Menuju konten utama

Batasan Influencer dan Upaya Mengubah Standar Kecantikan Umum

Prancis mulai memberlakukan peraturan untuk mengatur sepak terjang pemengaruh dalam berpromosi.

Batasan Influencer dan Upaya Mengubah Standar Kecantikan Umum
Ilustrasi Influencer. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kemajuan teknologi memberi keleluasaan sekaligus tekanan pada diri kita untuk mengoreksi penampilan sesuai kehendak hati. Hal ini banyak dimanfaatkan tidak hanya masyarakat umum untuk kepentingan pribadi, namun juga dilakukan oleh influencer atau pemengaruh dalam kegiatan bisnisnya.

Namun di Prancis, kini mulai ada aturan yang mengatur sepak terjang pemengaruh dalam berpromosi. Menyusul disahkannya Undang-undang (UU) yang melarang pemengaruh mengiklankan lotere dan judi daring pada 1 Juni lalu, tak lama lagi Prancis akan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) yang melarang pemengaruh mempromosikan tindakan bedah kosmetik.

Inggris sudah selangkah lebih maju daripada Prancis dengan memberlakukan peraturan untuk melarang promosi bedah kosmetik yang menargetkan anak berusia di bawah 18 tahun.

Efektif sejak 2022, larangan ini mencakup iklan dan upaya promosi apa pun di ranah media tradisional dan media sosial. Meski prosedur bedah kosmetik pada anak di bawah 18 tahun merupakan tindakan illegal di Inggris, sebelumnya tidak ada larangan untuk mengiklankannya.

Selain pasal tentang promosi tindakan bedah kosmetik, influencer di Prancis yang akan mengunggah konten foto maupun video juga kelak diwajibkan mencantumkan keterangan apabila konten tersebut sudah melalui proses penyuntingan — misalnya dengan aplikasi Photoshop atau filter tertentu.

Pelanggaran terhadap peraturan ini bisa dikenakan sanksi berupa kurungan selama enam bulan atau denda 300 ribu Euro (sekitar Rp 4,8 miliar).

Sebelumnya pada tahun 2017, Prancis sudah memberlakukan peraturan yang mewajibkan media tradisional mencantumkan label 'photographie retouchée' (retouched photograph) pada foto dan video yang sudah melalui proses rekayasa gambar.

Namun pada saat itu peraturan tersebut masih belum menjangkau para influencer yang melakukan aktivitasnya di ranah daring.

Penggagas pencantuman label pada foto hasil suntingan tersebut adalah mantan Menteri Kesehatan Prancis Marisol Touraine.

Waktu itu Touraine mengatakan bahwa peraturan tersebut diperlukan untuk menghindari promosi ide-ide kecantikan yang tidak dapat diakses oleh orang kebanyakan serta untuk mencegah kasus gangguan makan seperti anoreksia di kalangan remaja, terutama remaja perempuan.

Di Inggris, Otoritas Standar Periklanan/Advertising Standard Authority (ASA) pada tahun 2021 juga telah melarang unggahan konten promosi produk kecantikan yang disunting secara berlebihan.

Hasil suntingan yang tergolong wajar — poin-poin persyaratannya dijelaskan secara panjang lebar pada situs resmi ASA; masih boleh diunggah namun dengan menyertakan nota peringatan (disclaimer) tentang adanya proses rekayasa gambar.

Selama dua tahun belakangan, Norwegia pun telah memberlakukan Undang-undang yang mewajibkan influencer menambahkan keterangan pada foto yang telah disunting, ketika mengunggah konten untuk promosi berbayar.

Salah satu perkara yang mendasari diberlakukannya UU tersebut adalah maraknya pembahasan topik seputar ‘tekanan tubuh’ (body pressure)’ atau ‘kroppspress’ dalam bahasa Norwegia, di negara tersebut.

Reid Ivar Bjorland Dahl, Sekretaris Negara bagian Kementerian Anak dan Keluarga di Norwegia, seperti dilansir The Washington Post menyatakan bahwa tujuan pemerintah memberlakukan peraturan tersebut adalah agar anak-anak dan remaja di negara tersebut dapat tumbuh tanpa didera oleh tekanan untuk mengubah tubuh mereka.

Infografik Aku Cantik

Infografik Aku Cantik. tirto.id/Ecun

Standar Kecantikan yang Tidak Realistis

Keprihatinan banyak pihak terkait munculnya tekanan untuk mengubah kondisi fisik seseorang agar sesuai dengan standar kecantikan yang digaungkan oleh para pemilik jenama kecantikan dan pemengaruh di media tradisional dan media sosial bukanlah suatu hal yang tak beralasan.

Survei The Dove Global Beauty and Confidence Report yang dilakukan pada 10.500 responden perempuan berusia 10-64 tahun di 13 negara pada tahun 2016 mengungkap bahwa sebagian besar responden pernah mengalami krisis kepercayaan diri dan memiliki persepsi negatif terhadap tubuh mereka sendiri.

Menurut hasil survei tersebut, 69 persen responden perempuan dewasa dan 65 persen remaja perempuan menyatakan bahwa krisis kepercayaan diri ini dipicu oleh tekanan untuk memenuhi standar kecantikan tertentu.

Responden juga menyatakan ketidakpuasan terhadap penampilan fisiknya, karena tubuh mereka terlihat berbeda dengan tubuh perempuan yang tampil di televisi, majalah, dan media sosial.

Di Indonesia selama setidaknya tiga dasawarsa terakhir ini, definisi perempuan cantik menurut pendapat yang populer di masyarakat masih belum banyak bergeser dari sosok perempuan yang memiliki kulit cerah dan mulus, tubuh ramping semampai, wajah tirus, serta hidung mancung. Tipikal sosok perempuan yang biasa kita temukan dalam tayangan iklan di berbagai media.

Kabar baiknya, belakangan ini kesadaran masyarakat tentang pesan-pesan kesetaraan seperti keberagaman bentuk tubuh (body diversity) dan cara pandang tubuh secara positif (body positivity) mulai menguat.

Meski definisi perempuan cantik yang berlaku di masyarakat masih mengacu pada ciri-ciri fisik tertentu, banyak perempuan sudah berusaha membebaskan diri dari standar kecantikan yang tidak realistis.

Hal ini dibuktikan oleh hasil survei ZAP Beauty Index 2021 pada 6 ribu responden perempuan Indonesia berusia 15-65 tahun. Hasil survei menyebutkan bahwa saat ini definisi cantik telah meluas dan tidak melulu terkait dengan hal-hal fisik.

Konsep kecantikan holistik — yang fokus pada pemeliharaan kesehatan tubuh, pikiran, dan jiwa; kini mendapat porsi perhatian lebih besar di kalangan perempuan.

Karenanya, sekitar 56 persen responden menyatakan bahwa definisi cantik adalah merasa bahagia dan 48,9 persen responden menilai cantik adalah ketika seseorang mampu berpikir secara positif.

Dibandingkan hasil survei ZAP Beauty Index 2019 (survei kecantikan ini dilakukan setiap tahun oleh ZAP Clinic bekerja sama dengan Markplus, Inc), hasil survei yang dilakukan tahun 2021 juga mengungkap bahwa semakin sedikit perempuan Indonesia yang bergantung pada makeup untuk mempercantik diri.

Pada tahun 2019, sekitar 18,6 persen responden mengaku merasa cantik ketika menggunakan makeup dan pada tahun 2021 hanya 8,7 persen responden yang mengaku demikian.

Meski begitu, hasil survei yang dirilis ZAP pada tahun 2023 masih mendapati fakta kurang menggembirakan terkait cara pandang perempuan terhadap penampilannya.

Menurut hasil survei terbaru ini, sekitar 50,1 persen responden masih merasa insecure dengan kondisi kulit wajah mereka, 44,9 persen pada ukuran atau berat tubuh dan 33,2 persen merasa insecure pada bentuk tubuhnya.

Nyatanya, meski sudah terpapar konsep kecantikan holistik, perkara tampilan fisik masih menyita perhatian yang cukup besar di kalangan perempuan.

Tidak mengherankan bila hasil survei McKinsey yang dirilis tahun 2023 ini mengungkap bahwa industri kecantikan dunia masih terus berjaya dan bahkan diproyeksikan terus mengalami pertumbuhan hingga 6 persen per tahun.

Hasil survei tersebut juga menyebutkan bahwa garis pembatas antara industri kecantikan dan industri wellness telah semakin pudar dan definisi kecantikan sendiri mengalami pergeseran dari sebelumnya.

Salah satu perubahannya bisa jadi pada paradigma ‘cantik’ yang bergeser menjadi ‘sehat’, meski upaya yang dilakukan untuk mewujudkannya terkadang tidak jauh berbeda.

Misalnya, alih-alih membeli riasan, perempuan kini lebih memilih berinvestasi ke produk perawatan kulit. Tren makeup flawless atau makeup ‘no makeup’ yang mengutamakan penampilan natural juga hanya akan terlihat bagus apabila kulit wajah kita mulus, bukan?

Pembatasan Aturan yang Masih Problematik

Dalam era dimana kemajuan teknologi telah menyentuh berbagai bidang seperti saat ini, keinginan seseorang untuk mewujudkan penampilan fisik yang dikehendaki dapat difasilitasi oleh kemajuan teknologi.

Anggaran yang terbatas bukan masalah saat kini kita bisa bereksperimen di dunia maya dengan memanfaatkan filter foto dan teknologi manipulasi gambar lainnya. Sedangkan di dunia nyata, koreksi penampilan fisik bisa diwujudkan dengan bantuan riasan, perawatan kulit, dan tindakan bedah kosmetik.

Saat ini jenama-jenama kecantikan dunia berlomba memanfaatkan teknologi canggih untuk membuat layanan ke konsumen terasa semakin personal.

Di tengah begitu banyaknya alternatif cara untuk mengoreksi penampilan yang tersedia di pasaran, langkah pemerintah Prancis, Inggris, dan Norwegia membatasi pengaruh negatif pemengaruh dengan mewajibkan pencantuman label pada foto hasil suntingan memang patut diapresiasi.

Meski demikian, sebagian psikolog dan pakar pendidikan masih menyangsikan efektivitasnya.

Salah satunya adalah Sophia Choukas-Bradley, asisten profesor di Departemen Ilmu Psikologi dan Otak, Universitas Delaware, Amerika Serikat.

Ia berpendapat bahwa kewajiban pencantuman label pada foto tersebut ibaratnya hanya memasangkan plester pada luka sobekan besar, alias tak ada gunanya.

Pemberian label malah akan membuat orang jadi fokus memperhatikan bagian tubuh sebelah mana yang sudah diubah dari kondisi awal.

Selanjutnya, mereka jadi berpikir bahwa penyuntingan tersebut memang diperlukan, karena membuat seseorang tampak cantik. Jadi sama saja, perempuan tetap terbelenggu standar kecantikan yang ditampilkan lewat foto hasil suntingan tersebut.

Hingga kini, penelitian tentang cara efektif untuk melindungi perempuan dari efek berbahaya media sosial masih berlangsung.

Para ahli menekankan pentingnya sejumlah pendekatan di luar peraturan formal, misalnya dengan membatasi iklan produk atau jasa yang secara langsung berfokus pada penurunan berat badan, operasi plastik, atau cara lain untuk mengubah penampilan, sebagai tambahan dari peraturan yang telah diberlakukan pada pemengaruh saat ini.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Nayu Novita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Nayu Novita
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi