Menuju konten utama

Jiwasraya Pernah Sakit dan Tak Kunjung Sembuh

Laporan keuangan Jiwasraya tampak sehat, tapi sebenarnya menyimpan sakit dari dalam.

Jiwasraya Pernah Sakit dan Tak Kunjung Sembuh
Ilustrasi Jiwasraya. tirto.id/Lugas

tirto.id - Lima tahun lalu, 13 Oktober 2014, PT Asuransi Jiwasraya menggelar syukuran besar-besaran untuk menandai perusahaan bebas dari utang Rp6,7 triliun. Logo perusahaan asuransi pelat merah itu pun diganti logo yang baru.

Dahlan Iskan, Menteri BUMN saat itu, hadir. Kepada para wartawan dan tamu undangan, ia membangga-banggakan Jiwasraya sebab mampu menyelesaikan utang tanpa tambahan modal dari pemerintah.

“Saya sungguh-sungguh salut kepada Pak Hendrisman dan tim direksi Jiwasraya. Tidak putus asa, pantang menyerah, dan semangatnya tidak kendor,” kata Dahlan menyebut Hendrisman Rahim yang menjabat sebagai direktur utama sejak 2008 sampai 2017.

Saat Hendrisman masuk ke Jiwasraya, perusahaan punya defisit likuiditas hingga Rp6,7 triliun. Angka ini adalah selisih dari total aset dan kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban membayar utang sesuai jatuh tempo.

Menurut keterangan Hendrisman, utang itu adalah buntut dari krisis moneter 1998. Dengan utang sebanyak itu dan tanpa tindakan penyelamatan apa pun, Jiwasraya seharusnya sudah dilikuidasi.

Hendrisman sempat ingin mengajukan penyelamatan Jiwasraya dengan skema penyertaan modal negara (PMN). Namun, ide itu ditolak Kementerian BUMN.

Ide lain yang diajukan untuk menyelamatkan Jiwasraya adalah menerbitkan zero coupon bond—surat utang tetapi tanpa bunga. Sederhananya, Jiwasraya meminjam uang pemerintah, lalu diganti tanpa bunga. Skema itu akhirnya mental, ditolak oleh Kementerian Keuangan.

Langkah penyelamatan yang kemudian diambil waktu itu adalah skema reasuransi—sebuah skema membagi risiko. Sayangnya, langkah itu tak bisa benar-benar cepat menyelamatkan Jiwasraya. Ia hanya bisa mengulur waktu sembari perusahaan berbenah diri.

Skema reasuransi diperkirakan bisa menyembuhkan Jiwasraya dalam waktu 10 tahun. Namun, baik pemerintah maupun regulator waktu itu hanya membolehkan Jiwasraya menggunakan skema tersebut selama dua tahun.

Setelah menjalankan skema itu selama dua tahun, terjadi penurunan utang, dari Rp6,7 triliun menjadi Rp5,3 triliun. Regulator akhirnya setuju memperpanjang skema reasuransi selama dua tahun lagi. Lalu, defisitnya turun lagi menjadi Rp4,1 triliun.

Tahun 2013, terjadi perubahan standar akuntansi dan ada imbauan bahwa seluruh perusahaan asuransi jiwa di Indonesia harus menggunakan International Financial Reporting Standard (IFRS). Ketika beralih ke sistem akuntansi yang baru itu, Jiwasraya memiliki kesempatan untuk merevaluasi aset properti. Hasil revaluasi aset itulah yang menutupi beban Jiwasraya.

“Waktu itu, produk-produk yang menjanjikan bunga tinggi, saya stop,” kata Indra Catarya Situmeang, eks Direktur Pertanggungan Jiwasraya kepada Tirto.

Selain itu, pemerintah membantu dengan membebaskan pajak pertambahan nilai dari revaluasi aset. Dividen yang harusnya dibayarkan ke negara juga dialihkan menjadi modal.

Acara syukuran untuk merayakan utang yang lunas itu tampak megah. Jajaran direksi berkomentar bangga dengan pencapaian mereka. Rencana-rencana untuk segera mencari investor strategis atau bahkan melantai di bursa saham pun digembar-gemborkan kepada wartawan.

“Kami perlu investor strategis untuk membangun Jiwasraya ini agar bisa compete dengan JV [joint venture]. Di atas kami, kan, JV semua soalnya,” kata Hary Prasetyo, Direktur Keuangan Jiwasraya saat itu.

Ia berkata lunasnya utang akan menjadi titik balik bagi Jiwasraya untuk lebih berkembang.

Dari laporan keuangan yang dipublikasikannya, Jiwasraya memang terlihat baik-baik saja, tampak tumbuh dengan pesat. Tahun-tahun berikutnya, pendapatan premi Jiwasraya tampak kemilau.

Tahun 2017, perusahaan mencatatkan perolehan premi Rp21,8 triliun--dua kali lipat dari premi yang didapatkan pada 2015. Tahun 2016, ia membukukan laba bersih Rp1,7 triliun. Orang awam akan melihatnya sebagai sebuah perusahaan asuransi yang sangat sehat.

Sayangnya, laporan keuangan itu tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di tubuh Jiwasraya.

Pada 10 Oktober 2018, perusahaan asuransi jiwa itu mengirim surat kepada tujuh bank mitra penjualan produk bancassurance bernama JS Proteksi. Surat itu menjelaskan bahwa Jiwasraya tidak mampu membayar polis jatuh tempo kepada 1.286 pemegang polis senilai Rp802 miliar.

Kalau memang keuangan Jiwasraya sudah pulih dan sehat seperti tampak pada laporan keuangannya, mengapa sampai gagal bayar?

Infografik HL Indepth Jiwasraya

Infografik Kinerja Jiwasraya

Menurut data yang kami himpun dari laporan keuangan Jiwasraya, tren yang terjadi sejak 2009 sampai 2014 adalah ada kenaikan premi sekitar Rp1 triliun setiap tahun; kadang kurang, kadang lebih sedikit.

Namun, pada 2015, pendapatan premi melonjak hingga 60 persen dibandingkan tahun 2014. Ada penambahan Rp4 triliun pada pendapatan premi. Tahun 2016, pertumbuhannya lebih menakjubkan lagi, sebesar 77 persen, dari sebelumnya Rp10,2 triliun menjadi Rp18,08 triliun.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan premi yang tumbuh. Ia menjadi soal karena komposisi premi didominasi oleh premi baru dan dari produk dengan metode pembayaran premi sekaligus, bukan berkala.

Premi sekaligus adalah premi yang dibayar nasabah sekaligus di awal untuk masa proteksi hingga beberapa tahun ke depan. Sedangkan premi berkala adalah premi-premi yang dibayar tiap bulan, tiap tiga bulan, tiap enam bulan, atau mungkin tiap tahun.

JS Proteksi menjadi salah satu produk dengan premi sekaligus yang ditawarkan kepada nasabah kaya lewat bank-bank. Manfaat yang diterima nasabah bukan hanya proteksi, tetapi juga investasi. Jiwasraya menjanjikan imbal hasil sekitar 7 persen.

“Kalau premi berkala itu kakinya banyak, sementara premi sekaligus ini kakinya cuma satu, ia membuat sebuah perusahaan asuransi menjadi tidak sustain [berkelanjutan],” jelas Indra, mantan Direktur Jiwasraya, yang juga aktuaris dan kini bekerja sebagai konsultan.

Indra enggan berkomentar banyak tentang Jiwasraya secara spesifik. Ia hanya menjelaskan secara umum bahwa dalam prinsip asuransi, yang paling penting adalah prinsip gotong royong dan keberlanjutan.

Menurutnya, produk-produk dengan premi sekaligus dan iming-iming bunga besar akan tampak menarik di mata nasabah dan membuat kondisi perusahaan tampak baik, tetapi itu sifatnya sementara.

“Nanti sekali digebuk, bisa langsung muntah darah,” kata Indra.

Maksudnya "digebuk" adalah menghadapi guncangan ekonomi, seperti indeks saham anjlok, investasi merugikan, atau krisis.

Alasan lain dari tampak indahnya laporan keuangan sebuah perusahaan asuransi adalah karena cadangan premi yang dibuat lebih kecil dari profil risiko sebenarnya. Cadangan adalah biaya yang diperkirakan akan dikeluarkan di masa depan. Dalam sebuah perusahaan asuransi, menghitung cadangan menjadi tugas aktuaris.

Indra menjelaskan, semakin besar proyeksi imbal hasil investasi, semakin kecil pula cadangan. “Sepatutnya, angka imbal hasil yang dipakai dalam perhitungan adalah angka imbal hasil terkecil yang pernah diperoleh perusahaan, ini tentu akan lebih aman,” kata Indra.

Dia menjelaskan, memperkecil cadangan bisa membuat laba tampak besar. Hal ini, lanjutnya, seringkali dilakukan perusahaan asuransi.

Jiwasraya juga melakukannya. Ini terbukti dari ada perubahan laba bersih tahun 2017 setelah PwC melakukan audit atas permintaan direksi Jiwasraya yang baru.

Sebelum diaudit PwC, Jiwasraya melaporkan telah membukukan laba senilai Rp2,4 triliun atau naik 40 persen dari tahun 2016. Setelah diaudit, laba itu menyusut menjadi hanya Rp360 miliar.

Irvan Raharjo, eks Risk Monitoring Committee Sompo Insurance Indonesia yang aktif mengamati dan menulis tentang industri asuransi, mengatakan ada ketidaksesuaian antara investasi dan polis jatuh tempo yang menciptakan defisit lagi bagi Jiwasraya.

Mismatch ini jelas kesalahan aktuarial, kesalahan mencadangkan premi dan cadangan klaim yang tidak sesuai profil risiko yang ada,” katanya.

Jadi, meskipun laporan keuangannya tampak sehat, Jiwasraya sebenarnya belum benar-benar sembuh dari sakit.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI ASURANSI atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra & Restu Diantina Putri
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam