tirto.id - “Memangnya OJK harus berbuat apa?”
Riswinandi, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan, bertanya balik kepada kami pada awal Januari 2019 saat kami mengonfirmasi soal tekanan likuiditas Jiwasraya yang membuatnya gagal bayar terhadap 1.286 pemegang polis senilai Rp802 miliar.
Prahara ini mencuat saat perusahaan asuransi tertua di Indonesia ini mengumumkan gagal bayar polisi kepada tujuh bank mitra produk JS Proteksi Plan pada 10 Oktober 2018. Ketujuh bank mitra itu adalah Standard Chartered Bank, Bank KEB Hana Indonesia, Bank Victoria, Bank ANZ, Bank QNB Indonesia, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Tabungan Negara (BTN),
JS Proteksi Plan adalah produk asuransi berbalut investasi yang menyasar nasabah kaya sebab premi minimal tak boleh lebih kecil dari Rp100 juta. Premi dibayar sekaligus di muka, tidak boleh dicicil. Jiwasraya menjanjikan imbal hasil 7 persen kepada para nasabah, plus masa pertanggungan asuransi selama lima tahun.
OJK mengklaim sudah mengetahui kondisi keuangan Jiwasraya bermasalah sejak Januari 2018. Namun, OJK memilih menunggu Jiwasraya mengatasi sendiri tekanan likuiditasnya.
Sementara itu, menyusul pengumuman masalah gagal bayar tersebut, OJK seakan menormalisasi kasus ini. Pada 12 Oktober 2018, OJK mengeluarkan pernyataan bahwa tekanan likuiditas Jiwasraya merupakan hal biasa dalam industri asuransi.
“Sekarang yang terjadi (di Jiwasraya) mungkin ada seperti ini. Itu biasa seperti itu. Selama ini kan Jiwasraya juga enggak ada masalah," kata Riswinandi kepada wartawan di sela rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018.
Demi mengatasi masalah itu, Jiwasraya menawarkan dua opsi kepada para pemegang polis.
Opsi pertama adalah memperpanjang masa investasi alias roll over. Sementara opsi kedua adalah meminta perpanjangan waktu pelunasan dengan bunga 5,75 persen per tahun.
“Kami kasih kesempatan ke pemegang saham untuk mencari solusi. Nanti selesai proposalnya, tentu akan dibahas oleh kami action selanjutnya,” ujar Riswinandi.
Problemnya, pemegang polis masih keberatan dengan dua tawaran solusi itu. Mereka menilai roll over tak menyelesaikan masalah dan tak menjamin keuangan Jiwasraya kembali sehat ke depan.
“Nah, berarti Anda tidak percaya, dong? Lihat dong, kondisinya. Pemegang saham juga tak tinggal diam. Jadi jangan dilihat ini harus dibayar. Semuanya ada proses,” lanjut Riswinandi menanggapi keberatan tersebut.
Fungsi pengawasan keuangan yang melekat pada OJK dipertanyakan terlebih karena OJK sudah tahu kondisi keuangan Jiwasraya sejak awal tahun lalu. OJK melalui Industri Keuangan Non Bank (IKBN) mengaku sudah memberi peringatan terhadap perusahaan BUMN itu.
“Ini, kan, sebenarnya produk 5 tahun. Cuma ada opsi tahunan. Sabar aja,” kata Riswinandi.
Ucapan salah satu anggota komisioner OJK itu tidak terlalu keliru, tapi juga tidak terlalu tepat.
Produk JS Proteksi Plan dari Jiwasraya yang bermasalah adalah produk investasi dengan premi sekali bayar di awal masa investasi yang jatuh tempo dalam setahun dengan tawaran bunga 7 persen. Produk ini sekaligus memberikan manfaat asuransi selama lima tahun.
Jadi, urusan pembayaran jatuh tempo dan bunga tetap dilakukan dalam periode investasi atau selama kurun waktu satu tahun.
Dengan pernyataan Riswinandi itu, OJK seakan memberikan sinyal bahwa lembaga pengawasan itu kurang paham mengenai produk yang bermasalah dari Jiwasraya. Lantas bagaimana JS Proteksi Plan bisa lolos dari perizinan OJK?
Kami mencoba konfirmasi kembali kepada OJK terkait hal ini. Namun, hingga laporan ini dirilis, Riswinandi maupun pejabat OJK lain tidak membalas upaya tersebut.
Pesan WhatsApp hanya dibaca oleh Riswinandi tanpa direspons. Panggilan telepon pun tak kunjung diangkat. Kami menghubungi M. Ichsanuddin selaku Deputi Komisioner Pengawas IKNB 2, tapi ia enggan berkomentar.
"Mohon maaf, untuk komunikasi dengan media dikoordinasikan antara Humas OJK dan Humas Jiwasraya," balas Ichsanuddin melalui pesan WhatsApp.
Hari Tangguh, Humas OJK, menanggapi kami bahwa dia menjanjikan akan memberi komentar setelah mendapatkan jawaban dari Riswinandi. Namun, hingga tengah malam kemarin (28/1/2019), Hari Tangguh belum mendapatkannya.
Yang Seharusnya Dilakukan OJK
Risiko tekanan likuiditas memang suatu keniscayaan dalam industri asuransi. Terlebih jika sebagian dana premi diinvestasikan ke saham yang cukup fluktuatif. Di sinilah peran OJK sebagai pengawas jasa keuangan mesti berperan aktif dalam melindungi dana nasabah.
Jika merujuk pada Peraturan OJK 71/2016 tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi, OJK dapat memberikan tiga tingkatan sanksi administratif bagi perusahaan asuransi bermasalah.
Sanksi itu berupa peringatan tertulis, kemudian pembatasan sebagian atau seluruh izin usaha, hingga pencabutan izin usaha. Selain itu, OJK dapat memberikan sanksi tambahan berupa larangan pemasaran produk.
Sanksi-sanksi itu dapat diberikan jika tingkat solvabilitas perusahaan sudah mencapai titik nadir, yakni di bawah 120 pers. Solvabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk membayar utang-utangnya karena jumlah aktiva melebihi utang-utang itu.
Dalam laporan keuangan Jiwasraya tahun 2017, tingkat solvabilitas perusahaan masih berada di angka 123,16 persen. Kendati masih sedikit di atas ketentuan OJK, tapi angka tersebut melorot tajam dari 200,15 persen pada 2016.
Namun, solvabilitas atau Risk Based Capital (RBC) bukan satu-satunya ukuran pengenaan sanksi. Masih ada indikator lain seperti tata kelola, pemasaran produk, hingga kepatutan dan kelayakan.
Dalam periode Januari-Oktober 2018, OJK seharusnya dapat memberikan teguran tertulis, pengawasan dan penghentian produk yang bermasalah.
Berdasarkan Peraturan OJK tersebut, kehadiran OJK hampir menjadi nirfaedah lantaran minim tindakan menyelamatkan dana pemegang polis pada awal tahun 2018 sebelum Jiwasraya mengumumkan gagal bayar pada Oktober 2018.
Irvan Rahardjo, analis asuransi, menilai OJK tak memiliki kepekaan pada krisis dan tak paham akar masalah bahkan bersikap anti-pasar.
“Kalau mau OJK konsekuen membiarkan pasar self-regulating atau auto pilot seperti yang disuarakan Riswinandi di Bali Oktober lalu,” ujar Irvan.
Self-regulating yang ia maksud adalah sebuah industri, dalam hal ini asuransi, mengatur sendiri melalui asosiasi masing-masing. Artinya, asosiasi berhak mengenakan sanksi kepada anggota yang melakukan pelanggaran baik tarif, etika, maupun regulasi.
Irvan berpendapat jika asosiasi macam itu diberi otoritas penuh, ia akan kenakan sanksi, merevisi AD/ART, hingga pemotongan separuh gaji OJK.
"Secara akuntabilitas tidak ada legitimasi lagi bagi OJK terus memungut iuran industri tapi tidak mau bahkan gagal mengatur industri,” menurut Irvan.
Berdasarkan data OJK, pada Juni 2018, nilai total aset industri asuransi tanah air mencapai Rp1.150 triliun atau meningkat sebesar 13,61 persen.
Angka luar biasa besar itu membutuhkan jaring pengaman berupa instrumen regulasi yang mumpuni untuk melindungi aset tersebut. Terlebih ada kasus gagal bayar yang saat ini dihadapi perusahaan asuransi Jiwasraya.
Sesuai amanat UU Nomor 40/2014 tentang perasuransian, UU lembaga penjamin polis seharusnya sudah rampung pada 2017. Namun, hingga kini, belum ada sinyal pembahasan RUU tersebut di DPR, bahkan tidak dimasukkan dalam prolegnas 2019.
Menurut Badan Legislasi DPR, saat ini anggota-anggota DPR tengah sibuk menjelang Pileg dan Pilpres 2019. Thus, sulit berharap RUU Lembaga Penjamin Polis bakal rampung cepat.
“RUU itu inisiatif pemerintah. Jadi kami menunggu kapan drafnya diserahkan,” ujar Hendrawan Supratikno, anggota Baleg DPR RI, kepada Tirto, Kamis pekan lalu.
Menurut politikus PDI Perjuangan itu, apa yang menimpa Jiwasraya tak perlu menunggu ada undang-undang baru.
"Ada ketentuan perundangan lain yang bisa digunakan seperti Peraturan OJK. Tanya kepada OJK. Mereka menerbitkan banyak POJK untuk mengatur industri asuransi,” imbuh Hendrawan.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam