tirto.id - Kemajuan teknologi menyumbang berbagai perubahan dalam setiap lini kehidupan masyarakat modern, salah satunya soal perilaku konsumsi.
Dulu, saat akan membeli sebuah barang atau jasa, untuk mengetahui kualitasnya, seseorang harus pergi ke pusat perbelanjaan atau bertanya langsung ke penjual.
Tapi lain sekarang, untuk mengecek apakah barang yang diincar layak beli, seseorang kini cukup melihat ulasan dari para pemengaruh (influencer).
Influencer adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi konsumen potensial dengan mempromosikan suatu produk atau jasa di saluran media sosial mereka.
Saat ini media sosial bukan hanya ruang untuk berbagi pengalaman dan cerita, taoi juga menjelma pula sebagai lahan basah untuk bisnis. GWI, perusahaan penargetan audiens untuk industri pemasaran global mencatat jumlah konsumen yang mencari produk di media sosial telah meningkat 43 persen sejak 2015.
Dengan kepiawaian memengaruhi tersebut, seorang influencer dapat menjual produk secara instan, dan ikut mendulang keuntungan melalui model kerja sama pemasaran dengan pihak brand.
Hasilnya memang nyata. Menurut Marketing Dive, sebanyak 44 persen generasi Z melakukan pembelian berdasarkan rekomendasi dari influencer. Sementara hanya 26 persen populasi umum yang membeli sesuatu berdasarkan dari apa yang disarankan oleh influencer.
Influencer ini memiliki ceruk bidangnya sendiri, mulai dari makanan, perawatan tubuh, riasan, finansial, dan lain-lain. Jadi tinggal sesuaikan saja ulasan produk yang ingin dilihat berdasarkan dengan spesifikasi sang influncer.
Namun belakangan, muncul tren deinfluencing, yang khususnya bisa dilihat berseliweran di TikTok. Tagar #deinfluencing sendiri bahkan sempat mencapai lebih dari 484 juta penayangan di TikTok.
Konten deinfluencing menjadi viral karena melakukan hal yang berkebalikan dari konten influencer tradisional.
Alih-alih mempromosikan barang atau jasa, konten deinfluecing malah mencoba meyakinkan pengikut atau siapa pun yang menonton konten tersebut untuk tidak membeli sesuatu atau produk yang mereka rasa tidak sesuai dengan harapan. Sering kali konten deinfluencing juga mengajak supaya lebih bijak dalam berbelanja.
Awal Mula Deinfluencing
Ada beberapa alasan mengapa deinfluencing menjadi sebuah tren. Salah satu yang bisa disebut pemicunya adalah kontroversi influencer seperti yang terjadi pada TikToker Mikayla Nogueira.
Dia dituduh memakai bulu mata palsu sementara saat itu ia tengah memberikan ulasan produk maskara merk L'Oreal. Hal tersebut menyebabkan orang mempertimbangkan apakah harus benar-benar mempercayai apa yang dikatakan dan ditampilkan oleh influencer atau tidak.
Sementara itu, Profesor Greg Hoplamazian dari Loyola University menyebut tren deinfluencing itu muncul untuk menanggapai secara langsung influencer. Orang-orang menjadi lelah karena banyaknya influencer dan banyaknya [roduk yang mereka rekomendasikan.
Banjir rekomendasi produk yang tidak ada habisnya ini yang terkadang membuat beberapa orang terjebak dalam perilaku pemborosan dan konsumsi berlebih.
Kelahiran tren deinfluencing juga merupakan simbol dari realitas potensi resesi ekonomi global dan juga meningkatnya inflasi serta biaya hidup.
Tren pun menjadi tanggapan dari orang yang lebih sadar tentang bagaimana mereka membelanjakan uangnya, termasuk beralih dari pembelian produk yang mahal ke lebih murah atau fungsional.
"Tren ini bagus, terutama saat ini ketika kita akan memasuki resesi dan banyak yang mencari cara untuk mengurangi pengeluaran," kata Danica Nelson, seorang content creator gaya hidup dan keuangan.
Dampak Deinfluencing
Pemasaran dengan menggunakan influencer memang terus mengalami kenaikan. Secara global nilainya tumbuh dari $ 1,7 miliar pada tahun 2016 menjadi $14,6 miliar pada tahun 2022.
Pertumbuhan ini disebabkan oleh makin populernya format video pendek di platform seperti TikTok, Facebook, dan YouTube. Selain itu juga efek pandemi global yang mendorong tingkat konsumsi media sosial, serta optimalisasi pengumpulan data yang digunakan industri untuk beriklan di media sosial.
