tirto.id - “Bagaimana keadaanmu, Cornel?”
“Baik saja.”
“Semangatmu masih kuat?”
“Berjuang terus, Bung,” sahut Cornel.
Percakapan pendek itu terjadi via saluran telepon antara Rosihan Anwar dan Cornel Simanjuntak di tengah kecamuk Revolusi Indonesia. Cornel yang terkenal sebagai seorang komponis ikut berjuang bersama laskar rakyat di front Senen dan Tanah Tinggi melawan NICA. Pada 10 Desember 1945, ia dibawa ke Centraal Burgerlijke Ziekenhuis (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) karena terluka. Dalam sebuah pertempuran bokongnya kena tembak.
Baca juga: Orang-orang Indonesia di Kubu NICA
Cornel Simanjuntak lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada 1921. Ia lahir dari keluarga Katolik yang taat. Ayahnya, Tolpus Simanjuntak, berperawakan tinggi besar, keras, dan kuat watak serta pribadinya. Sebelum Revolusi pecah dan ikut bertempur di beberapa palagan, kedua orangtua Cornel mengharapkan ia menjadi seorang guru.
Dalam Cornel Simanjutak: Komponis, Penyanyi, Pejuang (1987), Binsar Sitompul berkisah bahwa pada 1939 ia bertemu Cornel di pelabuhan Belawan, Medan. Ketika itu, mereka hendak berlayar ke Tanjung Priok, Jakarta. Mereka baru lulus dari Hollandsche Inlandsche School (sekolah dasar) di Medan dan hendak melanjutkan pendidikan ke Hollandsche Indische Kweekschool (sekolah guru) Xaverius College Muntilan, Jawa Tengah, yang dipimpin pastor-pastor Jesuit.
“Cornel yang memelihara kumis tipis kelihatan lebih tampan. Kulitnya agak kehitaman dan rambutnya sedikit berombak. Sorot matanya tajam memancarkan wibawa, namun tidak kelihatan sikap merasa dirinya penting. Sebagai teman ia orang yang menyenangkan, bahkan mengasyikkan,” tulis Binsar.
Di sekolah barunya di Muntilan, Cornel biasa dipanggil Siman. Ia aktif dalam berbagai kegiatan seperti pertandingan sepakbola, kasti, berenang. Kalau ia ikut serta, hampir pasti menjadi pimpinan rombongan. Hal itu kemudian membuatnya menjadi populer dan disegani.
Di Xaverius College, Cornel juga mengasah bakat seninya di bidang musik. Terlebih sekolah ini mempunyai kegiatan bermusik yang serius. Berbagai alat musik yang biasa dipergunakan untuk orkes simfoni seperti biola, biola alto, cello, kontrabas, suling, hobo, clarinet, fagot, trompet, corno, trombone, tuba, dan perkusi semuanya tersedia lengkap.
Baca juga: Sekolah-sekolah di Zaman Belanda
Selain alat-alat musik tersebut, para siswa tidak menemukan lagi instrumen lain seperti gitar dan ukulele. Binsar menambahkan, setiap hari para siswa hanya memainkan musik klasik. Tak ada kesempatan untuk mendengarkan musik keroncong, Hawaiian, jazz, dan musik lainnya.
Di lingkungan sekolah seperti itulah bakat dan minat Cornel Simanjuntak terus dipupuk. Lagu "Ave Maria" ciptaan Franz Schubert adalah salah satu lagu kesayangannya. Setiap ia memegang biola, lagu itulah yang selalu dikumandangkan. Suaranya merdu dan permainannya menawan. Gesekan biolanya kerap terdengar oleh kawan-kawannya dari kejauhan.
Dalam pengamatan Binsar, buku-buku catatannya penuh dengan garis-garis not balok. Berisi percobaan harmoni atau upaya membuat lagu. Franz Schubert dengan beratus-ratus lagunya merupakan salah satu komponis yang sangat dikagumi Cornel. Di dalam salah satu buku catatan, ia menulis: “Schubert, Oh meester, help mij!” (Schubert, mahaguru, tolonglah saya!)
Minat Cornel terhadap musik tidak membuatnya lupa untuk menjadi guru. Ia mengikuti semua mata pelajaran dengan baik. Hanya saja, Cornel kerap mengeluh karena tidak menyukai ilmu pasti dan aljabar. Kalau hari dan jam mata pelajaran berhitung tiba, ia tampak menghadapi masalah yang berat.
Dicurigai sebagai Kolaborator Jepang
Pada zaman pendudukan Jepang, Cornel hijrah ke Jakarta dan aktif di Keimin Bunka Shidosho, kantor kebudayaan yang menjadi pengarah para seniman. Beberapa lagu propaganda ia ciptakan. Misalnya "Bikin Kapal", "Menanam Kapas", "Bekerja", dan "Menabung". Lagu-lagu itu lincah dan segar, menganjurkan dan mendorong bangsa Indonesia untuk membantu Jepang memenangkan perang melawan Sekutu.
Hal ini tentu saja mengundang kecaman dari para aktivis anti-Jepang. Namun Cornel membela diri. Menurutnya, kerja di lembaga bikinan Jepang itu bukan untuk mendukung Jepang, melainkan untuk mendidik rakyat.
“Ini bukan lagi khianat. Tetapi saya telah meniadakan diri saya sendiri. Jangan lihat keindahannya, melainkan hasilnya sebagai sesuatu yang berfaedah: mendidik rakyat untuk mengenal tangga nada yang lebih kompleks,” ujarnya seperti dikutip Goenawan Mohamad dalam Lirik, Laut, Lupa: Asrul Sani dan Lain-lain, Circa 1950 (1997).
Ihwal kiprah Cornel di Keimin Bunka Shidosho juga merisaukan Binsar Sitompul. Ia sempat berpikir bahwa Cornel telah menjadi antek Jepang, menyerahkan dirinya untuk diperalat sebagai mesin seni kaum Negeri Matahari Terbit. Binsar semakin galau, sebab sepanjang mengenal Cornel, ia yakin bahwa kawannya itu tidak mungkin menjadi kolaborator Jepang dan menjual dirinya untuk kepentingan penguasa dan penindas.
Sejak itu, Binsar semakin rajin mengikuti siaran radio dari Jakarta. Kemudian ia mendengar lagu "Kupinta Lagi" ciptaan Cornel. Dan mulai saat itu Binsar yakin bahwa Cornel tidaklah bermaksud untuk menjadi kolaborator Jepang, tapi hanya memanfaatkan kesempatan untuk tetap bisa mencipta.
Baca juga: Korban-korban Kempeitai Zaman Jepang
“Lagunya betul-betul membangkitkan semangat. Sekalipun tidak dinyatakan melalui kata-kata, namun terasa jelas mengungkapkan semangat penuh harapan terhadap hari depan yang cerah, didasarkan atas iman yang teguh. Lagu semacam ini tidaklah mungkin merupakan hasil ciptaan dari jiwa yang tertekan. Semenjak itu saya mulai paham: Cornel membuat lagu-lagu propaganda Jepang hanyalah untuk menjaga, agar kesempatan mencipta tetap terbuka,” tulisnya.
Sementara Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa tahun 1960-an dari Jurusan Sejarah UI, punya impresi tersendiri kepada lagu-lagu Cornel. "Seolah-olah idealisme pemuda," tulis Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 (1997), "akan mati, padahal hari sudah jam empat. Alangkah sayang karena ‘kemerdekaan’ akan segera datang. Juga dalam salah satu lagu Cornel Simanjuntak, tipe seniman pemuda revolusioner, suasana ini terbayang—Kupinta Lagi. Seolah-olah Cornel meratap… ’Balikkan kembali imanku yang sudah hilang. Datanglah cahaya di hati…’ dan seterusnya.”
Baca juga laporan in-depth Tirto tentang lagu-lagu perjuangan dan nasionalisme:
- Upaya Membumikan Indonesia Raya Tiga Stanza
- Lagu Perjuangan dan Nasionalisme Kosong
- W.R. Supratman dan Indonesia Raya 3 Stanza
- Air Mata dan Dugaan Plagiat Lagu Indonesia Raya
- "Ada Problem Serius di Sekolah, Narasi Bangsa Mulai Hilang"
Musik dan Perang
Kecintaan Cornel kepada musik terus menggelegak ketika revolusi pecah. Ia menghentak-hentak lewat "Maju Tak gentar", "Sorak-sorak Bergembira", "Teguh Kukuh Berlapis Baja", dan sebagainya.
Suka Hardjana, penulis dan kritikus musik, dalam film dokumenter Cornel Simanjuntak produksi PT. Pembangunan Jaya dan Miles Film mengatakan bahwa Cornel punya posisi yang unik dalam jajaran pencipta lagu Indonesia. Dalam masa berkarya yang cukup pendek, sekitar tiga-lima tahun, Cornel berhasil menciptakan lagu-lagu yang sangat sederhana dalam bentuk mars yang mudah diingat oleh anak-anak sampai orangtua.
Baca juga: Jejak Revolusi Perancis di Lagu PKI
Dalam film yang sama, Hersri Setiawan berkisah tentang kritik Cornel terhadap cara menyanyikan lagu Indonesia Raya yang menurutnya tidak kompak.
“Jadi dia pikir ini mesti ada yang salah. Pertama karena orang Indonesia baru kenal lima nada, dan ini harus menjadi tujuh nada. Nah, dengan lagu-lagu Cornel yang mars tadi, orang sampai ke puncak-puncak gunung belajar tujuh nada. Antara syair dan melodi itu tidak satu, Cornel membuat ini menjadi satu,” ujar Hersri.
Sementara dalam sebuah catatan yang bertajuk "Cornel Simandjuntak Cahaya, Datanglah!" yang disiarkan indoprogress.com pada 6 Juni 2014, Hersri bercerita ihwal kegeraman Cornel terhadap “orang musik” yang ia anggap belum berhasil keluar dari-bayang-bayang komponis asing.
“Bagaimana kita tidak berontak?! Orang musik hanya memilih gampangnya saja, bakmi tiga sen, pengganti teks bei mir bist du schon. Melodi tetap seperti Schalger import yang telah menjadi sangat populer. Tugas kita tugas pengarang. Menciptakan yang baru. Kita bukan ekspeditur,” ujar Cornel seperti dikutip Hersri.
Kemudian ia melanjutkan pernyataan itu dengan uraian cita-cita yang ada dalam angannya, “Ya, tidak lama lagi bangsa Indonesia tentu akan mempunyai pencipta-pencipta yang asli, bukan pencipta-pencipta yang menyebut dirinya pencipta karena ia pandai meniru beberapa motif lagu yang telah usang dan menurut perasaannya tak dikenal lagi.”
Baca juga: Aksi Ismail Marzuki Menjaga Martabat Negeri
Hersri juga mengutip Nikolai Varfolomeyev—seorang musikus pelarian Rusia dan mantan pemain cello orkes Philharmonic Tsar, “Kalau kita mendalami hasil karyanya yang ternyata punya daya penggerak dan patriotik, hal mana sangat berjasa kepada perjuangan bangsanya sewaktu revolusi Indonesia berlangsung, maka adalah patut kita menghormatinya lebih daripada seorang komponis saja. Cornel salah seorang di antara beberapa pahlawan lainnya jang menjadi korban langsung dari pada revolusi yang lalu,” ujarnya.
Ya, Cornel Simanjuntak, komponis muda berbakat itu memang terjun di kancah revolusi dan menjelempah di pusarannya sebagai korban. Namun demikian, itu adalah jalan kebebasan yang ia pilih. Perasaan bebas yang ia rasakan dikatakannya dapat menghidupi jiwa, dan ia tidak ingin kebebasan itu hilang.
“Kalau kemerdekaan kita diambil orang, ia pun (kebebasan) akan turut hilang. Sekarang ada pertempuran untuk kebebasan ini. Saya tersangkut di dalamnya. Dan untuk itu, maka kita harus maju tak gentar untuk menghadapi semua tantangan dan percobaan itu,” ujarnya kepada Asrul Sani seperti dikutip Diah Sri Mulyantinah dalam Keluarga (Oktober 1977 No. X, Th. 24).
Baca juga: "Musik Sastra, Salah Satu Sarana Merayakan Kehidupan"
Dalam Napak Tilas ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 (2010), Rosihan Anwar menyatakan, pada pertengahan Januari 1946 Cornel Simanjuntak mengungsi ke Yogyakarta. Ia kemudian tinggal di Jalan Sumbing No. 5 bersama keluarga Usmar Ismail dan Ida Sanawi. Kesehatannya mulai menurun karena dihajar TBC dan dirawat di sanatorium di Pakem.
“Waktu dia meninggal dunia, saya kebetulan ada di Yogya. Di tepi liang kuburnya, sebagai salam perpisahan dengan Cornel Simanjuntak, saya deklamasikan sajak pujangga kemerdekaan Filipina, Jose Rizal, yang saya terjemahkan di zaman Jepang: Adios Patria Adorada. Selamat tinggal Tanah Airku,” tulis Rosihan.
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Ivan Aulia Ahsan