tirto.id - Nasabah pemegang polis bancassurance PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mulai geram. Desakan mereka agar asuransi tertua di Indonesia itu membayar nilai polis yang telah jatuh tempo justru dijawab dengan pengumuman meningkatnya minat roll over atau perpanjangan nominal deposito para nasabah.
Ketua Koordinator Forum Komunikasi Pemegang Polis Bancassurance Jiwasraya Rudyantho menilai, langkah Jiwasraya itu tak ubahnya "unjuk kekuatan" agar para nasabah mengikuti skema perpanjangan kontrak yang ditawarkan.
"Kami menuntut hak, tapi Jiwasraya malah menawarkan kewajiban. Ini apa tidak aneh,” kata Rudy saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (22/1/2019).
Masalah likuiditas karena gagal bayar polis bancassurance yang jatuh tempo itu menghantui Jiwasraya sejak 1 Oktober 2018. Atas keterlambatan pembayaran ini, menajemen memberikan sejumlah kompensasi pada para pemegang polisnya.
Pertama, roll over alias perpanjangan kontrak selama satu tahun atas dana kelolaan produk JS saving plan tersebut. Dengan perpanjangan itu, nasabah akan diganjar dengan tingkat bunga 77 persen per tahun.
Kedua, bagi nasabah yang tetap ingin mencairkan dana investasinya, Jiwasraya meminta waktu pelunasan selama beberapa hari ke depan. Keterlambatan pelunasan itu dijanjikan akan diganti dengan bunga sebesar 5,75 persen per tahun--dihitung berdasarkan jumlah hari keterlambatan mulai dari jatuh tempo sampai dengan klaim dibayarkan.
Namun, kata Rudy, selama ini yang dilakukan Jiwasraya hanya mendorong agar para pemegang polis memilih opsi pertama. Sampai saat ini, kata dia, surat dari forum nasabah yang dilayangkan ke Jiwasraya hanya berbalas dengan tawaran roll over.
"Ini berseberangan dengan surat forum yang menolak dan meminta Jiwasraya memenuhi kewajibannya membayar nilai tunai yang menjadi hak pemegang polis yang telah jatuh tempo,” kata Rudy.
Padahal, manajemen Jiwasraya punya tanggung jawab moral untuk segera menyelesaikan pembayaran kepada para pemegang polis yang jumlahnya mencapai 350 orang. Salah satunya dengan menjual sebagian aset yang dimiliki oleh Jiwasraya.
Sayangnya, hal itu tak kunjung dilakukan. Rudy menyampaikan, anggota forum justru merasa dipaksa lantaran manajemen Jiwasraya terus menelpon para nasabahnya untuk menawarkan opsi roll over.
"Kan, Jiwasraya sudah tau kalau yang di forum ini sudah jelas-jelas menolak roll over, tapi kok masih juga ditelponin. Jadi enggak salah kalau ada yang beranggapan bahwa Jiwasraya cenderung memaksa,” kata dia.
Para nasabah juga mulai gerah dengan langkah lambat yang ditempuh Kementerian BUMN selaku pemegang saham Jiwasraya dalam menyelesaikan masalah gagal bayar polis jatuh tempo.
Menurut Rudy, langkah Kementerian BUMN dan Jiwasraya yang sedang mencari jalan keluar lewat pengembangan produk dan investor tidak berdampak pada nasib para pemegang polis.
“Mencari investor baru dalam keadaan Jiwasraya kehilangan trust, itu ibarat usaha menjaring angin,” kata Rudi menambahkan.
Jiwasraya sebelumnya memang dikabarkan sedang melakukan peralihan bisnis dan akan menghentikan produk Saving Plan. Perseroan akan beralih kepada nonguarantee product, seperti produk personal accident (PA), perjalanan, kesehatan, dan produk berbasis investasi atau unit-linked.
Seiring dengan komitmen pembayaran polis tersebut, Jiwasraya juga telah meneken memorandum of understanding (MoU) dengan empat BUMN untuk memberikan akses customer base serta distribution channel.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menegaskan, perusahaannya rutin membuka komunikasi dan terus berupaya dalam membayar pokok polis jatuh tempo nasabah Jiwasraya.
Lewat surat balasannya ke pemegang polis, Hexana menerangkan saat ini perseroan masih mengupayakan pembayaran pokok polis jatuh tempo.
“Jadi Kami berharap nasabah tetap tenang. Kami pun sudah memiliki solusi yang efektif sehingga pembayaran untuk mereka yang tidak ingin memperpanjang secara bertahap pada kuartal II 2019,” kata Hexana dalam rilis yang diterima Tirto, Senin (21/1/2019).
Terkait ini, reporter Tirto kembali menghubungi Hexana. Namun, hingga artikel ini dibuat ia tidak meresponsnya.
Sementara itu, analis asuransi Irvan Rahardjo menilai semestinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa memediasi antara nasabah dan Jiwasraya.
Sebab, keuangan perusahaan asuransi jiwa pelat merah itu memang tidak memungkinkan untuk membayar seluruh polis nasabah yang telah jatuh tempo. Terlebih, kata dia, kondisi tersebut juga dapat dinilai sebagai kelalaian OJK dalam hal pengawasan produk investasi.
"OJK itu sekarang buang badan. Dia enggak pro-aktif. Sedangkan kita tahu, fungsi OJK itu, kan, pengawas pengaturan dan perlindungan. Nah, perlindungan nasabah ini yang dia lupakan,” kata Irvan.
Tekanan likuiditas yang dialami Jiwasraya saat ini merupakan akibat dari penurunan nilai instrumen yang dipicu ketidakseimbangan antara aset dengan kewajiban perseroan.
Sebab, karakter instrumen investasi Jiwasraya jangka panjang, sementara produk yang tertunda pembayaran klaimnya bersifat jangka pendek.
“Sehingga, terjadi miss match dan asa tekanan untuk bayar manfaat polis jatuh tempo yang jangka pendek, dengan instrumen investasi yang jangka panjang,” kata Irvan.
Pencegahan terhadap miss match itu harusnya bisa dicegah lewat sejumlah aturan yang telah dikeluarkan OJK. Misalnya, POJK Nomor 55/POJK.05/2017 tentang Laporan Berkala Perusahaan Perasuransian, serta POJK Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank.
“Sudah enggak kena lagi itu sekarang sama OJK. Jadi buat apa? Mendingan dibubarkan saja. Dan fungsi ini dikembalikan ke lembaga yang sudah ada sebelumnya seperti Bank Indonesia,” kata Irvan.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz