tirto.id - Jika satu dekade lalu kita menanyakan kepada anak muda apa cita-cita mereka, sebagian besar akan menjawab menjadi dokter, guru, polisi, atau PNS. Namun hari ini, bila pertanyaan yang sama dilontarkan kepada Generasi Z, jawaban populer yang muncul adalah ingin menjadi youtuber atau influencer. Fenomena ini pun bukan sekadar tren sesaat karena ia mencerminkan pergeseran struktur pekerjaan di era ekonomi digital Indonesia.
Profesi influencer kini menempati posisi strategis dalam ekosistem ekonomi digital. Influencer tidak hanya memproduksi konten hiburan, tetapi juga berperan sebagai key opinion leader (KOL) yang memengaruhi perilaku konsumsi masyarakat.
Lebih dari 60 persen pengguna internet Indonesia mengaku mencari ulasan produk di media sosial sebelum membelinya. Nama-nama seperti Rachel Vennya, Jerome Polin, atau Fadil Jaidi pun lantas menjadi referensi jutaan followers mereka.
Artinya, influencer telah bertransformasi menjadi gatekeeper baru dalam rantai nilai ekonomi digital, menggantikan dominasi media massa konvensional. Namun, di balik daya tarik profesi ini, terdapat kerentanan struktural yang jarang dibahas.

Pendapatan influencer sangat bergantung pada algoritma platform media sosial, seperti Instagram, TikTok, atau YouTube. Maka begitu engagement menurun, monetisasi mereka turut menurun drastis. Dengan kata lain, mata pencaharian influencer sangat bergantung pada entitas digital yang mereka tidak miliki dan tidak kendalikan.
Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana ekonomi digital menciptakan lapangan kerja baru tanpa infrastruktur perlindungan formal. Influencer adalah pekerja mandiri digital yang tidak memiliki kepastian upah minimum, jaminan kesehatan, atau dana pensiun.
Ketika platform media sosial mengubah algoritmanya atau tren bergeser, para influencer yang tak adaptif berisiko kehilangan sumber penghasilan tanpa ada jaring pengaman sosial.
Ekosistem Kerja Baru
Dari perspektif ekonomi makro, influencer pemasaran adalah subsektor jasa iklan digital yang kontribusinya signifikan. Laporan Statista mencatat nilai pasar influencer pemasaran di Indonesia pada 2024 telah menembus 300 juta dolar AS, dengan pertumbuhan dua digit setiap tahun.
Nilai ini bahkan melampaui pendapatan iklan beberapa televisi swasta nasional. Namun, ironisnya, kontribusi influencer pemasaran belum tercatat secara langsung dalam PDB.
Nilai tambah yang dihasilkan influencer saat ini masih terfragmentasi dalam pos jasa periklanan, hiburan, dan aktivitas digital. Oleh karena itu, BPS perlu segera menyusun metode statistik khusus untuk menangkap kontribusi sektor ini secara komprehensif. Tujuannya agar kebijakan pengembangan ekonomi digital tidak hanya berbasis pada data e-commerce dan fintech, tetapi juga content creator economy yang berkembang pesat.
Selain itu, influencer pemasaran memiliki efek pengganda yang luas. Ia mendorong munculnya talent agency atau talent management, jasa pembuatan konten kreatif, editor video, fotografer, hingga affiliate marketing yang meningkatkan transaksi di sektor e-commerce.
Dengan kata lain, influencer bukan hanya aktor individual, tetapi pelaku ekonomi digital yang menciptakan ekosistem kerja baru berbasis kreativitas.

Pertanyaan kritisnya, apakah tren profesi influencer akan bertahan lama atau hanya fenomena sesaat?
Analisis saya menunjukkan bahwa profesi influencer akan berkelanjutan dengan model yang terus bertransformasi. Kita akan melihat seleksi alam di mana yang mampu bertahan adalah para influencer dengan niche market, brand authenticity, dan kemampuan storytelling yang relevan.
Influencer yang hanya mengandalkan gimmick viral tanpa value proposition yang jelas akan tersisih dengan cepat oleh algoritma platform dan kelelahan audiens.
Selain itu, profesi influencer ke depan akan berubah dari sekadar endorser produk menjadi content entrepreneur. Mereka tidak hanya menjual ruang promosi, tetapi juga akan meluncurkan produk digital atau fisik mereka sendiri, mulai dari fashion brand, buku, hingga kursus online.
Fenomena ini sudah terlihat pada influencer seperti Jerome Polin dengan Menantea atau Gita Savitri dengan skincare brand miliknya.
Model bisnis influencer pun akan semakin kompleks dan terdiversifikasi. Oleh karena itu, fenomena influencer pemasaran menimbulkan tantangan baru bagi kebijakan publik. Pasalnya, regulasi saat ini belum sepenuhnya siap mengantisipasi realitas profesi digital ini.
Menimbang proyeksi demikian, pemerintah perlu memastikan kerangka pajak digital yang adil dan sederhana. Pasalnya, sebagai pekerja mandiri digital, banyak influencer masih bingung bagaimana melaporkan pajak penghasilannya.
Ada yang tergolong pengusaha kena pajak karena omzetnya miliaran, ada pula yang pendapatannya di bawah PTKP.
Sehingga, Direktorat Jenderal Pajak perlu menyusun panduan teknis sederhana dan digital-friendly agar profesi ini tidak menjadi sektor informal perpajakan.
Selain itu, perlindungan konsumen atas promosi produk oleh influencer juga harus diperkuat. Di Eropa dan Amerika, influencer wajib mencantumkan disclosure ketika mempromosikan produk berbayar untuk mencegah misleading promotion.
Indonesia juga perlu menegakkan regulasi perlindungan konsumen digital agar followers tidak dirugikan oleh promosi produk yang tidak bertanggung jawab atau klaim berlebihan.
Pemerataan Infrastruktur Digital
Pengembangan infrastruktur dan literasi digital yang merata di seluruh daerah juga menjadi kebutuhan mendesak. Pasalnya, profesi influencer saat ini masih terpusat di kota besar. Dengan memperkuat akses internet cepat dan literasi digital di daerah, ekonomi konten dapat menjadi sumber pendapatan alternatif di luar sektor formal.
Ini akan membantu menurunkan pengangguran terselubung di desa dan daerah pinggiran. Meski demikian, regulasi tidak boleh dibuat berlebihan hingga membunuh kreativitas. Jika terlalu banyak aturan ketat, profesi ini bisa terhambat dan kehilangan daya inovasinya.
Pemerintah perlu mendesain kebijakan yang seimbang antara perlindungan konsumen, optimalisasi pajak, dan kebebasan berekspresi di ruang digital.
Profesi influencer menegaskan bahwa ekonomi digital bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kreativitas manusia. Influencer adalah cermin dari perubahan struktur ekonomi modern yang makin berbasis knowledge-based economy dan content-driven economy.
Dalam konteks pembangunan nasional, kita perlu menempatkan mereka sebagai bagian dari strategi ekonomi kreatif yang terintegrasi, bukan sekadar hiburan pinggiran.
Ke depan, tantangan terbesarnya adalah bagaimana menciptakan ekosistem kebijakan yang adaptif, inklusif, dan berpihak pada talenta muda kreatif Indonesia. Sehingga, influencer tidak hanya menjadi bintang media sosial, tetapi juga motor penggerak pertumbuhan ekonomi digital nasional yang berkelanjutan.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id





































