tirto.id - Memilih asuransi tak semudah memilih mobil baru yang akan dibeli. Setidaknya begitu yang dirasakan Khairil Hanan Lubis, anak muda yang saat ini bekerja sebagai konsultan lepas di salah satu kementerian.
Sudah lebih dari empat bulan Hanan mencari asuransi kesehatan untuk dirinya. Hingga kini, ia masih dihinggapi kebingungan memilih perusahaan asuransi. Ada beberapa nama perusahaan yang ia pertimbangkan. Namun, tak satupun dari perusahaan asuransi itu adalah perusahaan lokal. Semuanya asing.
Sebelum memutuskan untuk membeli, Hanan bertanya ke banyak orang, mulai dari keluarga hingga teman. Dari banyak orang yang ditanyainya itu, tidak ada yang merekomendasikan asuransi lokal.
Hanan sebenarnya bukan tipe konsumen yang peduli tentang perusahaan asing atau lokal. Ia memilih berdasarkan reputasi, branding, dan rekomendasi. “Perusahaan asuransi asing itu branding-nya oke lewat iklan. Sebagai orang awam yang selama ini sering dengar sulitnya klaim asuransi, citra yang mereka tampilkan berhasil meyakinkan calon nasabah kalau asuransi itu enggak ribet,” jelas Hanan.
Lewat beberapa grup WhatsApp, saya mencoba melihat asuransi apa yang berada dalam top of mind mereka. Saya kemudian meminta beberapa teman menyebutkan lima nama perusahaan asuransi yang terlintas di pikiran mereka. Nama-nama seperti Prudential, Manulife, Allianz, dan Axa muncul cukup sering. Beberapa orang sesekali menyebut Jiwasraya dan Bumiputera.
Perusahaan-perusahaan asing yang merupakan perusahaan patungan atau joint venture (JV) memang menguasai mayoritas pasar asuransi dalam negeri. Dari total aset industri asuransi jiwa senilai Rp368,5 triliun, sebanyak 74,37 persennya milik asing. Begitu juga dengan premi. Dari total premi yang dikumpulkan industri asuransi jiwa sebesar Rp128,33 pada 2015, sebanyak 70,8 persennya merupakan milik asuransi JV.
Tiga perusahaan asuransi jiwa terbesar di Indonesia pun dicatatkan oleh perusahaan JV. PT Prudential Life Assurance menduduki posisi teratas dengan aset paling besar, yakni Rp55,9 triliun. Prudential adalah perusahaan JV asal Inggris. Kepemilikan saham asing pada perusahaan ini mencapai 95 persen.
Di posisi kedua ada PT AIA Financial dengan aset mencapai Rp38,9 triliun. Kepemilikan asing di perusahaan asal Hongkong ini tercatat 80 persen. PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia berada di posisi ke tiga. Aset perusahaan asal Kanada ini senilai Rp36,75 triliun dengan kepemilikan asing sebesar 95 persen.
Ketika perusahaan asuransi asing kian inovatif dengan produk-produknya, perusahaan asuransi jiwa lokal mencoreng citra dengan bobroknya tata kelola. Tahun ini saja, tercatat dua perusahaan asuransi jiwa dinyatakan pailit oleh pengadilan setelah majelis hakim mempertimbangan permohonan dari Otoritas Jasa Keuangan. Dua perusahaan itu adalah PT Asuransi Jiwa Bumiasih dan PT Asuransi Jiwa Nusantara.
Ketika perusahaan asuransi pailit, maka pemegang polis menjadi yang paling merugi. Premi yang mereka bayarkan akan hangus begitu saja, klaim-klaim jatuh tempo tak akan dibayarkan sebab hasil penjualan aset belum tentu bisa menutupi seluruh utang.
Ini juga memperburuk citra dan kepercayaan masyarakat pada perusahaan asuransi lokal. Padahal, tak semua perusahaan lokal jelek. Tetapi apa boleh buat, terkadang, generalisasi mengalahkan fakta sebenarnya.
Kondisi ini sangat masuk akal menjadi pemicu nasabah berbondong-bondong lebih memilih asuransi asing. Setidaknya perusahaan-perusahaan asing ini memiliki kondisi keuangan yang sehat dan kuat sehingga jauh dari kemungkinan bangkrut.
Pembatasan Kepemilikan Asing
Dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebenarnya telah diatur perihal kepemilikan asing di perusahaan asuransi. Ini dilakukan demi melindungi perusahaan dalam negeri. Hanya saja, UU yang baru disahkan dua tahun lalu itu tidak menyebutkan secara jelas, melainkan mengamanatkan pembentukan peraturan pemerintah untuk menentukan batas kepemilikan saham asing di industri asuransi.
Saat UU itu digodok, terjadi perdebatan alot antara pemerintah dan DPR dan tidak menghasilkan titik temu. Pemerintah menginginkan asing boleh berinvestasi di perusahaan asuransi hingga 80 persen. Sedangkan DPR menginginkan hanya 49 persen.
Dalam UU Perasuransian yang lama, disebutkan bahwa porsi kepemilikan asing maksimal harus 80 persen saja. Dalam Peraturan Presiden No 44 Tahun 2016 tentang Daftar Negatif Investasi(DNI) pun porsi kepemilikan asuransi asing dibatasi 80 persen. Ia berlaku untuk perusahaan asuransi jiwa, asuransi umum, reasuransi, penilai kerugian asuransi, pialang asuransi dan pialang reasuransi.
Namun, pada kenyataannya, di industri asuransi jiwa saja, ada sepuluh perusahaan JV yang porsi kepemilikan asingnya lebih dari 80 persen. Di antaranya; PT Asuransi Allianz Life Indonesia, PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia, PT Sun Life Financial Indonesia, PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Prudential Life Assurance, PT AXA Financial Indonesia, PT ACE Life Insurance, PT Great Eastern Life Indonesia, PT Hanhwa Life Insurance Indonesia, dan PT Tokio Marine Life Insurance.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menilai perlu ada penjelasan terkait pembatasan itu. Apakah aturan itu berlaku surut atau tidak. “Belum ada kejelasan, DNI ini akan berlaku kepada perusahaan yang baru atau berlaku juga untuk perusahaan yang sudah ada sebelumnya,” katanya.
Kini, OJK masih menunggu Pemerintah mengeluarkan PP yang mengatur lebih jelas tentang kepemilikan asing. “Kami masih menunggu PP dari Pemerintah, seperti amanat UU asuransi,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank Firdaus Djaelani. Berdasarkan UU, PP itu harus sudah rampung paling lama tahun 2017.
Beberapa perusahaan asuransi yang saat ini sahamnya di atas 80 persen juga sudah menyusun rencana jika kelak PP pembatasan resmi dikeluarkan. Allianz misalnya. Perusahaan asuransi asal Jerman itu memilih untuk masuk ke bursa saham dibandingkan dengan mencari investor lokal.
Jika dilihat dari kacamata nasabah, dominasi asing tentu bukan masalah. Tetapi bagi perusahaan asuransi lokal yang modalnya tak terlalu besar, dominasi asing dengan modalnya yang besar, tentu sebuah tantangan berat. Banyak perusahaan lokal yang tidak kuat berjalan sendiri hingga akhirnya memilih untuk menjual sahamnya kepada asing.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti