tirto.id - Jumlah kursi menteri di kabinet Presiden Terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, dikabarkan akan bertambah dari berjumlah 34 menteri di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya, menjadi 44 menteri. Artinya akan terdapat penambahan jatah kursi sebanyak 10 menteri di kabinet akan datang.
Penambahan kursi menteri ini jelas dimungkinkan seiring dengan adanya Revisi Undang-Undang (RUU) Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang tengah dibahas dalam Rapat Kerja Tingkat I antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setidaknya ada dua substansi utama perubahan pada UU Kementerian Negara.
Pertama, mengenai penghapusan penjelasan Pasal 10 yang mengatur mengenai wakil menteri. Hal ini juga merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menilai penjelasan pasal 10 bertentangan dengan ketentuan mengenai struktur organisasi kementerian yang diatur dalam pasal 9 ayat 1.
Kedua, perubahan Pasal 15 yang mengatur mengenai batasan jumlah kementerian. Jumlah keseluruhan Kementerian paling banyak 34, diubah menjadi sesuai kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan ihwal penambahan jumlah kementerian di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sejauh ini masih terus digodok. Apakah nantinya akan berjumlah 40, 42, dan 44 menteri seluruhnya sedang disimulasikan.
“Kami juga masih melakukan simulasi," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Wakil Ketua DPR itu menegaskan, pada dasarnya penambahan jumlah kementerian itu demi mengoptimalkan kerja pemerintahan serta memenuhi janji-janji kampanye Prabowo-Gibran. Dasco sendiri memperkirakan nomenklatur dan jumlah kementerian akan disampaikan Prabowo Subianto pada H-7 pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.
"[Jadi] penambahan kementerian itu adalah untuk optimalisasi tugas-tugas kementerian dalam rangka kita itu memenuhi janji kampanye,” kata dia.
Bagi-Bagi Jatah Kursi
Analis Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, mengatakan penambahan jumlah kursi yang banyak sudah bisa diprediksi ketika koalisi Prabowo-Gibran jumlahnya cukup gemuk. Sehingga aromanya memang jelas penambahan kursi menteri ini untuk bagi-bagi jatah kepada koalisi mereka.
“Memang aromanya bagi-bagi karena dengan koalisi besar Pak Prabowo punya kewajiban kemudian membalas budi koalisi partai ini, Atau bahkan untuk tetap membuat koalisi ini terikat dengan pemerintahannya. Salah satunya lewat jatah menteri ini,” jelas Kunto kepada Tirto, Jumat (13/9/2024).
Kunto mengatakan, dari sisi urgensi dirinya belum melihat kenapa perlu adanya penambahan jatah menteri hingga mencapai 44. Pasalnya, hingga saat ini belum ada argumen teknis lebih detail bisa menjelaskan perlunya penambahan tersebut.
“Yang saya dengar cuma masalah banyak yang diurus. Dari dulu kan juga banyak diurus di Indonesia. Apa tiba-tiba sekarang pemerintahan ngurusin sesuatu baru sama sekali, tidak juga kan? Apakah program makan siang gratis tiba tiba butuh satu kementerian sendiri atau gimana?” jelas dia.
Menurut Kunto, hal-hal teknis di atas perlu dikomunikasikan kepada publik agar tujuan daripada penambahan menteri tersebut jelas. Jika kondisinya seperti sekarang, maka wajar publik berpikir penambahan ini hanya untuk bagi-bagi kue kekuasaan saja.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, menambahkan fenomena bagi-bagi kursi dalam pasca pilpres ini menjadi isu yang selalu muncul dalam setiap Pemilu. Namun, pada Pemilu 2024 fenomena ini lebih ugal-ugalan bahkan dengan melakukan revisi UU Kementerian.
“Besarnya koalisi pendukung menurut kami juga menjadi salah satu penyebabnya bagi-bagi kursi menjadi ugal-ugalan pasca pemilu 2024,” jelas dia kepada Tirto.
Haykal menuturkan, jika ditarik ke belakang isu penambahan jumlah Kementerian dan Lembaga pada kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto sejatinya telah bergulir sejak proses Pemilu masih terjadi. Sehingga memang sangat terlihat adanya upaya untuk mengakomodir berbagai kelompok yang menjadi pendukung di dalam Pemilu.
“Terhadap hal itu kami melihat bahwa upaya ini bertolak belakang dengan upaya pembentukan pemerintah yang efektif dan profesional,” ujar dia.
Tidak Efisien & Bebani APBN
Pembentukan kabinet ke depan tentu menunjukkan bagaimana presiden akan melaksanakan pemerintahannya. Hal ini sering dikaitkan dengan efektivitas jumlah Kementerian dan Lembaga untuk mempermudah proses koordinasi dan pelaksanaan kebijakan. Namun, jumlah kabinet yang terlalu besar pada banyak kajian dianggap justru tidak efisien dan efektif.
“Salah satu dampaknya adalah potensi tumpang tindih kewenangan yg sangat besar. Apa lagi ketika pembentukan kabinet itu dilakukan berdasarkan pertimbangan politik semata,” ujar Haykal.
Sementara Kunto Adi mengatakan, dengan 44 menteri mungkin bisa efektif untuk membantu kerja-kerja Prabowo Subianto dan menunaikan janji programnya. Tetapi apakah kemudian itu akan efisien? Belum tentu juga.
“Karena efisiensi itu kan jadi mutlak penting apalagi kita dihadapkan pada kenyataan di akar rumput harga-harga semakin naik, banyak pemutusan hubungan kerja, mencari pekerjaan sulit. Jadi ini harus berempati sama rakyat-nya,” kata Kunto.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menambahkan memang sebaiknya Prabowo perlu melihat bahwa ruang fiskal semakin RI semakin terbatas. Sebab banyak program-program besar, yang juga membutuhkan anggaran cukup besar.
“Sehingga dengan adanya penambahan jumlah kursi kementerian lembaga yang sangat gemuk ini bisa membuat beban anggaran APBN terlalu berat,” kata Bhima kepada Tirto.
Bhima mencontohkan, untuk belanja birokrasi yang terdiri dari belanja pegawai dan barang saja nilainya sudah cukup besar. Dua jenis belanja ini menelan anggaran sekitar Rp850 triliun di 2024, sehingga anggaran untuk birokrasinya saja sudah bengkak.
“Jadi nambah lagi akan semakin berat. Jadi bayangin saja APBN sepertiga atau 31 persen untuk birokrasi belanja pegawai dan barang. Bahkan nilai belanja birokrasi melebih nilai subsidi dan bansos,” katanya.
Bhima khawatir dengan adanya penambahan dari anggaran Kementerian dan Lembaga serta nomenklatur yang gemuk, akan mendorong defisit APBN melebar di atas 3 persen dan menambah rasio utang pemerintah. Padahal pembayaran bunga utang per tahun sudah lebih dari Rp500 triliun untuk 2025 mendatang.
“Jadi bagaimana mau mendorong pertumbuhan ekonomi 8 persen kalau belanja nya makin tidak produktif di internal pemerintah sendiri. APBN bukan menjadi kontrol malah memperburuk kondisi perekonomian karena belanja birokrasi besar,” pungkas Bhima.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang