tirto.id - "Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang." Begitulah pesan singkat tapi nendang yang dulu dilontarkan oleh trio Warkop: Dono, Kasino, dan Indro. Akan tetapi, apa yang terjadi apabila tertawa bukan urusan boleh atau tidak, tetapi telah menjadi semacam obligasi sosial?
Ketawa karier, begitulah kira-kira para pekerja ibu kota menyebutnya. Eksekusinya bisa berbeda-beda karena setiap orang pasti punya cara tertawa sendiri-sendiri. Namun, yang pasti, ketawa karier selalu muncul di saat sama, yakni ketika atasan mengeluarkan lelucon.
Peduli setan lelucon tersebut lucu atau tidak, ketawa karier harus dikeluarkan pada momen-momen tersebut supaya, yah, karier di kantor jadi aman. Maka, meskipun mungkin dalam hatinya memendam rasa kesal, mau tidak mau sang karyawan mengeluarkan tawa kariernya; sebuah mekanisme bertahan hidup dalam kultur korporat yang siap selalu dimunculkan kapan pun dibutuhkan.
Keharusan untuk tertawa demi karier memang sangat menyebalkan dan melelahkan. Tawa di sebuah kantor mestinya bisa menjadi indikator tingkat kepuasan kerja. Akan tetapi, berbagai faktor lain yang tidak seharusnya tersebut membuat hal positif semacam itu justru menjadi mimpi buruk bagi "pelakunya".
Nikmatnya Kantor yang Penuh Tawa
Humor di kantor bukan sekadar bumbu penyedap suasana. Lebih dari itu, ia bisa menjadi "vitamin harian" bagi kesehatan mental. Riset menunjukkan, tertawa bersama rekan kerja mampu menurunkan stres, melenturkan otot-otot yang tegang, sekaligus memicu pelepasan hormon bahagia, seperti endorfin, dopamin, dan oksitosin, seraya menekan kadar kortisol, hormon pemicu stres.
Bahkan, sebuah studi yang dikutip oleh Harvard Business Review menemukan bahwa karyawan yang menonton klip komedi sebelum bekerja bisa menjadi sekitar 10 persen lebih produktif dibanding mereka yang tidak. Tawa juga terbukti memperkuat hubungan antarrekan kerja, membuka jalur komunikasi yang lebih cair, dan memantik ide-ide kreatif yang mungkin tak muncul di ruang rapat serius.
Bayangkan suasana kantor yang ideal itu seperti sitkom favorit Anda. Semua orang tahu waktu yang pas untuk melontarkan punchline, dialognya mengalir alami, dan penonton—dalam hal ini karyawan lain—ikut terhibur karena candaan yang dilontarkan memang lucu, bukan karena terpaksa apalagi dipaksa.

Tertawa untuk “Bertahan Hidup”
Sayangnya, tidak semua tawa di kantor adalah tawa yang lahir dari hati. Dalam banyak kasus, terutama ketika lelucon datang dari atasan, tawa itu berubah menjadi semacam kewajiban. Peneliti menyebut fenomena itu sebagai surface acting, yakni memalsukan atau melebih-lebihkan emosi positif, seperti senyum dan tawa, demi memenuhi ekspektasi sosial di tempat kerja.
Sepintas, ketawa karier tampak sepele. "Apa, sih, susahnya cuma tertawa di saat-saat tertentu?" Tapi, usut punya usut, surface acting seperti ketawa karier ternyata bukanlah aktivitas ringan. Ia menguras energi mental karena memaksa otak dan tubuh untuk menjalankan “lembur emosional”. Setiap kali karyawan harus tertawa untuk menghargai, atau setidaknya menjaga perasaan atasan, sedikit demi sedikit cadangan energi itu terkikis.
Studi yang dipublikasikan ulang oleh Business Insider menemukan, tekanan untuk ikut tertawa, terutama pada lelucon yang tidak lucu, berkorelasi positif dengan peningkatan kelelahan emosional dan penurunan kepuasan kerja.
Kelelahan emosional dapat terlihat dari beberapa tanda-tanda, seperti sulit fokus, cepat tersinggung, dan pada tahap tertentu muncul perasaan terasing dari pekerjaan sendiri. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut dapat menurunkan kepuasan kerja secara signifikan, bahkan mendorong niat untuk keluar dari perusahaan.
Di Indonesia, beban ketawa karier makin berat karena faktor budaya. Tingkat relasi kuasa yang tinggi membuat bawahan merasa lebih wajib untuk mengikuti “aturan tak tertulis” di kantor. Kalau bos tertawa, semua ikut tertawa. Dalam kerangka hierarki yang kaku, menahan tawa bisa dianggap menentang, sementara ikut tertawa dipersepsikan sebagai tanda loyalitas, meskipun sebenarnya terpaksa. Hasilnya, yang awalnya dimaksudkan untuk mencairkan suasana malah bisa menjadi sumber stres baru.
Tawa untuk Kesehatan Mental Diri, Bukan demi Karier
Tidak ada yang salah dengan humor di tempat kerja selama porsinya tepat. Para peneliti menekankan bahwa pemimpin sebaiknya mengutamakan kualitas daripada kuantitas humor. Satu atau dua lelucon yang relevan dan benar-benar mengena akan jauh lebih efektif daripada banjir candaan yang membuat bawahan merasa harus terus-menerus memasang tawa karier.
Bagi pemimpin, penting untuk membaca reaksi bawahan secara natural. Tawa tulus biasanya muncul spontan, bukan serempak atau setengah hati. Jangan pula menganggap tawa sebagai indikator mutlak kedekatan atau kepuasan kerja, sebab ada kemungkinan itu hanyalah surface acting. Humor seharusnya menjadi jembatan komunikasi, bukan ujian loyalitas yang diam-diam membebani hubungan kerja.
Toh, ekspresi manusia tidak bisa berbohong, bahkan untuk hal sesepele tertawa sekalipun. Sebuah studi yang terbit di jurnal Cerebral Cortex (2015) menunjukkan, tertawa palsu dan tertawa tulus menimbulkan respons yang berbeda terhadap pendengarnya.
Penelitian yang ditulis oleh McGettigan dan kolega tersebut menemukan, tertawa palsu lebih banyak mengaktifkan bagian otak yang disebut anterior medial prefrontal cortex (amPFC) dan anterior cingulate cortex (ACC). Area tersebut berkaitan dengan fungsi menafsirkan keadaan emosional dan niat orang lain. Artinya, si pendengar justru akan lebih curiga dengan orang yang tertawa palsu.
Kalaupun seorang karyawan selalu ikut tertawa saat atasannya mengeluarkan lelucon, bukan berarti si atasan menerimanya begitu saja. Melihat hasil studi di atas, besar kemungkinan si bos memiliki penafsiran lain terhadap respons ketawa dari para karyawan tersebut. Hal itu justru membawa risiko lain pada momen lain, termasuk karier.
Bagi karyawan, menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga performa. Mengakui bahwa Anda lelah secara emosional bukanlah tanda kelemahan. Temukan cara meredakan ketegangan tanpa harus selalu ikut tertawa jika memang tidak lucu, entah melalui obrolan santai dengan rekan setingkat atau humor internal yang lebih aman. Membangun hubungan profesional yang sehat akan mempermudah Anda memberi umpan balik kepada atasan tanpa merasa terancam.
Humor yang dikelola dengan bijak bisa menjadi pelumas sosial yang menjaga mesin kantor tetap berjalan mulus. Sebaliknya, humor yang berlebihan atau dipaksakan hanya akan membuat mesin itu cepat aus dan kehabisan tenaga di tengah jalan.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































