan. Laporan “State of AI in Marketing 2024” yang dirilis MMA Indonesia menyebutkan, dalam konteks penerapan AI di dunia pemasaran, 38% perusahaan berada di tahap percobaan, 32% terintegrasi sebagian, dan 16% mengaku sudah terintegrasi penuh.
Lewat studi tersebut, MMA Indonesia berupaya mengukur sejumlah hal, mulai dari penerapan AI, kesiapan AI Generatif (Gen AI), ketersediaan sumber daya, hingga penilaian risiko untuk mengoptimalkan strategi integrasi AI.
Hasilnya, dalam perkara penerapan AI, 22% responden menilai penerapan AI dalam rencana dan proses pemasaran sebagai prioritas tinggi, sedangkan 38% memasukkannya dalam prioritas sedang. Temuan lainnya, 52% responden meyakini potensi AI untuk merevolusi praktik pemasaran, optimistis terhadap dampak transformatifnya bagi industri. Hanya 10% yang berpandangan bahwa AI punya dampak terbatas.
Sementara itu, survei juga mencatat optimasi dan produksi konten menjadi aspek pemasaran yang paling sering memanfaatkan AI. Namun, banyak juga yang coba mengeksplorasi kemungkinan penggunaan AI untuk pengembangan produk atau jasa baru.
Selain itu, 22% responden menyebut keamanan digital sebagai hal yang mengkhawatirkan mereka, dan hal yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah privasi data (31%).
“Kesimpulannya, pengamatan kami pada survei yang dilakukan menunjukkan bahwa para pemimpin industri telah menyadari perlunya AI menjadi bagian terpadu strategi pemasaran mereka,” ungkap Shanti Tolani, Country Head and Board of Director MMA Global Indonesia.
Shanti juga menambahkan bahwa dalam implementasinya diperlukan alat yang tepat sesuai kebutuhan perusahaan. Selain itu, pelatihan yang memadai terkait konteks privasi data dan keamanan siber patut dipertimbangkan.
Pernyataan Shanti benar. “Setiap revolusi industri”, kata Perdana Menteri Belgia Alexander De Croo, “selalu membawa revolusi pembelajaran.” Agar AI benar-benar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, terus belajar dan berbenah mutlak diperlukan agar peran AI dapat benar-benar dioptimalkan.
Dalam konteks industri dan pemerintahan, teknologi kecerdasan buatan digadang-gadang dapat membantu meningkatkan produktivitas dan kualitas pengambilan keputusan, di samping membantu inovasi produk dan layanan.
“Saat kita bersama-sama menavigasi masa depan di mana AI diharapkan akan menjadi standar paling penting ketimbang sekadar kebaruan, mari tetap waspada, membayangkan berbagai kemungkinan, dan menerima inovasi yang belum pernah ada sebelumnya,” sambung Shanti Tolani.
Editor: Dwi Ayuningtyas