tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan tugas baru kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk bertanggung jawab me-replanting dan mengembangkan industri berbasis kakao dan kelapa.
Penambahan tugas ke lembaga yang berada di bawah Kementerian Keuangan ini akan dibarengi dengan pembentukan dua kedeputian baru, yakni Deputi Kakao dan Deputi Kelapa.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi), Tungkot Sipayung, menilai rencana ini justru berpotensi memunculkan masalah tata kelola baru pada BPDPKS.
Pasalnya, legalitas pembentukan dan penugasan BPDPKS, mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, hingga Peraturan Menteri Keuangan, seluruhnya hanya diperuntukkan bagi pengelolaan komoditas kelapa sawit.
“Sehingga jika komoditas kelapa dan kakao hanya dimasukkan ke BPDPKS akan memunculkan masalah tata kelola. Butuh perubahan menyeluruh aspek tata kelola BPDPKS yang ada selama ini jika komoditi yang ditangani berubah di luar sawit,” katanya saat dihubungi Tirto, Jumat (12/7/2024).
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang menjadi dasar pembentukan BPDPKS, disebutkan bahwa dana pungutan adalah dari dan untuk pelaku usaha.
Ini sesuai dengan fungsi pungutan sebagai CPO Supporting Fund (CSF) yang akan digunakan sebagai pendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan.
“Artinya dana sawit yang ada selama ini harus kembali dan hanya untuk industri sawit. Dana sawit tidak bisa digunakan ke komoditi lain seperti kelapa dan kakao,” tegas Tungkot.
Kemudian, mengharapkan BPDPKS untuk berbuat banyak, termasuk me-replanting atau merevitalisasi industri kakao dan kelapa justru akan terbentur pada keterbatasan kewenangan, imbas terbatasnya mandat BPDPKS.
Saat ini saja, komoditas kelapa sawit masih terus mengalami masalah fundamental karena kebijakan yang tersekat-sekat dan tidak selaras antar kementerian.
Sedangkan BPDPKS hanya dihadirkan untuk memungut dana, mengelolanya, dan menyalurkan kembali pada industri kelapa sawit. Sementara kebijakan dari hulu ke hilir industri kelapa sawit ada di kementerian/lembaga lain.
“Dengan ketiga hal tersebut, pemerintah sebaiknya jangan sepotong-sepotong tetapi secara integratif. BPDPKS ditransformasi menjadi Badan Nasional Komoditas Perkebunan Strategis langsung di bawah presiden,” tambah Tungkot.
Cakupan komoditasnya meliputi sawit, kelapa, kakao, gula, kopi, karet dan teh. Dus, badan tersebut tidak hanya mengurus pembiayaan seperti dana sawit, tetapi juga kebijakan hulu hilir secara terintegrasi.
“Sumber pendanaan selain export levy, juga dimungkinkan import levy,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menilai alih-alih menambah tugas baru untuk BPDPKS, pemerintah seharusnya lebih fokus untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit nasional. Mengingat dalam 5 tahun terakhir, produksi kelapa sawit Indonesia stagnan dan cenderung menurun.
“Kalau Gapki lebih melihat bahwa produktivitas kita ini turun dan 5 tahun terakhir produksi stagnan, oleh karena itu perlu percepatan replanting utamanya PSR (Perkebunan Sawit Rakyat),” ungkapnya kepada Tirto, Jumat (12/7/2024)
Eddy khawatir, jika tidak ada pungutan baru dari industri kakao dan kelapa, dana yang ada di BPDPKS tidak akan mencukupi untuk pengelolaan komoditas lain. Terlebih, untuk meningkatkan produktivitas industri kelapa sawit, BPDPKS juga membutuhkan dana besar.
“Jadi apabila kondisi produktivitas dan produksi seperti ini sebaiknya fokus dulu membenahi sawit. Karena dana hibah PSR yang rencananya akan dinaikkan dari Rp30 juta ke Rp60 juta sampai saat ini juga belum terealisasi, karena untuk peremajaan paling tidak dana yang dibutuhkan sekitar Rp70 juta,” jelas Eddy.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi