Menuju konten utama

Industri BPR Babak Belur, Bagaimana Upaya Penyehatan dari OJK?

OJK mengharapkan, ke depan BPR yang beroperasi adalah BPR yang sehat, kuat dan mampu menjalankan fungsinya termasuk perlindungan nasabah.

Industri BPR Babak Belur, Bagaimana Upaya Penyehatan dari OJK?
Konferensi pers Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2024, Jakarta, (20/2/2024. tirto.id)/ Faesal Mubarok

tirto.id - Industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Tanah Air sedang tidak menentu karena beberapa BPR bermasalah dan berakhir tumbang. Dalam kurun waktu dua bulan saja, setidaknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sebanyak enam BPR berguguran dan telah dicabut izin operasionalnya.

Keenam BPR yang bangkrut dan dicabut izinnya itu diantaranya: Perumda BPR Bank Purworejo, PT BPR Bank Pasar Bhakti, PT BPR Usaha Madani Karya Mulia, BPRS Mojo Artho Kota Mojokerto, dan Koperasi BPR Wijaya Kusuma, dan PT BPR EDCCASH.

Kasus BPR EDCCASH yang terbaru dicabut izinnya. Pencabutan izin tersebut sesuai dengan Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK KEP-26/D.03/2024 tanggal 27 Februari 2024. Pencabutan izin itu termasuk tindakan pengawasan dari OJK untuk terus menjaga dan memperkuat industri perbankan serta melindungi konsumen.

"Pada 31 Maret 2023, OJK telah menetapkan PT BPR EDCCASH dalam status pengawasan Bank Dalam Penyehatan dengan pertimbangan Tingkat Kesehatan [TKS] memiliki predikat Kurang Sehat,” tulis OJK dalam keterangan resminya.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai banyaknya BPR yang tumbang menjadi bukti bahwa regulasi yang mengatur industri ini belum cukup memainkan perannya dalam melindungi BPR. Padahal, OJK sendiri sudah berkali-kali membuat aturan khusus untuk menjaga industri ini.

Dalam rentang waktu terakhir, OJK setidaknya sudah mengeluarkan dua POJK baru. Pertama, POJK Nomor 28 Tahun 2023 (POJK 28/202 3) tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan BPR dan BPRS, di mana berlaku per 31 Desember 2024. Beleid ini memuat penyesuaian atas skema pengawasan oleh OJK, jangka waktu pengawasan, hingga penempatan data oleh LPS.

Kedua, ada POJK Nomor 1 Tahun 2024 (POJK 1/2024) tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif BPR. Aturan ini berfokus pada manajemen risiko dan tata kelola aset perusahaan.

Selain kedua aturan tersebut, sebelumnya telah terdapat kebijakan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat. Kemudian, OJK juga menyusun Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia bagi Industri BPR dan BPRS tahun 2021-2025.

"Yang pasti, peraturan BPR saat ini tidak cukup kuat memberikan perlindungan terhadap industri BPR," kata Huda kepada Tirto, Kamis (29/2/2024).

Huda menuturkan, banyak BPR yang tutup akibat terjadinya mismanagement (tata kelola buruk) ataupun tergilas teknologi. Dia mencontohkan, mismanagement yang dilakukan seperti kredit fiktif ataupun penyaluran yang tidak tepat sasaran. Akibatnya, membuat BPR banyak yang bangkrut.

"Maka mismanagement ini harus bisa diminimalkan dengan POJK tentang BPR yang baru," kata dia.

Huda menuturkan untuk menanggulangi kredit fiktif, harus disertai dengan peningkatan pengawasan internal. Maka, ke depan, menurutnya harus ada sistem yang membuat kredit BPR diawasi dengan detail.

"Audit internal harus dikuatkan atau bahkan bisa meniru audit kinerja bank umum yang jauh lebih ketat," kata dia.

Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo, juga mencermati penutupan BPR akhir-akhir ini. Menurutnya, gugurnya BPR akibat dari lemahnya manajemen dan tata kelola, permodalan yang kurang kuat, persaingan yang ketat dan kelambatan dalam mengadopsi kemajuan teknologi.

"Oleh sebab itu, pengaturan OJK sebaiknya menyasar pada butir-butir tersebut," kata Arianto kepada Tirto, Kamis (29/2/2024).

Dalam hal ini, kata dia, OJK harus memperketat aturan terkait tata kelola BPR, seperti mewajibkan BPR untuk memiliki pengurus yang profesional dan berpengalaman. OJK juga harus mendorong BPR untuk meningkatkan modalnya, baik melalui penyertaan modal baru dari pemegang saham maupun melalui merger dan akuisisi.

Selain itu, lanjut dia, OJK juga dapat memberikan insentif kepada BPR yang berkinerja baik, seperti keringanan pajak atau subsidi bunga. Di samping otoritas juga dapat meningkatkan literasi keuangan masyarakat agar masyarakat lebih memahami produk dan layanan BPR.

Dari segi pemain industri, Direktur Utama PT BPR Hasamitra, I Nyoman Supartha, mengaku prihatin dengan banyaknya BPR yang gugur. Untuk tetap bertahan di industri ini, setidaknya Hasamitra melakukan tiga hal yakni penguatan modal, pengembangan IT dan SDM kompeten.

"Karena tidak ada BPR tutup karena persaingan. Kebanyakan karena fraud yang dilakukan pemilik, direksi dan atau komisaris serta karyawan (pejabat eksekutifnya)," kata dia kepada Tirto, Kamis (29/2/2024).

Untuk itu, integritas dan kompetensi pejabat eksekutif, direksi, komisaris dan pemilik harus baik. Semua wajib mengacu terhadap tata kelola yang baik agar tidak terjadi hal-hal tidak diinginkan.

Langkah Konsolidasi BPR

Untuk mencermati fenomena yang ada, OJK sendiri telah mengambil komitmen menegakkan integritas sistem keuangan guna menyehatkan BPR. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengatakan pihaknya akan melakukan upaya penguatan dan konsolidasi BPR.

Berdasarkan catatannya, jumlah BPR sepanjang 2023 menurun sebanyak 33 BPR. Penurunan ini sebagian besar di antaranya disebabkan oleh penggabungan atau peleburan dengan BPR lain, ataupun dalam satu grup kepemilikan dalam rangka penguatan permodalan.

Merujuk POJK Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat, dalam pasal Pasal 13, modal inti minimum BPR ditetapkan sebesar Rp6 miliar dengan tiga ketentuan.

Pertama, BPR dengan modal inti kurang dari Rp3 miliar wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp3 miliar paling lambat pada 31 Desember 2019. BPR sebagaimana dimaksud pada angka pertama wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6 miliar paling lambat pada 31 Desember 2024.

Ketiga BPR dengan modal inti paling sedikit sebesar Rp3 miliar namun kurang dari Rp6 miliar wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6 miliar paling lambat pada 31 Desember 2019.

"Jumlah BPR yang memiliki modal inti di atas Rp6 miliar mengalami peningkatan dari sebelumnya sejumlah 1.076 BPR kini menjadi 1.190 BPR," ujar Dian dalam keterangannya.

Walaupun secara kuantitas BPR berkurang, namun OJK memastikan jumlah keseluruhan kantor tidak jauh berbeda. Mengingat dalam penggabungan atau peleburan kantor cabang masing-masing secara umum menjadi kantor cabang dari BPR yang melakukan peleburan atau penggabungan.

Lebih lanjut, Dian mengklaim di tengah tantangan perekonomian yang berat, industri BPR masih dapat tumbuh sepanjang 2023. Pertumbuhan tersebut dicerminkan oleh peningkatan total aset, penyaluran kredit, dan penghimpunan dana masing-masing sebesar 7,52 persen, 9,57 persen, dan 8,63 persen.

Menurut Dian, UU P2SK memberi penguatan kepada BPR yang tidak dimiliki oleh BPR sebelumnya. Konsekuensinya, OJK perlu melakukan penyesuaian dalam regulasi dan sistem pengawasan terhadap BPR dengan baik.

“Penyesuaian ini tidak mudah dan OJK pada posisi sangat mendukung untuk menjadikan seluruh BPR sebagai bank yang bisa diandalkan oleh masyarakat, tepercaya, efisien dan terus meningkatkan kontribusinya bagi perekonomian,” kata Dian.

Penerbitan Aturan Baru

Untuk itu, dalam waktu dekat OJK akan meluncurkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan BPR. Ini sebagai rangkaian dari beberapa peraturan yang telah diterbitkan pada 2023 dan akan berlanjut dengan penerbitan peraturan baru lainnya di 2024 ini.

OJK optimistis BPR dapat menghadapi tantangan yang berkembang di 2024 seperti melalui tahun politik dan normalisasi kebijakan restrukturisasi pasca COVID-19. OJK juga memastikan seluruh BPR dalam kondisi sehat dan memenuhi rasio permodalan serta indikator-indikator kinerja individual BPR lainnya.

Untuk BPR bermasalah, OJK mendorong perbaikan tingkat kesehatan melalui berbagai tindakan pengawasan sesuai ketentuan. Namun bagi BPR yang memiliki masalah integritas seperti fraud atau pelanggaran tata kelola lainnya yang mendasar, OJK akan menyelesaikan dengan menutup BPR dimaksud bila kondisinya terus memburuk dan menyerahkannya kepada LPS.

Selain itu, OJK juga melakukan pemidanaan terhadap oknum-oknum yang terlibat fraud dan pelanggaran mendasar lainnya dengan menyerahkan kepada aparat penegak hukum. Langkah tersebut dilakukan untuk menegakkan integritas perbankan dengan cara membersihkan parasit dari sistem perbankan kita.

"Sehingga kepercayaan masyarakat terjaga dan tidak mengganggu reputasi BPR lain yang selama ini berkinerja baik dan telah berkontribusi pada perekonomian, terutama dalam menggerakkan UMKM di daerah,” kata Dian.

OJK mengharapkan, ke depan BPR yang beroperasi adalah BPR yang sehat, kuat dan mampu menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik serta tetap mengedepankan aspek perlindungan nasabah.

UU P2SK yang terbit Januari 2023 hanya memberikan batas waktu satu tahun kepada OJK untuk menyelesaikan penyehatan bank termasuk BPR. Apabila melampaui batas waktu tersebut, maka BPR yang tidak sehat harus diserahkan kepada LPS sesuai mandat UU P2SK.

"Masyarakat tidak perlu khawatir dengan dananya karena dijamin oleh LPS, dan penyelesaian pembayaran oleh LPS selama ini telah berjalan cepat dan efektif," katanya.

OJK berharap dengan upaya penyerahan sisa-sisa BPR yang memiliki masalah mendasar kepada LPS untuk dilakukan resolusi pada tahun ini, industri BPR akan memasuki era baru BPR yang lebih sehat, berdaya saing, dan berkontribusi optimal bagi perekonomian nasional melalui ekspansi kredit BPR kepada sektor UMKM.

Baca juga artikel terkait BPR atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri