tirto.id - Tahun 2013, PT Asuransi Jiwasraya meluncurkan produk bernama JS Proteksi Plan—produk investasi plus perlindungan jiwa. Ia menyasar nasabah kaya sebab premi minimal tak boleh lebih kecil dari Rp100 juta.
Premi dibayar sekaligus di muka, tidak boleh dicicil. Karena ini produk investasi, Jiwasraya menjanjikan imbal hasil 7 persen, plus masa pertanggungan asuransi selama lima tahun.
Maka, ketika nasabah membayar Rp100 juta di awal, setelah satu tahun, si nasabah boleh menarik uang beserta imbal hasil 7 persen dan tetap mendapatkan perlindungan asuransi sampai tahun ke lima.
Produk ini dijual lewat tujuh bank: Standard Chartered Bank, Bank KEB Hana Indonesia, Bank Victoria, Bank ANZ, Bank QNB Indonesia, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Tabungan Negara (BTN). Mereka memasarkan JS Proteksi Plan ke nasabah-nasabah yang mereka tahu punya uang banyak.
Pada 10 Oktober 2018, perusahaan asuransi milik negara itu mengirim surat kepada tujuh bank mitra tersebut, menjelaskan Jiwasraya gagal membayar polis jatuh tempo kepada 1.286 pemegang polis senilai Rp802 miliar.
Saat itu, Kementerian BUMN baru saja mengganti jajaran Direksi Jiwasraya. Asmawi Syam efektif menjabat sebagai direktur utama sejak Agustus 2018, hanya dua bulan sebelum pengumuman gagal bayar.
Saat Asmawi masuk ke Jiwasraya, ada beberapa kejanggalan yang ditemukannya. Salah satunya laporan keuangan tahun 2017 yang mencatumkan laba perusahaan Rp2,4 triliun.
Asmawi lantas meminta PriceWaterhouseCoopers (PwC) untuk mengaudit keuangan Jiwasraya. PwC menemukan bahwa laba anjlok menjadi hanya Rp328,44 miliar. Penyebabnya, manajemen lama membuat cadangan premi terlalu kecil.
“Ada mismanagement dari manajemen lama,” kata Asmawi.
Sebelum Asmawi, jabatan direktur utama dipegang Hendrisman Rahim, yang menjabat sejak 2008. Pada periode yang sama dengan Hendrisman, posisi direktur keuangan diisi oleh Hary Prasetyo.
Seseorang yang pernah bekerja di Jiwasraya membocorkan informasi kepada Tirto bahwa tahun 2008, Hary--atas persetujuan Hendrisman--melepas Surat Utang Negara (SUN) dengan kupon 15 persen dan jatuh tempo tahun 2024.
“Besarnya ratusan miliar, tapi masih di bawah Rp1 triliun,” katanya. Uang dari hasil pelepasan SUN itu kemudian dipindahkan ke instrumen saham.
Risiko investasi Surat Utang Negara jauh lebih rendah dari saham. SUN lebih stabil, tidak seperti saham yang tingkat risikonya (volatiltas) tinggi, serta investasi ini memberikan kupon 15 persen yang terbilang cukup tinggi, dua kali lipat bunga deposito.
Kalau begitu, mengapa dilepas? Apa untungnya buat Jiwasraya?
“Kan ada komisinya, dan itu tentu masuk ke kantong pribadi," kata informan tersebut kepada Tirto. "Jadi mereka itu jadi kayak agennya. Di perusahaan sekuritas, kan, marketing atau agen itu dapat fee."
“Mereka [Hendrisman dan Hary] dekat dengan Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro,” imbuhnya.
Jika tuduhan itu benar, artinya Hendrisman dan Hary dengan sengaja memindahkan dana investasi demi keuntungan pribadi. Itu adalah tuduhan yang sangat serius.
Saya mencoba menghubungi Hendrisman, meneleponnya berkali-kali, tetapi ia tak mengangkatnya. Saya lalu mengirim pesan lewat WhatsApp, menyatakan informasi yang saya dapat, lalu memberinya ruang untuk bicara dan menjelaskan. Pesan itu hanya dibaca.
Ada total empat pesan yang saya kirim ke Hendrisman sejak November 2018 sampai Januari 2019. Keempatnya dibaca, tetapi tak dibalas. Beberapa kali saya melihatnya online, tetapi pesan saya tetap tidak direspons.
Begitu juga dengan Hary Prasetyo. Telepon dari saya tak pernah diangkat. Pesan WhatsApp yang saya kirim ketika dia online pun tidak berbalas.
Sebelum masuk ke manajemen Jiwasraya, Hary Prasetyo mengawali kariernya di perusahaan sekuritas. Bersama beberapa rekannya, ia pernah mendirikan perusahaan sekuritas bernama PT Dhana Wibawa Arta Cemerlang.
Hary juga pernah bekerja di PT Artha Graha Sentral, lalu ke PT Trimegah Securities Tbk., ke PT Batasa Capital, dan terakhir, sebelum bergabung dengan Jiwasraya, ia bekerja di PT Lautandhana Investment.
Informan Tirto berkata bahwa sepanjang kepemimpinan Hendrisman, kebanyakan saham yang dibeli Jiwasraya adalah saham-saham lapis tiga, atau dalam bahasa umumnya: saham gorengan.
Saham lapis tiga sering disebut sebagai junk stocks atau small-cap stocks. Mereka memiliki volatilitas harga yang sangat tinggi dan sering menjadi incaran para spekulan. Harganya juga terhitung murah jika dibandingkan saham lapis satu dan dua. Karena perubahan harga saham gorengan sangat tinggi, risiko investasi pun tinggi.
“Salah satu saham yang pernah mereka beli waktu itu adalah TRAM,” kata si informan.
TRAM adalah kode saham PT Trada Alam Minera Tbk.—perusahaan yang bergerak di bidang pengiriman dan pengangkutan laut.
Klaim si informan ini sesuai dengan Laporan Kepemilikan Efek 5 Persen Atau Lebih yang diterbitkan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) secara berkala.
Laporan-laporan itu kami akumulasikan untuk melihat daftar perusahaan yang sahamnya pernah atau sedang dimiliki oleh Jiwasraya.
Dalam laporan pada 29 Mei 2013, Jiwasraya tercatat memiliki saham TRAM sebanyak 5,87 persen. Saat itu, harga saham TRAM mencapai Rp1.300-an per lembar. Total investasi Jiwasraya di TRAM saat itu sekitar Rp760 miliar.
Pada 28 November 2014, saham TRAM terjun bebas ke angka Rp319,8 per lembar. Sejak saat itu sampai hari ini, harganya tak pernah di atas Rp500 per lembar.
Dari segi harga, kapitalisasi pasar, dan pergerakan saham yang sangat volatil alias rentan, TRAM termasuk dalam kategori saham lapis tiga.
Pada laman profil perusahaan di BEI, nama Heru Hidayat yang disebut si informan dekat dengan Hary Prasetyo muncul sebagai komisaris utama.
Nama Heru Hidayat juga muncul sebagai Komisaris Utama PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP), emiten lain yang sahamnya pernah dibeli Jiwasraya lebih dari 5 persen. IIKP bergerak di bidang budidaya, distribusi dan perdagangan ikan arwana.
Berdasarkan laporan KSEI, pada 3 April 2014, Jiwasraya memiliki 5,37 persen atau 180,3 juta lembar saham IIKP. Saat itu harga per lembar sahamnya Rp225. Jadi, total investasi di IIKP senilai Rp40 miliar.
Pada 2012, Jiwasraya juga pernah membeli saham PT Capital Investment Tbk. (MTFN) sebanyak 7,28 persen. Saham MTFN berkali-kali dihentikan perdagangannya (suspensi)oleh BEI. Dalam rentang Juli 2016 sampai Desember 2018, ia disuspensi 13 kali karena tak menyampaikan laporan keuangan.
Emiten-emiten lain yang sahamnya pernah dibeli Jiwasraya lebih dari 5 persen ketika masih dipimpin Hendrisman Rahim adalah PT Mahaka Media Tbk. (ABBA), PT SMR Utama Tbk. (SMRU), PT PP Properti Tbk. (PPRO), dan PT Semen Baturaja (Persero) Tbk. (SMBR).
Menanam Duit pada Saham Lapis Tiga
Saat ini, hanya dua emiten yang sahamnya masih dimiliki Jiwasraya di atas 5 persen, yakni PPRO dan SMBR.
PPRO merupakan anak usaha dari PT PP (Persero) Tbk, perusahaan milik negara yang bergerak di bidang perencanaan dan konstruksi bangunan. PPRO lebih fokus pada bisnis properti dan real estate.
Meskipun anak usaha BUMN, kinerja saham PPRO tidak begitu baik. Pada 17 Februari 2017, sahamnya anjlok dari Rp1.300 ke Rp342 per lembar. Sampai kini, sahamnya tak pernah terkerek ke angka Rp500.
Padahal, ketika Jiwasraya membelinya pada 15 September 2016, saham PPRO berada di posisi Rp1.000 dan Jiwasraya memiliki 708,26 juta lembar saham. Artinya, nilai investasi Jiwasraya saat itu berkisar Rp708,26 miliar.
Anehnya, meski sudah terjun bebas sejak Februari 2017 dan tak pernah ada pergerakan untuk naik lagi, Jiwasraya terus menambah kepemilikannya. Saat pertama kali investasi, kepemilikan Jiwasraya hanya Rp5,04 persen. Sampai Desember 2016, porsi investasi Jiwasraya ditambah menjadi 7,73 persen atas PPRO.
Ketika harga PPRO terjun bebas pada 17 Februari, kepemilikan Jiwasraya tercatat 7,76 persen. Lalu ditambah lagi menjadi 8,85 persen. Sejak Desember 2018, Jiwasraya mengurangi kepemilikan saham atas PPRO secara perlahan. Per 23 Januari 2019, ia masih memegang 8,59 persen saham PPRO.
Pada perdagangan 24 Januari 2019, harga saham PPRO hanya Rp155 per lembar. Jika saham yang dibelinya pada 2016 dilepas, Jiwasraya rugi minimal Rp600 miliar.
Kinerja saham PT Semen Baturaja (Persero) Tbk. (SMBR) pun sedang buruk. Setelah menyentuh puncak harga tertinggi pada 29 Maret 2018 pada angka Rp4.100 per lembar, kinerjanya terus merosot.
Pada perdagangan Jumat lalu, 25 Januari, saham SMBR berada di angka Rp1.535 per lembar. Saat Jiwasraya membelinya pada 9 September 2016, harga sahamnya berada di angka Rp1.555 per lembar.
Intinya, saham-saham yang dibeli Jiwasraya bukanlah saham-saham likuid yang secara konsisten naik dengan volatilitas kecil. Saham yang dibeli Jiwasraya pada masa kepemimpinan Hendrisman Rahim adalah saham-saham lapis tiga.
Desain Produk yang Keliru
Selain persoalan investasi, perkara lain yang bikin Jiwasraya gagal bayar adalah membuat desain produk tanpa perhitungan cemat.
JS Proteksi Plan adalah jenis produk dengan premi sekaligus dan menjanjikan bunga tujuh persen dalam setahun.
“Secara umum, produk dengan investasi satu tahun dan imbal hasil besar itu enggak make sense, apalagi penempatan investasinya di saham,” ujar Indra Catarya Situmeang, konsultan aktuaria serta bekas Direktur Pertanggungan Jiwasraya.
"Saham itu, kan, diasumsikan baru aman dan pasti untung kalau jangka panjang," tambahhnya.
Agar bisa mengembalikan premi nasabah plus imbal hasil 7 persen, Jiwasraya harus menempatkan uang itu pada instrumen investasi yang memberi imbal hasil di atas 7 persen. Tambahan lagi: jumlah premi yang diterima Jiwasraya tidak sama dari premi yang dibayar nasabah sebab ia harus membayar komisi untuk bank, agen, dan biaya administrasi.
Produk JS Proteksi Plan juga memberikan cash back di muka kepada nasabah.
Berdasarkan materi promosi di Hana Bank, untuk premi Rp100-500 juta, nasabah menerima cash back 0,25 persen. Semakin besar premi, semakin besar pula cash back-nya. Mereka yang membayar premi di atas Rp1 miliar mendapatkan cashback 0,5 persen.
Menurut Indra, desain produk seperti ini membuat pendapatan premi tampak besar dan tumbuh, tetapi hanya pertumbuhan sesaat, bukan jangka panjang.
Pendeknya, JS Proteksi Plan adalah desain produk yang keliru. Ia bikin perusahaan terlihat kinclong dari luar tetapi sakit di dalam.
Kini, manajemen baru menghentikan penjualan produk JS Proteksi Plan dan produk saving plan yang menawarkan bunga tinggi lainnya.
Usai pengumuman gagal bayar pada Oktober 2018, Menteri BUMN Rini Soemarno meminta Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan investigasi atas Jiwasraya. Namun, sampai tulisan ini dipublikasikan, belum ada hasil investigasi dari BPK.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam