Menuju konten utama
AI & Disrupsi Dunia Kerja

AI dan Masa Depan Kerja: Antara Peluang dan Ancaman

World Economic Forum memperkirakan akan ada 83 juta pekerjaan hilang berbanding dengan 69 juta pekerjaan baru akibat otomatisasi dan adopsi AI.

AI dan Masa Depan Kerja: Antara Peluang dan Ancaman
Header Decode Gelombang AI dan Disrupsi Dunia Kerja. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) menjadi kekuatan transformasional yang mengubah lanskap dunia kerja secara fundamental. AI membawa antusiasme dan kekhawatiran di saat bersamaan. Kemajuan teknologi ini menciptakan peluang baru, tetapi di lain sisi menimbulkan disrupsi besar terhadap struktur ketenagakerjaan global.

Dalam beberapa tahun kebelakang, keberadaan AI mulai menggantikan berbagai fungsi pekerjaan manusia, mendorong perusahaan untuk merestrukturisasi model operasional mereka. Ujungya menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri.

Laporan Future of Jobs 2023 yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF) memprediksi bahwa sebanyak 83 juta pekerjaan akan hilang secara global akibat otomatisasi dan adopsi AI pada tahun 2027. Di sisi lain, kehadiran AI diprediksi akan menciptakan sekitar 69 juta pekerjaan baru.

Namun, tetap saja ada selisih sekitar 14 juta pekerjaan yang diperkirakan hilang—sebuah angka yang menunjukkan bahwa dampak AI tidak bisa dipandang sebelah mata.

Prediksi serupa juga muncul dari riset yang dirilis International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2024. Lembaga ini memperkirakan hampir 40 persen pekerjaan secara global akan terdampak oleh AI.

Angkanya bahkan lebih tinggi di negara-negara maju, di mana sekitar 60 persen pekerjaan berpotensi terdampak. Menariknya, dampak tersebut terbagi dua: separuh pekerjaan yang terdampak diprediksi mengalami pengaruh negatif—berisiko tergantikan atau berkurang nilainya, sementara separuh lainnya justru berpotensi terdongkrak oleh kehadiran AI.

Temuan IMF mengungkap tidak semua wilayah di dunia mengalami disrupsi dengan skala yang sama. Di negara berkembang dan negara berpenghasilan rendah, tingkat keterpaparan terhadap AI diperkirakan lebih rendah, berturut-turut 40 persen dan 26 persen.

Sekilas, data ini tampak melegakan. Akan tetapi, ketidaksiapan infrastruktur digital dan kurangnya tenaga kerja terampil justru menempatkan negara-negara tersebut dalam posisi rawan tertinggal.

Selaras dengan temuan tersebut, data terbaru juga mengindikasikan bahwa banyak perusahaan telah bersiap menghadapi dampak AI dengan merombak struktur tenaga kerja mereka. Laporan Future of Jobs 2025 yang dirilis WEF menyebut bahwa sebanyak 41 persen pemberi kerja berencana mengurangi jumlah tenaga kerja sebagai dampak dari otomatisasi yang dilakukan oleh teknologi AI terhadap sejumlah fungsi pekerjaan.

Sejumlah perusahaan bahkan secara terang-terangan telah melakukan pemangkasan karyawan imbas keberadaan AI. Perusahaan teknologi raksasa Microsoft misalnya, belum lama ini mengumumkan PHK terhadap sekitar 3 persen dari total tenaga kerjanya. Angka ini setara dengan 6.000 karyawan. Microsoft melakukan PHK terkait upaya untuk menekan biaya sambil mengalokasikan miliaran dolar ke dalam ambisi besar mereka di bidang kecerdasan buatan.

Langkah serupa diambil oleh International Business Machines Corporation (IBM) yang merencanakan penggantian 30 persen posisi back-office dengan AI dalam lima tahun ke depan—setara dengan sekitar 7.800 pekerjaan yang berisiko hilang. Tak ketinggalan, DBS Bank, salah satu lembaga keuangan terbesar di Singapura, juga menyatakan akan memangkas hingga 4.000 posisi dalam tiga tahun ke depan akibat adopsi teknologi AI yang semakin agresif.

Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Sejauh mana kehadiran AI berdampak pada disrupsi ketenagakerjaan Tanah Air?

Otomatisasi dan Potensi Hilangnya Jutaan Pekerjaan

Kehadiran AI dan otomatisasi berpotensi membentuk ulang lanskap ketenagakerjaan Indonesia. Dalam laporan berjudul 'Automation and The Future of Work in Indonesia', rilisan tahun 2019, McKinsey memprediksi bahwa sekitar 23 juta pekerjaan di Indonesia akan hilang akibat otomatisasi pada tahun 2030.

Pada masa tersebut sekitar 16 persen dari total jam kerja di Indonesia diperkirakan akan dapat diotomatiskan melalui penerapan sejumlah teknologi, sesuai dengan skenario menengah dalam kecepatan penerapan otomasi

Kekhawatiran serupa disampaikan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan. Dia sempat mengutip data dari WEF pada tahun 2023, untuk menekankan ketimpangan antara pekerjaan yang hilang dan yang tercipta. Hal ini menjadi tantangan utama dalam transisi menuju ekonomi berbasis teknologi.

Di tengah kekhawatiran tersebut, sejumlah kajian menyoroti peluang ekonomi yang dapat dimaksimalkan dari adopsi teknologi AI.

Laporan berjudul 'Dampak Ekonomi AI Generatif: Masa Depan Pekerjaan di Indonesia' yang disusun oleh ELSAM, bekerja sama dengan Access Partnership (2023), memperkirakan kehadiran AI generatif dapat membuka potensi kapasitas produksi di Indonesia. Nilainya ditaksir sebesar 243,5 miliar dolar AS, atau setara dengan ⅕ Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2022.

Meski demikian, laporan yang sama mengungkap adopsi AI generatif masih terbatas. Sekitar 52 persen tenaga kerja di Indonesia diperkirakan akan menggunakan AI generatif, untuk 5–20 persen dari aktivitas kerja mereka. Hanya satu persen pekerja yang diperkirakan akan memanfaatkan AI generatif secara lebih intensif, yakni untuk lebih dari 20 persen aktivitas kerjanya

Sektor manufaktur dan konstruksi Indonesia berpotensi menjadi kontributor terbesar pada peningkatan ekonomi secara menyeluruh yang dihasilkan dari AI generatif. Meski begitu, otomatisasi pekerjaan rutin oleh AI dapat menyebabkan pengurangan jumlah pekerjaan manual, terutama di sektor-sektor seperti pertanian, grosir serta retail atau eceran yang diprediksi menjadi yang paling terdampak dari kehadiran AI.

Penerapan AI juga menyisakan dampak negatif, terutama terhadap sektor-sektor yang padat karya dan berisiko tinggi untuk diotomatisasi. Pertanian, perdagangan grosir, dan sektor ritel termasuk di antara bidang yang diprediksi akan terdampak signifikan akibat keberadaan AI. Dalam konteks ini pekerja dengan keterampilan rendah menjadi kelompok paling rentan.

Sementara, Pakar Ekonomi Universitas Airlangga, Sri Herianingrum, menilai bahwa otomatisasi cenderung mengancam keberlangsungan pekerjaan yang bersifat rutin dan repetitif. Ia mencontohkan, penggunaan AI dalam sektor jasa, seperti perbankan, berpotensi mengurangi kebutuhan tenaga kerja di bagian layanan pelanggan dan administrasi.

“Pekerjaan skill rendah yang bisa dilakukan otomatis dengan robot dan seterusnya itu juga akan mengurangi jumlah tenaga kerja pula. Contohnya, pekerjaan di sektor jasa, terutama yang melibatkan tugas-tugas rutin dan repetitif,” ujarnya (19/4/2024) dikutip dari situs resmi Universitas Airlangga.

Senafas, laporan terbaru yang dirilis oleh International Labour Organization (ILO), pada Mei 2025 mengungkap, pekerjaan administratif merupakan sektor yang paling rentan terdampak keberadaan AI. Hal ini disebabkan banyaknya tugas rutin yang dapat diotomatisasi secara efisien oleh teknologi tersebut.

Meski begitu, sektor-sektor ketenagakerjaan yang sangat bergantung pada keterampilan kognitif digital—seperti media, perangkat lunak, dan keuangan—juga menunjukkan tingkat paparan dampak keberadaan AI yang meningkat dari tahun ke tahun.

Dari sisi demografi kelompok sosial dan demografis yang paling terdampak oleh kehadiran AI mencakup perempuan, pekerja dengan keterampilan rendah, dan pekerja yang lebih tua.

Ilustrasi Chat GPT

Ilustrasi Chat GPT. foto/istockphoto

Di kasus perempuan, kecenderungan bekerja di sektor-sektor yang sangat terpapar otomatisasi seperti layanan, penjualan, dan dukungan administratif, membuat mereka rentan terdampak negatif akibat keberadaan AI.

Selain itu kondisi lapangan pekerjaan, terutama dibidang Sains Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM), juga masih bias gender. Hal ini lantaran platform digital yang bekerja berbasiskan data eksisting yang condong menguntungkan laki-laki.

Kekhawatiran terhadap disrupsi AI tidak hanya datang dari sektor padat karya. Di kalangan pekerja media dan industri kreatif, kekhawatiran serupa turut mengemuka.

Riset yang dilakukan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) bersama SINDIKASI mengungkap bahwa sebanyak 58 persen pekerja di sektor ini menyatakan kekhawatirannya terhadap potensi tergantikannya peran mereka oleh teknologi otomatisasi.

Baca juga artikel terkait KECERDASAN BUATAN atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - Teknologi
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto