Menuju konten utama

Bisnis Agensi, Suplemen Pertumbuhan Industri Influencer China

Industri influencer marketing di China merebak paling cepat karena kehadiran dukungan pemerintah dan kehadiran agensi influencer.

Bisnis Agensi, Suplemen Pertumbuhan Industri Influencer China
Header Side Job Agensi Influencer. tirto.id/Ecun

tirto.id - Berapa lama waktu yang kamu habiskan setiap hari untuk memandangi layar gawai? Pernahkah menghitungnya? Kalau kamu menghabiskan waktu bermain internet tidak lebih dari empat jam setiap hari, selamat kamu tidak termasuk dalam statistik hari ini.

Rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu berselancar di internet selama 7 jam 42 menit setiap hari berdasarkan laporan dari Statista. Ini setara dengan waktu tempuh yang diperlukan untuk melakukan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta menggunakan kereta api. Dengan kata lain, secara statistik, artinya kita doyan main internet.

Keterikatan kita dengan internet telah mengubah lanskap pemasaran hari ini. Saluran pemasaran berubah. Televisi, radio, papan baliho mulai ditinggalkan. Kini semua orang bergeser ke media sosial.

Mungkin dan pasti masih ada yang menjual barang dengan cara-cara lama di sekitar kita, tetapi jumlahnya semakin sedikit. Meski banyak yang mati karena ditinggalkan, tetapi di saat yang sama, yang baru juga bermunculan.

Social media strategist, SEO specialist, KOL, hingga influencer, nama-nama yang mungkin asing bagi generasi ayah dan ibu kita, kini adalah segelintir pekerjaan baru yang muncul sebagai imbas dari perkembangan media sosial. Selain pekerjaan baru, bisnis-bisnis baru juga bermekaran. Salah satu yang sekarang ini sedang berkembang pesat secara global adalah bisnis agensi influencer.

Belajar dari China

Di China, influencer marketing bukan sejenis tren yang akan hilang begitu saja ketika tertiup angin. Fenomena ini bahkan telah membuka sederet segmen bisnis baru yang perlahan membentuk ekosistem bernama influencer economy.

Segmen bisnis tersebut di antaranya terdiri dari pengetahuan berbayar, live streaming berhadiah, otorisasi kekayaan intelektual, pelatihan influencer profesional, analisis konten influencer, hingga pengelolaan rantai pasok khusus yang menawarkan jasa influencer dengan kategori tertentu sesuai dengan permintaan brand.

Meski usianya masih relatif muda, namun ekosistem ini terus berkembang dengan bantuan teknologi hingga keterlibatan pemerintah. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya, pemerintah Tionkok telah membuat serangkaian kebijakan fiskal untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi influencer.

Pemerintah daerah dalam hal ini juga dilibatkan. Misalnya pada bulan Juni 2020, ketika Asosiasi Periklanan China (China Advertising Association) mengeluarkan kode etik layanan live streaming e-commerce, yang memberikan pedoman hukum untuk melindungi kepentingan konsumen.

Setelah adanya kebijakan ini, pemerintah daerah Shanghai, Guangzhou, Shenzhen hingga Hangzhou menindaklanjutinya dengan serangkaian kebijakan lanjutan.

Di Guangzhou misalnya, kota terbesar di Provinsi Guangdong di China Selatan, pemerintahnya menetapkan target untuk meluncurkan lebih dari 100 agensi pemasaran influencer serta melibatkan 10.000 influencer live streaming terlaris dalam kerja sama mereka.

Sama halnya juga dengan di Heilongjiang, sebuah provinsi di bagian utara China, yang telah menerbitkan rencana pengembangan sektor live streaming selama tiga tahun ke depan sebagai bagian dari strategi kebangkitan ekonomi.

Hasilnya, bisa ditebak berdasarkan studi The State of Influencers: China 2023, ekonomi baru yang sepenuhnya bersandar pada influencer marketing ini bernilai sebesar CNY241,9 miliar pada 2018 dan diperkirakan akan mencapai CNY6,7 triliun pada 2025 mendatang. Apa yang membuat ekonomi influencer begitu moncer di China?

Berdasarkan laporan terbaru dari Statista, saat ini China adalah negara dengan konsumen digital terbesar di dunia dengan perkiraan jumlah konsumen sekitar 850 juta orang. Di negeri tirai bambu ini, internet – dan terutama – media sosial punya andil besar dalam mempengaruhi keputusan pembelian.

Survei terbaru yang dilakukan oleh Rakuten Insight tahun 2023 menunjukkan bahwa sistem endorsement yang diterapkan oleh influencer terbukti berhasil dalam mempromosikan barang-barang fashion dan kecantikan.

Tercatat ada tiga jenis barang yang laris manis diborong konsumen digital berkat di-endorse oleh influencer, yakni kosmetik, pakaian, dan barang elektronik. Selain itu, dalam survei lain yang dilakukan tahun 2022, sebanyak 67 persen responden juga mengaku membeli barang yang di-endorse oleh Key Opinion Leader (KOL) untuk menjiplak gaya mereka.

Di China, fenomena ini bahkan punya julukan tersendiri, yakni “Zhongcao” yang artinya menanam benih. Para influencer ibarat sedang menanam benih di alam pikiran para pengikutnya yang kelak akan mempengaruhi perilaku mereka dalam mengonsumsi suatu barang.

Cara Kerja Bisnis Agensi Influencer di China

Sebelum menjadi idola baru, Zhang “BB” Xi adalah anak muda dengan 300 ribu follower yang gemar mengunggah video-video tutorial kecantikan. Meskipun pengikutnya tergolong besar, tapi BB saat itu belum mampu menyulap ketenarannya di media sosial menjadi pundi-pundi uang.

Ruhnn Holding, salah satu agensi influencer mapan di China melihat potensi yang dimiliki oleh BB di kemudian hari.

Setiap bulan, Ruhnn memang mencari lebih dari 800 pengguna media sosial yang punya potensi untuk menjadi idola baru. Di antara lebih dari 800 pengguna baru itu, mereka yang masuk dalam radar pencarian Ruhnn adalah mereka yang memiliki jumlah pengikut minimal lima ribu. Dari sini serangkaian tes dilakukan.

Infografik Side Job Agensi Influencer

Infografik Side Job Agensi Influencer. tirto.id/Ecun

Salah satu tes tahap awal dilakukan dengan meminta mereka memilih foto yang bisa membantu melejitkan penjualan produk. Mac Zhou, Vice President Ruhnn mengatakan ini adalah bagian dari seleksi untuk melihat bakat pemasaran yang ada dalam diri calon kandidat. Setelah itu barulah pekerjaan Ruhnn yang sebenarnya dimulai.

Mereka menginvestasikan sedikit modal yang mereka punya, sekitar CNY2 ribu atau senilai USD290 untuk mengarahkan 10 ribu orang ke tiap-tiap akun calon kandidat. Jika akun-akun yang diarahkan itu bertahan, ini jadi indikator bagi Ruhnn untuk berinvestasi lebih besar.

Nantinya dari 800 lebih akun-akun amatir yang dijajaki, hanya ada 5-10 pengguna yang disodori kontrak eksklusif. Dengan cara inilah, Ruhnn menemukan bibit-bibit influencer baru yang akan membantu mereka mencetak uang lebih banyak.

Lauren Hallanan, seorang pakar pemasaran dari China yang secara khusus pernah menganalisis tren influencer marketing, mengatakan bahwa cara kerja bisnis agensi influencer ini mirip dengan cara kerja start-up, yakni lewat metode inkubasi.

Sistem Kerjasama

Setelah menerima kontrak eksklusif dari agensi, ada sederet klausul yang sudah pasti perlu ditaati oleh kedua belah pihak.

Di sisi manajemen, setelah kontrak ditandatangani, agensi memegang kendali atas akun influencer termasuk mengatur konten apa saja yang boleh diunggah, produk apa saja yang perlu dipromosikan, hingga interaksi dengan follower. Meski terdengar banyak aturan, namun ini justru jadi penilaian positif di mata klien.

Pasalnya, tak sedikit brand yang merasa dirugikan karena influencer, yang umumnya bekerja secara independen, melakukan berbagai pelanggaran yang membahayakan citra brand.

Seperti misalnya penggunaan fake follower, kerjasama terselubung dengan brand lain, penipuan give away, hingga konten yang tidak orisinil. Dalam konteks pasar China, sekarang ini hampir tidak mungkin menjadi influencer yang bekerja secara independen.

Sementara dari sisi influencer, mereka punya kesempatan menghasilkan konten yang berkualitas dan tampil profesional karena didukung dengan sumber daya yang lebih besar. Segala urusan dengan klien termasuk bagaimana terhubung dengan klien-klien baru yang lebih menjanjikan juga tak lagi jadi urusan mereka.

Ini membuat influencer lebih fokus menggunakan sebagian besar waktunya untuk menghasilkan konten dengan kualitas prima. Sebagaimana yang terjadi pada Wang Min atau yang lebih dikenal dengan nama Sister Xia, content creator asal China yang mendulang popularitas dari YouTube setelah bergabung dengan agensi bernama Xiaowu Brothers.

Agensi ini membantu Sister Xia lolos dari aturan pemerintah China yang melarang penggunaan YouTube. Sebagai gantinya, konten-konten yang diunggah oleh agensi Sister Xia berkontribusi sebesar 20% dari total pendapatannya seperti dilaporkan oleh Rest of World.

Berdasarkan laporan dari eMarketer, China saat ini berhasil membangun ekonomi influencer dengan catatan rata-rata pemakaian internet 6 jam 23 menit per hari. Angkanya cuma beda tipis dengan Indonesia yang bahkan menghabiskan waktu lebih lama untuk main-main di dunia maya.

Pertanyaannya, kalau begitu akankah industri influencer marketing kita punya kesempatan yang sama untuk menjadi besar seperti di China?

Baca juga artikel terkait SIDE JOB atau tulisan lainnya dari Ruhaeni Intan

tirto.id - Bisnis
Kontributor: Ruhaeni Intan
Penulis: Ruhaeni Intan
Editor: Dwi Ayuningtyas