Menuju konten utama

Sejarah Gunung Tidar: Paku Pulau Jawa & Tradisi Akademi Militer

Gunung Tidar konon disebut-sebut sebagai pakunya Pulau Jawa. Bagaimana sejarah Gunung Tidar dan kaitannya dengan tradisi Akademi Militer?

Sejarah Gunung Tidar: Paku Pulau Jawa & Tradisi Akademi Militer
Gunung Tidar. (Instagram/@kebunrayagunungtidar)

tirto.id - Gunung Tidar di Magelang, Jawa Tengah, selama ini identik dengan sebutan pakunya Pulau Jawa. Simak cerita sejarah Gunung Tidar dan kaitannya dengan tradisi Akademi Militer (Akmil) di wilayah ini.

Calon menteri dan wakil menteri kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka periode 2024-2029 rencananya diajak mengikuti proses pembekalan di kawasan Akademi Militer di Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah.

Gunung Tidar selama ini memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan legenda Paku Pulau Jawa atau Paku Tanah Jawa, selain tentunya identik dengan lokasi basis Akademi Militer dan tempat pelatihan perwira TNI.

Gunung yang sama dipercaya sebagai pusat spiritual guna menstabilkan Pulau Jawa. Berikut adalah ulasannya.

Sejarah Gunung Tidar & Kisah Paku Pulau Jawa

Gunung Tidar adalah gunung yang memiliki ketinggian 503 mdpl dan terletak di Magelang. Dalam mitologi Jawa, Gunung Tidar sering disebut sebagai "Paku Tanah Jawa". Konsep ini muncul dari Babad Tanah Jawi yang ditulis tahun 1722.

Banyak versi bercerita mengenai asal-usul nama Gunung Tidar. Salah satu yang diyakini adalah berasal dari kata "Mukti" dan "Kadadar". "Mukti" berarti kebahagiaan, kesuksesan, atau pencapaian dalam hidup. Sedangkan "Kadadar" ialah proses dididik, ditempa, dan diuji.

Makna gabungan "Mukti" dan "Kadadar" yakni siapa pun yang ingin mencapai kebahagiaan, kesuksesan, dan pangkat tinggi dalam hidup, maka harus melalui pendidikan, pembentukan, serta ujian agar menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. Demikian dijelaskan melalui jurnal yang diterbitkan The 8th University Research Colloquium 2018, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Ada juga versi lain. Isinya mengatakan bahwa nama "Tidar" berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu "mati" dan "modar". Maknanya, "kalau tidak mati, ya mampus".

Menurut legenda, Pulau Jawa dulunya terombang-ambing oleh lautan hingga akhirnya "dipakukan" atau diberi pasak oleh tokoh spiritual. Tujuannya untuk menjaga kestabilan. Paku ini diyakini berbentuk tugu dengan simbol huruf "Sa" yang terdapat di puncak gunung.

Tokoh yang dipercaya menanam pasak adalah Syeikh Subakir. Konon, terdapat kisah yang menyebutkan Syeikh Subakir diutus Sultan Muhammad I (Kesultanan Turki Utsmaniyah) atau Ottoman untuk hijrah ke Pulau Jawa. Subakir diberi tugas menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, sekaligus mengatasi kekuatan-kekuatan gaib yang kala itu dipercaya menguasai pulau ini.

Selain dikenal sebagai seorang ahli ruqyah serta menguasai bidang ekologi, meteorologi, dan geofisika, Syeikh Subakir juga diakui sebagai pendakwah. Ia katanya memiliki kemampuan luar biasa. Berkat berbagai keahlian itu, dirinya berhasil menaklukkan kerajaan bangsa jin di Pulau Jawa.

Awalnya, Gunung Tidar menjadi lokasi pertemuan antara Syeikh Subakir (pendakwah Islam asal Persia) dengan Eyang Semar (tokoh spiritual dan pemeluk agama lokal Jawa).

Syeikh Subakir lantas mengusir jin-jin penghuni Pulau Jawa, khususnya di sekitar Gunung Tidar. Ia memindahkan mereka ke Laut Selatan. Setelah proses pengusiran selesai, Syeikh Subakir dan Eyang Semar terlibat pertarungan 40 kali dan berakhir imbang.

Mereka kemudian berdialog. Syeikh Subakir menjelaskan niatnya untuk menyebarkan Islam sebagai penyempurna agama sebelumnya. Eyang Semar setuju. Syaratnya, Islam tidak boleh menghapus kebudayaan lokal yang sudah menjadi tradisi.

Kesepakatan diterima. Tongkat Syeikh Subakir ditancapkan di Gunung Tidar dan dikenal sebagai Kiai Sepanjang. Hal ini lantas menjadi simbol bahwa Islam diterima di tanah Jawa.

Subakir menanam paku di Gunung Tidar dengan tombak sakti raksasa yang disebut-sebut bernama Kyai Sepanjang. Tombak yang makamnya mencapai panjang 7 meter ini dianggap sebagai simbol paku yang menahan pulau, menjaga keseimbangan alam, dan spiritual Jawa.

Menurut sebuah kepercayaan, selama tombak ini tetap berada di tempatnya, maka Pulau Jawa akan aman dari malapetaka besar.

Kini, Gunung Tidar merupakan tujuan wisata sejarah dan spiritual. Banyak peziarah datang. Mereka mengunjungi makam-makam keramat dan situs-situs bersejarah. Selain sebagai tempat pariwisata, Gunung Tidar juga memiliki peran penting dalam pendidikan militer.

Lembah Tidar, yang terletak di kaki Gunung Tidar, berdiri sebuah Akademi Militer (Akmil) yang merupakan tempat pendidikan dan pelatihan para calon perwira TNI Angkatan Darat.

Tradisi Akademi Militer di Gunung Tidar

Naik ke puncak Gunung Tidar merupakan tradisi penting bagi taruna tingkat IV di Akademi Militer yang akan dilantik sebagai perwira remaja TNI AD. Kegiatan diadakan setiap tahun.

Aktifitas dimulai dari Lapangan Sapta Marga. Mereka menapaki perjalanan ke puncak Gunung Tidar yang terletak 503 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Pendakian umumnya dipimpin seorang Gubernur Akademi Militer. Tujuan digelarnya kegiatan naik puncak Gunung Tidar adalah simbol perpisahan dengan masyarakat Magelang, sekaligus penghormatan terhadap sejarah pendidikan militer.

Setelah pendakian, acara dilanjutkan dengan pesta air di Kolam Renang Pierre Tendean. Pesta ini menjadi momen keakraban antara taruna senior dan junior. Mereka bergembira dan melebur, serta membersihkan diri dari kesalahan yang mungkin saja terjadi selama ini.

Pesta air melambangkan kebersihan dan moralitas. Setiap calon perwira TNI diharapkan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai baik saat menjalankan tugas kelak.

Sama seperti rencana Prabowo Subianto yang akan mengajak calon menteri dan wakil menteri kabinet mendatang, para pembantu presiden nantinya bisa jadi diharapkan dapat melakukan hal yang sama selama berada di Gunung Tidar, yakni menjunjung tinggi nilai-nilai baik jelang menjalankan tugas negara.

Baca juga artikel terkait TRENDING TOPIC atau tulisan lainnya dari Nisa Hayyu Rahmia

tirto.id - Edusains
Kontributor: Nisa Hayyu Rahmia
Penulis: Nisa Hayyu Rahmia
Editor: Beni Jo & Yulaika Ramadhani