Menuju konten utama
Mengenal Info Cegatan Jogja

Grup ICJ: Dari Keluh Kesah Birokrasi hingga Info Keberadaan Klitih

Keberadaan Grup Facebook Info Cegatan Jogja atau ICJ menjadi solusi bagi warga DIY untuk berbagi keresahan.

Grup ICJ: Dari Keluh Kesah Birokrasi hingga Info Keberadaan Klitih
Facebook Info Cegatan Jogja. foto/Facebook.com

tirto.id - “Info saya hampir tertabrak Klitih di jalan solo timur rs pdhi.. ber 4 berboncengan dengan motor matic. Membawa gir dan celurit. benar2 gak aman.”

Sebuah kutipan dari unggahan milik akun Queensa Octavia di Grup Facebook: Info Cegatan Jogja atau ICJ. Meski menggunakan bahasa sederhana yaitu dari lisan yang digubah menjadi tulisan. Tanpa memedulikan aspek gramatikal atau tata bahasa sesuai ejaan Bahasa Indonesia, namun berhasil memperoleh atensi dari banyak warganet. Terlihat ada 2 ribu orang memberi komentar, lebih dari 3 ribu memberi tanda like, dan dibagikan di berbagai akun sebanyak 30 kali.

Unggahan itu menjadi salah satu cerminan mengenai perilaku kriminal yang kembali marak di Jogja yaitu klitih. Masalah yang dituliskan oleh akun Queensa Octavia bukan yang pertama, sudah ada puluhan curahan hati lainnya di dinding Grup Facebook yang sering disingkat ICJ tersebut. Bahkan ada salah satu unggahan yang menceritakan mengenai peristiwa tewasnya seorang remaja akibat klitih saat mencari sahur.

Walau secara struktur penulisan terlihat apa adanya, tapi media arus utama sering mengutip dari unggahan dari grup ICJ tersebut. Hal itu bisa diamati saat mengetik kata ICJ di kolom pencarian internet, ada banyak media yang mengambil sumber dari ICJ.

Tentu ada banyak faktor yang membuat ICJ menjadi sorotan bahkan sumber informasi. Jumlah pengikut yang lebih dari satu juta juga menjadi faktor. Angka tersebut mencapai 1/4 dari jumlah total keseluruhan penduduk Jogja yang berjumlah 4.073.907, sebagaimana hasil survei dari Badan Pusat Statistik.

Angka pengikut grup ICJ yang besar tersebut ternyata berawal dari sebuah grup diskusi para pedagang di Jogja. Menurut salah satu pendirinya, Yanto Sumantri, ICJ didirikan oleh 10 orang yang semuanya adalah pedagang yang aktif berdiskusi di dunia jual beli melalui Facebook.

“Pada zaman itu kami sering berdiskusi dalam banyak topik di berbagai akun Facebook dan temanya mengenai jual beli karena sebagian besar latar belakang kami adalah pedagang,” kata Yanto saat dihubungi reporter Tirto pada Kamis (7/4/2022).

Seiring waktu, topik diskusi yang mereka bicarakan semakin beragam. Dari urusan bisnis hingga mulai masuk persoalan pribadi yang menyangkut dengan instansi publik. Seperti kesulitan mendapat layanan membuat SIM, kesulitan membuat KTP, dan aneka keluhan lainnya. Namun keluhan tersebut tidak bisa tertampung dalam grup jual beli yang mereka ikuti, dikarenakan sejumlah aturan grup tersebut.

“Kami akhirnya membuat grup yang bisa menjadi isi sambatan (keluh kesah) kami terutama yang berkenaan dengan sektor publik. Oleh karenanya diberi nama info cegatan, selain anti mainstream juga menjadi ikon keluhan bersama yaitu tilang kendaraan yang sering ditemukan di jalanan,” kata Yanto.

Saat itu, Yanto bersama kawan-kawannya juga memiliki ide bahwa nama grup Facebook yang mereka buat harus menggelitik dan mampu menggaet para warganet untuk nimbrung dalam diskusi aneka topik.

“Kami ingin membuat nama grup yang menggelitik, karena banyak hal yang masih tabu untuk dibahas saat itu, terutama bila berkenaan dengan layanan publik. Sering dianggap menjelek-jelekkan dan tanggapannya selalu sinis," terangnya.

Dari nama yang unik, dan pembahasan merupakan momok permasalahan banyak warga akar rumput, tak butuh waktu lama untuk ICJ mendapat banyak pengikut. Berdiri pada September 2013, setahun kemudian sudah ada ratusan ribu pengikut. Bahkan diikuti oleh ratusan ribu akun.

“Para pengikut di Facebook kami merupakan organik tanpa ada promosi bahkan paksaan. Terutama di tahun-tahun tersebut operator selular kerap memberi bonus kuota pulsa untuk Facebook dan handphone sudah mendukung untuk aplikasi Facebook," ujarnya.

Interaksi antar warga tidak hanya di dunia maya, namun ternyata diwujudkan di dunia nyata. Para pengikut ICJ kerap mengadakan kopi darat dan sering membuat acara keakraban di antara mereka.

“Ketika itu mereka akrab saling ngobrol satu sama lain, berkenalan dan tercetuslah beragam acara dari situ, ada yang di sektor Piyungan, Sleman dan berbagai tempat lainnya,” kata Yanto.

Yanto bercerita, selama dirinya menjadi admin grup Facebook ICJ, ada sejumlah hal menarik yang dia temukan. Seperti seorang anak yang terpisah dari orang tuanya dan bertemu melalui platform ICJ.

“Ada seorang anak gadis yang mencari bapaknya yang sudah terpisah dari kecil karena kedua orang tuanya bercerai. Saat itu dia ingin bertemu bapaknya karena akan menikah, dicari di ICJ keduanya bisa bertemu. Ada juga kasus anak adopsi yang ingin bertemu dengan orang tua kandungnya, juga ditemukan di ICJ,” kata dia.

Meski ada sejumlah solusi, namun juga banyak problematika yang harus dihadapi Yanto dan kawannya sebagai orang yang berdiri di belakang eksistensi ICJ. Salah satunya adalah UU ITE dan sejumlah tuntutan yang diakibatkan unggahan di dinding percakapan ICJ. Namun dari semua laporan polisi itu, tidak ada satu pun yang berujung bui. Semuanya bisa diselesaikan dengan damai.

“Kalau masalah sengketa seperti itu biasa, kami dipolisikan dan tidak pernah sampai persidangan. Selalu berakhir damai di kantor polisi. Dari BAP, mediasi dan selalu ada solusi. Mungkin mereka yang menuntut masih kurang dalam hal kepekaan dan kesadaran berinteraksi," ujarnya.

Tidak hanya secara hukum, kata Yanto, peretasan hingga upaya pemblokiran akun sudah menjadi hal lumrah baginya. Namun hal itu selalu sukses mereka atasi.

“Jumlah pengikut dan interaksi kami yang tinggi membuat kami menjadi sorotan dan perhatian dari Facebook, sehingga kami sering komunikasikan bila ada kendala dengan Facebook," imbuhnya.

Banyaknya keluhan mengenai kehidupan pelayanan birokrat di Pemda dan Polda Jogja, tentu membuatnya harus berinteraksi dengan pihak terkait. Ia mengaku sering diundang untuk ikut memberi masukan terutama mengenai evaluasi pelayanan yang sering mendapat keluhan dari masyarakat.

“Mereka sering sekali mengundang untuk rapat dan berkonsultasi mengenai interaksi masyarakat di dunia maya. Dari pemerintah menyadari bahwa interaksi dengan netizen tidak bisa dihindari,” kata dia.

Yanto mengungkapkan DIY merupakan sebuah provinsi yang memiliki kekuatan untuk membuat suatu isu menjadi populer. Oleh karenanya segala hal yang berkaitan dengan Jogja, menurutnya mudah untuk menjadi atensi bagi masyarakat seluruh Indonesia.

“Secara keseluruhan Jogja memiliki lokasi yang strategis untuk membahas setiap isu. Seperti beberapa gerakan banyak yang membuat aksi di Jogja, karena sorotan masyarakat Indonesia cukup tinggi ke daerah ini," ungkapnya.

Saat ini penggunaan frasa "info cegatan" sebagai nama grup atau akun media sosial telah menyebar ke berbagai penjuru Indonesia. Konsepnya serupa dengan ICJ, sebagai wadah keresahan masyarakat terutama yang berkaitan dengan pelayanan instansi publik.

“Kami tidak ada masalah dengan hal tersebut, ada beberapa dari mereka yang izin dengan saya," terangnya.

Grup Besar dengan Identitas Lokal

Menjadi pengikut dari ICJ sejak masih awal berdiri, Agus Mulyadi memiliki kesan tersendiri dengan grup Facebook tersebut. Ia pernah menjadi orang yang tertolong pada saat mengalami sebuah musibah dengan motornya.

“Suatu malam ban motor yang saya gunakan mengalami bocor saat dalam perjalanan. Saat itu tukang tambal ban sudah tutup hingga akhirnya saya mencari informasi di ICJ dengan menulisnya, dan ternyata banyak yang merespons dengan memberikan kontak tambal ban yang masih buka pada malam tersebut,” kata Agus mengenang.

Agus juga terkesan dengan pola percakapan dari warganet yang ada di ICJ. Bahasa tutur yang para warganet tuliskan mengingatkannya dengan Bahasa Jawa yang sering dilontarkan saat masa remaja di kampung halaman.

“Seperti bahasa Jawa ali-ali yang berarti cincin, atau kacu yang berarti sapu tangan, dan berbagai macam kosakata khas yang jarang ditemukan dalam percakapan kekinian,” kata dia.

Ada juga bahasa-bahasa unik yang hanya ditemukan di ICJ karena pola komunikasi yang sama.

“Seperti salam aspal gronjal saat menemukan jalanan rusak, atau salam olahraga saat ada pelaku klitih atau kejahatan lainnya yang berhasil ditangkap massa. Ekspresi semacam itu sepertinya sulit ditemukan selain di ICJ," kata Agus.

Meski berinteraksi di dunia maya, namun karena sejumlah kesamaan nasib membuatnya akrab dengan warganet lainnya di dunia nyata.

“Saat ada pemadaman listrik beberapa waktu lalu, saya mencurahkannya di ICJ, dan ternyata ada yang komentar di unggahan saya yang ternyata alamatnya tidak jauh dari rumah saya," ungkapnya.

Menurut Agus, keberadaan ICJ menjadi solusi bagi warga Jogja untuk berbagi keresahan. Saat mereka mengalami masalah dan bingung mencurahkannya melalui media apa.

“Hingga saat ini platform ICJ itu solutif dan setiap unggahan dari warganet sering direspons oleh pemerintah. Bahkan ada salah satu Humas Polda Jogja yang menjadi anggota ICJ dan memberi respons dari sejumlah isu atau permasalahan," tuturnya.

Anda Curhat, Aparat Merespons

Ada yang unik dari ICJ, di antara ribuan unggahan yang berisi keresahan akan pelayanan pemerintah, jalanan rusak, atau barang hilang seperti STNK dan BPKB, ada salah seorang warganet yang kerap memberi solusi dan jawaban dari isu yang dilontarkan. Akun tersebut bernama Yuli Yanto. Dalam salah satu unggahannya, ia memberi saran kepada warganet untuk menghubungi nomor telpon 110 bila ada kejadian atau peristiwa yang membutuhkan bantuan polisi.

“Netizen bisa bantu dgn sgr tlp ke 110, informasikan lokasinya mana, ke arah mana mereka. Setelah tlp 110 silahkan klu mau posting. Bisa jadi admin Yanto Sumantri dkk belum acc, kan sayang infonya. Btw tks buat infonya,” demikian salah satu unggahannya.

Pemilik akun tersebut ternyata adalah seorang Kepala Bidang Humas Polda DIY, Kombes Pol Yuliyanto. Keberadaan dirinya di ICJ sebagai orang yang memberikan informasi kepada warga dengan segera melalui ICJ. Menurutnya masyarakat banyak berkeluh kesah di media sosial karena mudah menuai respons dan lebih sederhana. Selain mengenai klitih, Yuliyanto juga sering merespons soal keluhan warga terkait layanan kepolisian.

“Orang melapor di media sosial itu bisa dilakukan sesegera mungkin, sedangkan saat melapor ke instansi itu ada syaratnya seperti hadir secara fisik, memberikan identitas dan itu tidak di media sosial,” kata dia.