Hasilnya, bisa ditebak. Sebanyak 95 persen brand beralih ke influencer media sosial untuk mempromosikan produk mereka. Hanya saja dengan adanya tren deinfluencing, tidak jelas apakah itu akan memengaruhinya atau tidak.
Namun bagi Nelson, deinfluencing sendiri sebenarnya adalah strategi yang dapat digunakan pembuat konten untuk membangun kepercayaan dengan audiens mereka.
Pasalnya, belakangan mulai terjadi pergeseran di mana orang-orang mulai menyoroti dan mempertanyakan keaslian serta kejujuran para influencer dalam memberikan ulasannya.
Ketidakpercayaan ini memang tidak bisa dilepaskan karena menurut tim peneliti dari Cardiff University terjadi sesuatu yang disebut dengan "konflik peran".
Pengikut mengharapkan rekomendasi jujur dan tidak memihak dari influencer, sementara pihak brand mengharapkan para influencer untuk menampilkan produk mereka secara positif.
Harapan ini berbenturan dan menciptakan ketidakpercayaan. Hingga akhirnya para pengikut ini memilih untuk berhenti mengikuti atau menghindari konten dari influencer yang tidak lagi mereka percayai.
Dalam hal ini, tren deinfluencing bisa menjadi cara untuk membangun kembali kepercayaan pengikut, yaitu dengan cara memberikan ulasan produk yang lebih jujur dan kritis.
Dengan ulasan kritis, influencer menunjukkan kepada pengikutnya bahwa mereka lebih menghargai hubungan dengan pengikut dibandingkan brand. Kepercayaan ini adalah kunci untuk mempertahankan peran influencer yang pada akhirnya lagi akan menarik perhatian pihak brand.
Bukannya menjadi akhir dari era influencer, deinfluencing pun menjadi sebuah ajang untuk menegaskan kembali peran mereka sebagai pemengaruh dan mendapatkan kepercayaan melalui transparansi dan keaslian.
Hal ini juga diungkapkan oleh Nelson. Orang-orang cenderung ingin membangun hubungan yang lebih dalam dengan pembuat konten yang otentik dan jujur daripada mereka yang selalu mengunggah ulasan positif atau membagikan cuplikan kehidupan yang selalu sempurna.
"Orang-orang cenderung tertarik dengan kreator yang berkomitmen untuk transparan dan kreator yang tidak hanya fokus pada sorotan," tambah Nelson.
Sementara itu ditilik dari sisi brand, deinfluencing juga dapat memberikan informasi yang sangat berharga bagi brand sehingga berpotensi menghadirkan peluang pemasaran baru.
"Hal itu akan menjadi peluang besar yang terlewatkan jika brand tidak secara aktif memperhatikan produk mereka yang tidak terpengaruh dan dikritik di media sosial," kata Nelson.
Ini menjadi berkah terselubung karena untuk memberikan informasi atau wawasan kepada konsumen biasanya perlu studi penelitian yang mahal dan memakan waktu. Namun dengan memanfaatkan tren tersebut, semuanya bisa dipangkas.
Pada kenyataannya pula, banyak influencer menggunakan video deinfluencing sebagai peluang untuk memasang produk alternatif untuk produk yang mereka kritik.
“Untuk influencer yang mengkritik satu produk demi produk lain, itu bisa jadi taktik penjualan. Influencer mungkin juga akan menyebutkan brand tertentu untuk mencoba memposisikan diri mereka supaya mendapatkan kesepakatan lain di masa mendatang,” ungkap Dr. Brad Klontz, perencana keuangan bersertifikat dan psikolog keuangan.
Sehingga dalam hal ini, deinfluencing menjadi kesempatan bersama bagi konsumen, influencer, dan brand untuk mengevaluasi kembali kebiasaan pemasaran dan konsumsi masyarakat.
"Di zaman hampir semuanya adalah iklan dan orang menjadi lebih mudah dipengaruhi oleh produk dan layanan yang mereka lihat di media sosial, tren deinflunecing ini merupakan perspektif menyegarkan," ungkap Nelson.
Namun terlepas dari itu, penting bagi seorang konsumen untuk tetap cerdas dan bijak dalam menentukan produk yang akan dibeli sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Bukan hanya berdasarkan rekomendasi para pemengaruh semata yang berujung pada pembelian impulsif.
Seperti yang diungkapkan profesor Hoplamazian. Aturan sederhananya adalah, ikuti seseorang hanya jika Anda menikmatinya untuk hiburan, dan jangan menaruh semua kepercayaan serta keyakinan pada apa yang para influencer rekomendasikan.
Penulis: MN Yunita
Editor: Lilin Rosa Santi