Menuju konten utama

Sejarah Gunung Fuji & Alasan Tak Bersalju Lagi Setelah 130 Tahun

Sejarah Gunung Fuji termasuk yang tertinggi di Jepang. Apa alasan Gunung Fuji tak bersalju lagi setelah 130 tahun? Simak ulasannnya.

Sejarah Gunung Fuji & Alasan Tak Bersalju Lagi Setelah 130 Tahun
Gunung Fuji di Jepang. foto/IStockphoto

tirto.id - Gunung Fuji di Jepang dikabarkan tak bersalju lagi setelah 130 tahun. Apakah alasan Mount Fuji snowless? Simak ulasannya.

Berdasarkan keterangan BBC, puncak gunung tertinggi di Jepang ini biasanya akan mulai ditutupi salju pada awal Oktober. Karena akhir-akhir ini cuaca semakin hangat, puncak Gunung Fuji snowless alias tanpa salju.

Selama tahun 2023 lalu, salju terlihat di puncak gunung Fuji pertama kali pada tanggal 5 Oktober. Namun, salju tidak kunjung turun di puncak Gunung Fuji hingga memasuki bulan November 2024.

Lantas, apa sebenarnya penyebab Gunung Fuji tidak lagi bersalju pada jadwal yang biasanya Sebelum mengulas penyebab Mount Fuji snowless, berikut sajian sejarah gunung, termasuk Gunung Fuji apakah masih aktif dan berapa meter di atas permukaan laut (MDPL)?

Sejarah Gunung Fuji & Letusan Terakhir

Britannica menuliskan, Gunung Fuji adalah gunung tertinggi di Jepang. Tinggi Gunung Fuji sekitar 12.388 kaki (3.776 mdpl).

Gunung yang ikonik itu berada di dekat pantai Samudra Pasifik di Yamanashi dan Shizuoka ken (prefektur) di Honshu tengah. Jaraknya sekitar 60 mil atau sekitar 100 km di sebelah barat wilayah metropolitan Tokyo-Yokohama.

Lalu, Gunung Fuji apakah masih aktif? Gunung berapi ini sudah tidak aktif sejak letusan terakhir pada tahun 1707. Walaupun tidak meletus sejak 1707, Fuji secara umum masih diklasifikasikan sebagai gunung berapi aktif oleh para ahli geologi.

Keindangan Gunung Fuji menjadi objek andalan Taman Nasional Fuji-Hakone-Izu. Selain itu, gunung ini juga termasuk situs warisan dunia UNESCO yang ditetapkan tahun 2013.

pariwisata jepang

Gunung Fuji menjadi ikon pariwisata di Jepang. SHUTTERSTOCK

Deskripsi keindahan salju Guung Fuji sering digambarkan dalam banyak karya seni. Menurut sejarah, gunung yang sama terbentuk pada tahun 286 sebelum Masehi akibat terjadi gempa bumi. Jika berbicara usia sang gunung suci, hal ini masih menjadi perdebatan.

Banyak pihak mengatakan Fuji sudah terbentuk lebih dari 2,6 juta tahun di atas dasar yang berasal dari 65 juta tahun yang lalu. Letusan pertama dilaporkan terjadi sekitar 700.000 tahun yang lalu.

Gunung Fuji adalah gunung berapi stratovolcano. Muncul sekitar 400.000 tahun lalu di antara puncak Komitake dan Ashitaka-yama. Gunung Fuji yang ada sekarang merupakan gabungan tiga gunung berapi. Secara berurutan: Komitake di bawah, Ko Fuji (Fuji Tua) di atas, serta gunung Shin Fuji (Fuji Baru).

Keliling Gunung Fuji sekitar 78 mil (125 km) dan diameter sekitar 25-30 mil (40 hingga 50 km). Puncak kawah Gunung Fuji memiliki diameter permukaan kurang lebih 1.600 kaki (500 meter) dan kedalaman sekitar 820 kaki (250 meter).

Sekeliling tepi kawah terdapat delapan puncak. Di antaranya Oshaidake, Izudake, Jojudake, dan Komagatake. Kemudian Mushimatake, Kengamine, Hukusandake, dan Kusushidake.

Catatan letusan besar terakhir Gunung Fuji terjadi pada bulan Desember 1707. Abu membikin langit gelap di tengah hari hingga ke Edo (sekarang Tokyo) dan mengubur kuil serta tempat tinggal di dekat gunung.

Para ahli geologi melaporkan letusan dipicu gempa berkekuatan 8,4 skala Richter. Gempa melanda wilayah sekitar selama 49 hari sebelum Gunung Fuji meletus.

Sejak 1707, sebagian besar aktivitas vulkanik Gunung Fuji terbatas pada gempa bumi kecil. Gempa susulan berkekuatan 6,4 skala Richter sempat menghantam sisi selatan Gunung Fuji. Hal ini terjadi setelah peristiwa gempa bumi besar Sendai pada 2011.

Alasan Mount Fuji Snowless

Smithsonian Magazine mengatakan lapisan salju Gunung Fuji biasanya mulai terbentuk sekitar tanggal 2 Oktober. Suhu yang lebih hangat membuat puncak Mount Fuji snowlesss atau tidak tertutup salju hingga bulan November 2024.

Yutaka Katsuka, seorang petugas ramalan cuaca di Kantor Meteorolog Lokal Kofu, Jepang, sebagaimana menutip Smithsonian Magazine menyebutkan, suhu udara sangat tinggi musim panas tahun 2024. Suhu tinggi terus berlanjut hingga September 2024.

Pada bulan September itu, suhu di Jepang terus meningkat dari yang pernah diperkirakan. Ini terjadi karena posisi jet stream sub-tropis yang lebih ke utara memungkinkan aliran udara ke selatan yang lebih hangat di atas Jepang.

Arus jet adalah arus udara yang mengalir cepat yang bergerak mengelilingi planet. Arus ini terjadi ketika udara yang lebih hangat dari selatan bertemu dengan udara yang lebih dingin dari utara.

Akibatnya, walaupun musim panas di Jepang sudah lewat dan mulai memasuki musim dingin, udara dingin pun terhalang. Suhu panas inilah yang telah mempengaruhi turunnya salju.

Jepang mengalami musim panas terpanas selama dua tahun berturut-turut, yaitu selama periode 2023 dan 2024.

bersepeda

Ilustrasi bersepeda [Foto/Shutterstock]

Suhu yang lebih hangat dari biasanya juga bertahan hingga musim gugur. Sekitar 74 kota di Jepang mencatat suhu yang lebih tinggi dari 84 derajat Fahrenheit (sekitar 28 derajat Celcius) pada awal Oktober. Tercatat suhu antara bulan Juni dan Agustus adalah lebih tinggi 1,76C (3,1F). Angka ini lebih tinggi dari rata-rata.

Hampir 1.500 daerah di Jepang juga mengalami hari-hari sangat panas. Hal ini seperti diklasifikasikan Badan Meteorologi Jepang, yakni ketika suhu mencapai atau melebihi 35°C (95F).

Mount Fuji snowless merupakan salah satu dari banyak indikator yang menunjukkan seluruh dunia akan terjadi musim dingin yang lebih hangat. Sebuah studi menunjukkan, pemanasan yang disebabkan manusia menjadi penyebab berkurangnya salju di belahan bumi utara selama empat dekade terakhir.

Jika emisi gas rumah kaca global tidak dikurangi, sebagian besar dunia akan mengalami musim dingin tanpa salju pada tahun 2100. Hal ini diungkapkan Andrew Schwartz, ilmuwan atmosfer di Laboratorium Salju Sierra Tengah Universitas California Berkeley, kepada Melissa Hobson dari National Geographic, sebagaimana mengutip Smithsonian Magazine.

Baca juga artikel terkait TRENDING TOPIC atau tulisan lainnya dari Lucia Dianawuri

tirto.id - Edusains
Kontributor: Lucia Dianawuri
Penulis: Lucia Dianawuri
Editor: Beni Jo & Yulaika Ramadhani