Meski Yuliyanto aktif dalam ICJ, namun dia tetap mengimbau warga untuk mengadu secara resmi ke pihak kepolisian melalui call center, atau aplikasi PolisiKu.

“Sebenarnya kami juga punya layanan berbasis elektronik, yang bisa digunakan untuk menyampaikan berbagai masalah seperti saat tidak mendapat pelayanan dengan baik oleh polisi, hingga mengawasi alur kasus yang dilaporkan ke polisi,” kata Yuliyanto.

Ia mengungkapkan DIY merupakan provinsi yang menjadi sorotan nasional, mengingat banyak representasi warga dari berbagai daerah yang tinggal di Jogja. Terutama dari kalangan mahasiswa. Oleh karenanya, Mabes Polri juga memberikan pemantauan terhadap kondisi dan perkembangan penuntasan kasus di kota pelajar tersebut.

“Saya kira secara geografis, Jogja menjadi perhatian karena ada banyak warga dari berbagai daerah yang tinggal di Jogja sehingga memiliki hubungan emosional dan menjadi perhatian banyak orang,” kata dia.

Saat disinggung mengenai isu klitih yang saat ini menjadi hangat diperbincangkan di forum ICJ, Yulianto memilih untuk menggunakan frasa kejahatan jalanan. Menurutnya kata klitih harus dikembalikan ke makna awalnya yaitu aktivitas mencari angin di luar rumah.

“Istilah klitih tidak ada dalam KUHP atau undang-undang dan itu harusnya dikembalikan pada makna aslinya, seperti bila ada pemukulan menggunakan pasal penganiayaan, atau bila ditemukan warga yang berkendara membawa senjata tajam dikenakan dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Tajam," imbuhnya.

Grup Facebook: Bentuk Respons Birokrat yang Lambat

Pakar media sosial, Ismail Fahmi menilai, grup semacam ICJ ini sangat efektif untuk menjadi sarana bertukar informasi dan menjadi tempat pelaporan masalah tanpa harus melalui birokrasi yang berbelit.

“Kalau diibaratkan ICJ ini semacam grup yang memberi tahu saat kehilangan dompet atau benda lainnya, seperti lost and found di bandara. Serta menjadi tempat pelaporan masalah yang berkaitan dengan instansi pemerintah dan kepolisian," kata Ismail.

Menurut Ismail, keberadaan ICJ di Facebook adalah pilihan yang strategis. Karena menjangkau banyak kalangan dari berbagai lapisan masyarakat.

“Facebook memiliki jumlah pengguna yang sangat tinggi, bahkan mencapai 90 juta orang, jauh lebih tinggi dibanding Twitter yang hanya berkisar 19 juta orang," terangnya.

Selain itu, keberadaan ICJ di Jogja juga semakin menjadi daya tarik karena banyak hal yang dibahas mampu menjadi sorotan masyarakat di hampir penjuru nusantara.

“Salah satu kunci engagement dalam media sosial adalah konektivitas. Jogja hampir memiliki segalanya seperti Malioboro yang berkaitan dengan banyak warga luar Jogja, hingga tokoh nasional yang tinggal di sana," ujarnya.

Ia menilai, hingga saat ini Pemda DIY masih belum memiliki tingkat keaktifan yang baik dalam merespons isu di media sosial. Terutama saat berkaitan dengan isu klitih.

“Kalau di Jogja belum terlalu siap untuk mendapat masukan dan responsnya masih sering biasa saja. Bahkan saat isu klitih mencuat, ada beberapa pejabat daerah yang menganggapnya sebagai bentuk perusak citra Jogja, dan bukan dihargai sebagai masukan yang membangun," terangnya.

Agar komponen pemda bisa lebih baik dalam merespons keberadaan teknologi dalam kegiatan birokrasi, harus ada 3 komponen yang dipenuhi yaitu: people, process, dan technology.

“Kita harus melihat kalau hanya membuat aplikasi namun orangnya belum siap, dan belum ada respons dari aplikasi maka bisa dikatakan belum siap. Karena keberadaan aplikasi atau perangkat teknologi hanya memenuhi sekitar 33 persen syarat transformasi digital dalam birokrasi,” kata dia.

Baca juga artikel terkait INFO CEGATAN JOGJA atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz